Konflik Iran Vs Israel
Israel Dekat dengan AS, Siapa yang Bakal Bantu Iran? Poros Perlawanan Disebut Kian Melemah
Saat Amerika Serikat sebagai sekutu kuat Israel sudah membahas serangan secara terbuka, hanya satu kelompok militan yang turun tangan membantu Iran.
TRIBUNNEWS.COM - Di tengah eskalasi konflik Iran vs Israel yang membuat kawasan Timur Tengah memanas, muncul pertanyaan siapa yang akan membantu Iran?
Sebagai informasi, Israel telah meluncurkan serangan dalam Operation Rising Lion yang menargetkan fasilitas militer dan nuklir Iran mulai Jumat (13/6/2025).
Kemudian, Iran pun melancarkan serangan balasan yang disebut Operation True Promise III.
Kini, konflik sudah memasuki hari kedelapan dan masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Adapun Iran sejatinya sudah bertahun-tahun mendukung kelompok militan dan rezim politik di Timur Tengah, serta membentuk Poros Perlawanan atau Axis of Resistance.
Selain itu, Iran juga berusaha membangun hubungan dekat dengan kekuatan global lainnya.
Namun, seiring serangan balasan terhadap Israel digencarkan Iran, sekutu-sekutunya malah sebagian besar tidak ikut bertindak.
Saat Amerika Serikat sebagai sekutu kuat Israel sudah membahas serangan secara terbuka, hanya satu kelompok militan yang turun tangan membantu Iran.
'Poros Perlawanan' Bentukan Iran dan Sekutu Regional
Sejak 1970-an, Iran telah memproyeksikan kekuatannya di Timur Tengah menggunakan jaringan dengan sejumlah sekutu yang memiliki tujuan yang sama untuk melawan pengaruh AS dan Israel di seluruh wilayah tersebut.
Jaringan tersebut dinamai Poros Perlawanan atau Axis of Resistance.
Baca juga: Hipokrisi Israel: Koar-koar Iran Lakukan Kejahatan Perang Merudal RS, tapi Bombardir RS di Gaza
Para anggota sekutu Poros Perlawanan memberi peringatan bahwa setiap serangan terhadap Iran atau afiliasinya akan memicu respon besar-besaran.
Sementara, Iran juga memiliki sekutu regional yang meliputi jaringan negara atau wilayah tempat milisi besar yang didukungnya secara aktif.
Jaringan tersebut meliputi Hizbullah di Lebanon, pemberontak Houthi di Yaman, beberapa kelompok bersenjata di Irak, dan kelompok Hamas Palestina di Gaza dan Tepi Barat.
Poros Perlawanan Iran Melemah
Namun selama dua tahun terakhir, Poros Perlawanan dan sekutu regional Iran telah mengalami beberapa pukulan telak, hingga melemah atau digulingkan dari kekuasaan.
Hal ini mendapat sorotan dari sejumlah pakar.
Misalnya, pakar keamanan sekaligus profesor madya di King's College London Andreas Krieg mengatakan, hubungan Iran telah terurai.
"Iran bukan lagi benar-benar 'poros' melainkan jaringan longgar tempat setiap orang sebagian besar sibuk dengan kelangsungan hidupnya sendiri," kata Andreas.
Sementara, Timur Tengah di Australian National University (ANU) sekaligus mantan duta besar Australia untuk Lebanon Ian Parmeter menyebut, Iran saat ini berada dalam "kondisi terlemahnya" dalam lebih dari 40 tahun.
"Tidak ada sekutu iran yang mampu mendukungnya dengan cara yang sebelumnya bisa mereka lakukan," kata Ian.
"Itulah sebabnya Pasukan Pertahanan Israel kini mampu melancarkan serangan-serangan ini ke Iran." tambahnya.
Ian Parmeter mengatakan, Israel telah menghancurkan kemampuan tempur Hamas selama dua tahun terakhir.
Sementara itu, di Suriah, rezim Bashar al-Assad runtuh kurang dari dua minggu setelah perang dua bulan Israel dengan Hizbullah di Lebanon berakhir.
Jelas, keruntuhan ini memperlemah hubungan penting Iran dengan sekutunya.
Sekutu Global Iran
Dalam skala global, Iran merupakan negara yang menjadi bagian dari jaringan informal negara-negara "CRINK" (China, Rusia, Iran, North Korea (Korea Utara)).
Sejauh ini, China telah mengutuk serangan Israel terhadap Iran, tetapi telah membatasi tanggapannya dengan mendukung solusi diplomatik.
Korea Utara juga mengutuk serangan tersebut sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan" tanpa menawarkan dukungan lebih lanjut kepada Iran.
Namun, Rusia telah turun tangan dengan menawarkan untuk menengahi konflik tersebut.
Presiden Vladimir Putin telah mengecam serangan terhadap Iran.
Ia juga dilaporkan telah memperingatkan bahwa intervensi apa pun dari AS akan menjadi "lingkaran eskalasi yang mengerikan".
"Rusia tentu sangat dekat dengan Iran saat ini dan memainkan peran yang sangat penting dalam memasok pesawat nirawak ke Rusia untuk perang di Ukraina," kata Ian Parmeter.
"Jadi Rusia berutang kepada Iran atas pesawat nirawaknya, tetapi, pada saat yang sama, Putin dan Netanyahu sangat akrab secara personal," tambahnya.
Menurut Ian Parmeter, tawaran Rusia untuk menjadi penengah tidak mungkin "berhasil" dan "itu hanya cara yang baik bagi Putin untuk tampil sebagai negarawan internasional."
Ian Parmeter juga menyebut, tidak mungkin negara-negara Arab lain seperti Mesir, Yordania, atau Uni Emirat Arab akan mendukung Iran karena mereka tidak dekat dan tidak menginginkan eskalasi lebih lanjut.
Israel dan AS 'sangat dekat'
Sementara, Israel punya hubungan dekat dengan Amerika Serikat yang kuat secara militer maupun politik.
"Benjamin Netanyahu tidak akan melakukan apa pun tanpa terlebih dahulu meminta izin kepada Trump, dia memiliki hubungan yang sangat dekat dengannya," kata Ian Parmeter.
Presiden AS Donald Trump telah menyerukan agar Iran "menyerah tanpa syarat" dan mengemukakan gagasan bahwa pemimpin tertingginya, Ayatollah Ali Khamenei, akan menjadi "target empuk" jika dia harus dibunuh.
AS mengatakan, mereka mempertahankan posisi "defensif" dalam konflik Iran-Israel untuk saat ini, yang berarti mereka hanya fokus pada pencegahan atau pencegatan serangan terhadap Israel.
Namun, Donald Trump telah menggoda bahwa AS "mungkin atau mungkin tidak" menyerang Iran dan akan membuat keputusan "dalam waktu dua minggu."
Sementara itu, Ian Parmeter menilai bahwa Israel ingin AS terlibat karena mereka membutuhkan bom "penghancur bunker" untuk menghancurkan situs nuklir Iran.
Kata Ian, Israel jelas membutuhkan AS untuk merusak pabrik pengayaan bahan bakar nuklir Fordow milik Iran, yang dibangun jauh di dalam gunung.
"Risiko besarnya adalah Amerika Serikat akan terlibat dalam beberapa hal, tetapi saya tidak melihatnya terlibat dengan pasukan darat atau lebih dari sekadar menggunakan bom penghancur bunker," kata Ian.
Itu karena Donald Trump menghadapi tekanan domestik dari dalam basis Republiknya sendiri, yang "terbelah" tentang apakah AS akan terlibat dalam perang lagi.
Sementara itu, negara-negara G7 telah menyatakan dukungan untuk keamanan Israel, tetapi juga mendesak "de-eskalasi permusuhan yang lebih luas di Timur Tengah, termasuk gencatan senjata di Gaza."
Diolah dari ABC.net.au
(Tribunnews.com/Rizki A.)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.