Perjanjian Pandemi WHO, Dapatkah Capaian Global Menggapai Tatanan Lokal?
WHO mengumumkan rampungnya draf perjanjian penanganan pandemi masa depan, setelah tiga tahun proses negosiasi. Apa kata pakar terkait…
Ditengah polarisasi dunia, Perjanjian Pandemi WHO ini menjadi harapan hidupnya multilateralisme, menunjukkan bahwa 194 negara-negara anggotanya masih dapat bekerja sama menghadapi tantangan global dengan lebih terorganisir.
Hal penting yang dibahas dalam perjanjian tersebut terkait pencegahan dan pengawasan pandemi, pendekatan one health, transfer teknologi, serta akses pembagian data patogen yang disertai sistem pembagian manfaat.
Prof. drh. Wiku Bakti Bawono Adisasmito, M.Sc., Ph.D., adalah Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia yang juga merupakan salah satu delegator perundingan Perjanjian Penanganan Pandemi WHO. Sosok yang terjun langsung dalam penanganan COVID-19 di Indonesia ditunjuk sebagai juru bicara pemerintah hingga memimpin tim pakar satgas Covid-19. Kepada DW Indonesia, Prof Wiku membagikan pandangannya.
Bagaimana respon Prof. Wiku terkait draf perjanjian pandemi WHO yang baru saja rampung tersebut?
Perjanjian pandemi WHO ini penting, pencapaian besar dunia global, meski implementasinya masih akan menghadapi banyak tantangan dan rintangan. Untuk mendetilkan operasional perjanjian ini, menuangkannya dalam annex (lampiran) perjanjian tersebut, butuh waktu lama.
Berdasarkan pengalaman Prof. dalam penanganan COVID-19 di Indonesia, apa saja tantangan implementasi perjanjian ini di Indonesia?
‘Nyawa' perjanjian ini utamanya di pasal 4 - Pandemic prevention and surveillance (pencegahan pandemi dan pengawasan), pasal 5 - One Health Approach to Pandemic Prevention, preparedness and response (pendekatan one health untuk pencegahan pandemi, kesiapan, dan respon), serta pasal 12 - WHO Pathogen Access and Benefit-Sharing System - PABS System (akses patogen dan sistem pembagian manfaat WHO).
Pada saat melakukan (implementasi) ketiga pasal inti tersebut, sektor yang terlibat tidak hanya sektor kesehatan masyarakat, tapi juga sektor kesehatan hewan dan lingkungan.
Patogen sebenarnya zoonosis atau berasal dari hewan, dan surveillance (pengawasan) tidak hanya dilakukan oleh kementerian sektor kesehatan masyarakat, tapi juga melibatkan sektor peternakan, dan kesehatan hewan yang berada di bawah komando kementerian pertanian, pembagian sektor ini bisa berbeda-beda di tiap negara.
Lantas bagaimana melakukan surveillance dan meminta data pada representasi negara di WHO, namun tidak melibatkan kementerian pertanian, kementerian kehutanan mereka? Kementrian pertanian dan kehutanan sebenarnya sudah memiliki kesepakatan tersendiri, contohnya Protokol Nagoya yang dihasilkan dari Convention on Biological Diversity. Protokol Nagoya ini adalah kerangka acuan akses sumber daya genetik dan pembagian manfaat.
Harmonisasi antar lembaga PBB seperti WHO dengan FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) dan WOAH (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia) penting sekali untuk implementasi perjanjian ini, tapi belum dilakukan dengan baik oleh WHO. Perjanjian ini tidak hanya soal kesehatan manusia tapi juga melibatkan sektor lain seperti kesehatan hewan dan lingkungan.
Harmonisasi ini di level negara anggota WHO pun banyak tantangannya - bagaimana teknis penerapan data sharing di lapangan dan tata kelolanya. Distrik, sub distrik negara-negara di seluruh dunia ini jumlahnya jutaan tapi belum terkoneksi dengan komitmen global.
Ada ‘jurang’ yang begitu besar antara global, regional, dan lokal. Yang paling penting sebenarnya adalah sektor lokal yang harusnya terharmonisasi atau terhubung dulu.
Perjanjian Pandemi WHO ini masih jauh dari implementasi yang efektif di seluruh dunia.
Mungkin di level international, WHO atau WOAH (Organisasi Kesehatan Hewan Dunia) mereka sepakat. Tapi kalau di level lokal tidak sepakat itu tidak akan jalan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.