Konflik Rusia Vs Ukraina
Fokus Pembicaraan Trump dan Putin soal Perang Rusia-Ukraina: Tanah Mana yang Akan Dibagi-bagi
Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin akan melakukan pembicaraan pada Selasa (18/3/2025) mengenai perang Rusia-Ukraina.
TRIBUNNEWS.COM - Presiden AS Donald Trump mengatakan, akan berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Selasa (18/3/2025) pagi.
Keduanya akan membahas mengenai cara mengakhiri perang Rusia-Ukraina.
Kesepakatan teritorial dan pengendalian pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia kemungkinan akan menjadi topik utama dalam pembicaraan tersebut, Reuters melaporkan.
"Apa yang terjadi di Ukraina tidak baik, tetapi kita akan melihat apakah kita dapat mencapai kesepakatan damai, gencatan senjata, dan perdamaian. Saya pikir kita akan mampu melakukannya," kata Trump kepada wartawan di Washington pada Senin (17/3/2025) waktu setempat.
Trump saat ini sedang berupaya mendapatkan persetujuan Putin atas usulan gencatan senjata selama 30 hari yang telah diterima oleh Ukraina minggu lalu.
Baik pasukan Rusia maupun Ukraina melancarkan serangan udara besar-besaran pada Senin pagi.
Rusia juga semakin mendekati pengusiran pasukan Ukraina dari wilayah Kursk, yang sempat dikuasai Ukraina pada Agustus tahun lalu.
Trump menyebut bahwa pasukan Ukraina di wilayah Kursk sedang dalam kondisi sulit karena dikepung oleh pasukan Rusia.

Dia mengatakan, pembekuan bantuan militer ke Ukraina awal bulan ini serta pertemuan kontroversialnya dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Ruang Oval mungkin telah membantu meyakinkan Kyiv.
"Banyak nyawa hilang di sana, dan kami harus meminta Ukraina melakukan hal yang benar," kata Trump.
"Namun, saya rasa mereka sudah melakukan yang benar saat ini."
Baca juga: AS: Ukraina Harus Pikirkan soal Negosiasi Wilayah dengan Rusia
Ketika ditanya pada Minggu (16/3/2025) malam mengenai konsesi apa yang dipertimbangkan dalam negosiasi gencatan senjata, Trump menjawab:
"Kita akan berbicara tentang wilayah. Kita akan berbicara tentang pembangkit listrik. Kita sudah membicarakannya, membagi aset-aset tertentu."
Trump tidak memberikan rincian lebih lanjut, namun tampaknya merujuk pada fasilitas Zaporizhzhia yang diduduki Rusia di Ukraina, yang merupakan pembangkit listrik tenaga nuklir terbesar di Eropa.
Sekretaris pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengatakan dalam pengarahan rutin pada Senin bahwa Trump dan Putin akan membahas pembangkit listrik di perbatasan Rusia dan Ukraina.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, menolak mengomentari pernyataan Trump terkait wilayah dan pembangkit listrik.
Kremlin menyatakan pada Jumat bahwa Putin telah mengirim pesan kepada Trump mengenai rencana gencatan senjatanya melalui utusan AS, Steve Witkoff, yang mengadakan pembicaraan di Moskow.
Witkoff optimis bahwa kesepakatan dapat dicapai untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama tiga tahun tersebut.
Pada hari Minggu, Witkoff, Menteri Luar Negeri Marco Rubio, dan Penasihat Keamanan Nasional Trump, Mike Waltz, menekankan bahwa masih ada tantangan yang harus diatasi sebelum Rusia menyetujui gencatan senjata, apalagi resolusi damai untuk perang ini.
Waltz ditanya dalam sebuah wawancara dengan ABC apakah AS akan menerima kesepakatan damai di mana Rusia tetap menguasai wilayah Ukraina yang telah direbutnya.
Dia menjawab, "Kita harus bertanya pada diri sendiri, apakah itu sesuai dengan kepentingan nasional kita? Apakah itu realistis? Apakah kita akan mengusir setiap orang Rusia dari setiap jengkal tanah Ukraina?"
Zelensky Tekankan Kedaulatan Ukraina
Zelensky mengatakan, dia melihat peluang bagus untuk mengakhiri perang setelah Kyiv menerima usulan gencatan senjata 30 hari dari AS.
Namun, dia juga secara konsisten menekankan bahwa kedaulatan Ukraina tidak dapat dinegosiasikan dan bahwa Rusia harus menyerahkan wilayah yang telah direbutnya.
Rusia merebut Semenanjung Krimea pada 2014 dan menguasai sebagian besar dari empat wilayah di timur Ukraina setelah menginvasi negara tersebut pada 2022.
Sementara itu, Rusia akan terus mencari jaminan kuat dalam setiap kesepakatan damai bahwa Ukraina tidak akan bergabung dengan NATO dan akan tetap netral, menurut Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Alexander Grushko dalam pernyataannya kepada media Rusia, Izvestia, yang dipublikasikan pada Senin.
Baca juga: Abaikan Tawaran Putin, Ukraina Pilih Menata Ulang Pasukan dan Bertahan di Kursk
"Kami akan menuntut agar jaminan keamanan yang kuat menjadi bagian dari perjanjian ini," kata Grushko sebagaimana dikutip Izvestia.
Rusia juga menuntut tetap mengendalikan semua wilayah Ukraina yang telah direbut serta pembatasan jumlah tentara Ukraina.
Selain itu, Rusia menginginkan pelonggaran sanksi Barat dan pemilihan presiden di Ukraina, yang menurut Kyiv tidak dapat dilakukan selama darurat militer.
Putin menyatakan bahwa invasinya ke Ukraina bertujuan melindungi keamanan nasional Rusia dari ancaman Barat yang agresif, khususnya ekspansi NATO ke arah timur.
Ukraina dan sekutu Baratnya mengatakan bahwa Rusia melancarkan perang agresi yang tidak beralasan dan bertujuan untuk memperluas wilayah kekuasaan secara imperialistik.
Kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, menyebutkan pada Senin (18/3/2025) bahwa tuntutan Rusia untuk menyetujui gencatan senjata menunjukkan bahwa Rusia sebenarnya tidak menginginkan perdamaian.
Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, mengatakan bahwa sejumlah negara, termasuk Inggris dan Prancis, bersedia mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Ukraina jika terjadi kesepakatan damai.
Namun, Rusia telah menolak ide pasukan penjaga perdamaian hingga perang berakhir.
"Jika mereka muncul di sana, itu berarti mereka akan ditempatkan di zona konflik dengan segala konsekuensi bagi kontingen-kontingen ini sebagai pihak yang berkonflik," kata Grushko.
"Kami bisa berbicara tentang pengamat tak bersenjata, misi sipil yang akan memantau penerapan aspek-aspek individual dari perjanjian ini, atau mekanisme jaminan. Untuk saat ini, semua itu hanya omong kosong," tutupnya.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.