Kamis, 2 Oktober 2025

Konflik Suriah

Trump Sebut Suriah Berhak Mendapat 'Awal yang Baru', tapi Mengapa Tentara AS Belum Pergi?

Donald Trump menyatakan AS akan mencabut sanksi terhadap Suriah dan menyebut negara tersebut berhak mendapat awal yang baru.

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Sri Juliati
Tangkap layar YouTube Global News
AS DAN SURIAH - Tangkap layar YouTube Global News pada 15 Mei 2025, memperlihatkan pertemuan Donald Trump dan Ahmed al-Sharaa di Arab Saudi, bersama Mohammed bin Salman. Donald Trump menyatakan AS akan mencabut sanksi terhadap Suriah dan menyebut negara tersebut berhak mendapat awal yang baru. 

TRIBUNNEWS.COM – Presiden AS Donald Trump mengumumkan akan mencabut sanksi terhadap Suriah dan menyatakan bahwa negara tersebut berhak mendapatkan awal yang baru, Al Jazeera melaporkan.

"Di Suriah, yang telah mengalami begitu banyak penderitaan dan kematian, kini ada pemerintahan baru yang diharapkan dapat menstabilkan negara dan menjaga perdamaian," kata Trump dalam pidatonya saat berkunjung ke Arab Saudi, Selasa (13/5/2025).

"Saya akan memerintahkan penghentian sanksi terhadap Suriah untuk memberi mereka kesempatan meraih kejayaan."

Namun, awal yang baru yang disebutkan Trump tersebut tampaknya tidak termasuk dengan berakhirnya pendudukan militer AS di wilayah Suriah, menurut pernyataan dari Pentagon.

Dilansir The Intercept, sekitar 1.000 tentara AS masih ditempatkan di Suriah saat ini.

Militer AS telah beroperasi di negara tersebut selama bertahun-tahun, dengan membangun pangkalan-pangkalan militer yang awalnya bertujuan untuk memerangi ISIS.

Namun, para ahli menilai bahwa kehadiran pangkalan-pangkalan itu juga merupakan bagian dari strategi untuk menahan pengaruh Iran.

Pangkalan-pangkalan tersebut sering menjadi sasaran serangan dalam beberapa tahun terakhir, bahkan mengalami pencurian oleh milisi serta kelompok kriminal bersenjata.

Bulan lalu, muncul laporan bahwa AS telah menutup tiga dari delapan pos terdepannya di Suriah.

Menurut para pengamat, penarikan pasukan AS dari sebagian pangkalan di Suriah sebenarnya sudah lama tertunda.

Penarikan ini dinilai penting untuk mewujudkan perubahan nyata dalam strategi dan kebijakan AS di kawasan tersebut.

AS DAN SURIAH - Tangkap layar YouTube Global News pada 15 Mei 2025, memperlihatkan pertemuan Donald Trump dan Ahmed al-Sharaa di Arab Saudi, bersama Mohammed bin Salman. Donald Trump menyatakan AS akan mencabut sanksi terhadap Suriah dan menyebut negara tersebut berhak mendapat awal yang baru.
AS DAN SURIAH - Tangkap layar YouTube Global News pada 15 Mei 2025, memperlihatkan pertemuan Donald Trump dan Ahmed al-Sharaa di Arab Saudi, bersama Mohammed bin Salman. Donald Trump menyatakan AS akan mencabut sanksi terhadap Suriah dan menyebut negara tersebut berhak mendapat awal yang baru. (Tangkap layar YouTube Global News)

Baca juga: Trump Tiba di Riyadh, Siap Bertemu Presiden Baru Suriah Untuk Tekan Kesepakatan Besar

“Mencabut sanksi terhadap Suriah merupakan langkah positif — tetapi sanksi bukan satu-satunya kebijakan warisan era Assad yang perlu ditinjau ulang oleh AS,” kata Rosemary Kelanic, Direktur Program Timur Tengah di Defense Priorities, sebuah lembaga pemikir yang mengadvokasi kebijakan luar negeri AS yang lebih terkendali.

“Lebih dari 1.000 tentara AS masih berada di Suriah tanpa misi yang jelas atau jadwal pasti untuk dipulangkan."

"Mereka adalah warisan dari perang melawan ISIS di Irak dan Suriah, tetapi calon ‘kekhalifahan’ itu telah dikalahkan dan kehilangan seluruh wilayahnya lebih dari lima tahun lalu."

"Sudah saatnya pasukan itu dipulangkan.”

Pada April lalu, ketika ditanya apakah AS berencana menarik pasukan dari Suriah, juru bicara Pentagon menyebutkan bahwa jumlah pasukan akan dikurangi menjadi kurang dari seribu personel dalam beberapa bulan mendatang.

Tetapi mereka tidak akan ditarik sepenuhnya.

“Departemen Pertahanan terus mempertahankan kemampuan yang signifikan di kawasan tersebut, serta fleksibilitas untuk menyesuaikan postur pasukan secara dinamis, berdasarkan perkembangan situasi keamanan di lapangan,” demikian bunyi pernyataan resmi Pentagon.

Pertemuan Perdana Trump dan Sharaa dalam 25 Tahun

Pada Rabu (14/5/2025), Trump berbicara selama sekitar setengah jam dengan Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa.

Trump menyebutnya sebagai "pria muda yang menarik".

Ia juga menyinggung masa lalu al-Sharaa yang "kuat”, dan menyebutnya sebagai seorang "pejuang".

Ahmed al-Sharaa sendiri sebelumnya ditetapkan sebagai teroris oleh pemerintah AS karena afiliasinya dengan Al Qaeda.

Trump juga mendorong al-Sharaa untuk menyerukan kepada seluruh teroris asing agar meninggalkan Suriah; membantu AS mencegah kebangkitan ISIS; serta menandatangani Perjanjian Abraham, menurut pernyataan dari Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt.

Kehadiran Pasukan AS di Timur Tengah

Kekhawatiran akan kebangkitan ISIS telah lama menjadi alasan utama bagi keberadaan pasukan AS di Suriah.

Namun, Kelanic menyoroti operasi militer AS di Afghanistan sebagai bukti bahwa kehadiran pasukan di lapangan tidak selalu diperlukan untuk mencegah kebangkitan kelompok teroris.

Baca juga: Jasad Prajurit yang Hilang 43 Tahun Ditemukan di Suriah, Dipulangkan ke Israel dalam Operasi Khusus

Investigasi terbaru oleh The Intercept mengungkapkan bahwa pasukan AS di Timur Tengah telah diserang sedikitnya 400 kali sejak pecahnya perang Israel-Hamas, berdasarkan data dari Kantor Sekretaris Pertahanan dan Komando Pusat.

Ini berarti rata-rata terjadi satu serangan setiap 1,5 hari.

Serangan tersebut, yang sebagian besar dilakukan oleh milisi yang didukung Iran dan oleh kelompok Houthi di Yaman, mencakup serangan drone, roket, mortir, serta rudal balistik satu arah yang diarahkan ke pangkalan tetap dan kapal perang AS di berbagai lokasi di kawasan.

Kelompok-kelompok ini mulai meningkatkan intensitas serangan terhadap target AS pada Oktober 2023, sebagai respons terhadap dukungan AS terhadap operasi militer Israel di Gaza.

Sekitar 200 dari serangan tersebut menargetkan pangkalan militer AS, menurut juru bicara Pentagon, Patricia Kreuzberger.

Sekitar 50 persen di antaranya terjadi di Suriah.

“Menempatkan pasukan di Suriah membuat mereka rentan terhadap pembalasan dari Iran dan negara-negara lain,” kata Kelanic.

“Ini seperti menyerahkan sandera secara sukarela — tanpa alasan kuat bagi pasukan tersebut untuk tetap berada di sana.”

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved