Selasa, 7 Oktober 2025

Trump Terapkan Tarif Timbal Balik

Ketika Kebijakan Tarif Trump Jadi 'Senjata': Saham Jatuh, Ekonomi Lambat, Resesi Membayangi

Pasar saham Amerika Serikat terus anjlok, diperburuk dengan kebijakan tarif Trump.Siapa yang tentukan resesi? apakah skenario terburuk bisa dihindari?

Facebook The White House
TARIF DAGANG AS - Foto ini diambil pada Kamis (3/4/2025) dari Facebook The White House memperlihatkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, berbicara selama konferensi pers setelah menandatangani kenaikan tarif dagang baru antara AS dan negara lain di dunia, di Gedung Putih di Washington, DC, AS pada Rabu (2/4/2025). JPMorgan memperkirakan peluang terjadinya resesi mencapai 60 persen. 

Belanja konsumen pun ikut menurun karena banyak keluarga khawatir kehilangan pekerjaan atau penghasilan

Ini menciptakan siklus: bisnis menahan investasi → PHK meningkat → belanja turun → investasi semakin ditekan.

Siapa yang Menentukan Resesi?

Penentu resmi resesi di AS adalah Komite Penentuan Siklus Bisnis dari Biro Riset Ekonomi Nasional (NBER).

Komite ini, yang terdiri dari ekonom dari universitas ternama seperti Harvard dan MIT, bekerja secara tertutup untuk menilai apakah penurunan ekonomi sudah masuk kategori resesi.

Mereka melihat sejumlah indikator seperti penghasilan pribadi yang disesuaikan inflasi, data ketenagakerjaan, pengeluaran konsumen, penjualan manufaktur, dan produksi industri.

Menariknya, penurunan pasar saham tidak termasuk indikator resmi penentu resesi versi NBER.

Namun dalam praktiknya, pasar saham tetap menjadi barometer awal kekhawatiran ekonomi.

Baca juga: Trump Tuduh China Manipulasi Mata Uang untuk Meredam Dampak Tarif

Apakah Pasar Saham dan Resesi Selalu Terkait?

Ekonom peraih Nobel, Paul Samuelson, pernah menyindir bahwa "pasar saham telah memprediksi sembilan dari lima resesi terakhir."

Maksudnya: penurunan indeks saham bukan jaminan pasti resesi, dan sebaliknya tidak semua resesi menyebabkan pasar saham jatuh.

Meski begitu, sejak 1950, 7 dari 10 resesi di AS memang disertai penurunan besar di indeks S&P 500 — dengan rata-rata kerugian 31 persen.

Sebagai perbandingan, sejak akhir Januari 2025, S&P sudah turun sekitar 19 persen.

Contoh ekstremnya adalah saat Depresi Besar, ketika indeks kehilangan 88 persen nilainya antara 1929–1932.

Namun tak semua penurunan besar menyebabkan resesi.

Pada Black Monday 1987, indeks jatuh 28 persen, tapi tak ada resesi.

Begitu pula tahun 2022, ketika inflasi melonjak dan S&P kehilangan 25 persen — namun resesi tidak terjadi.

Jika Resesi Terjadi, Apa yang Membuat Kali Ini Berbeda?

Halaman
123
Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved