Uni Eropa Sorot Komitmen Pakistan atas Skema Perdagangan GSP+
Pakistan telah menghabiskan satu dekade terakhir dengan memanfaatkan Generalised Scheme of Preferences Plus (GSP+) Uni Eropa.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakistan telah menghabiskan satu dekade terakhir dengan memanfaatkan Generalised Scheme of Preferences Plus (GSP+) Uni Eropa.
Skema itu memberikan akses perdagangan istimewa dari Pakistan ke pasar UE.
Dikutip dari Independent Online, Selasa (11/3/2025), ada sorotan terkait pemanfaatan skema itu.
Sebab, dalam penilaian dua tahunan baru-baru ini, ada fakta yang mengganggu: Pakistan telah gagal memenuhi persyaratan dasar skema tersebut.
Alih-alih menggunakan manfaat perdagangan istimewa untuk memajukan hak asasi manusia, hak buruh, perlindungan lingkungan, dan tata pemerintahan yang baik, Pakistan secara sistematis mengabaikan kewajibannya.
Apa yang dulunya merupakan peluang ekonomi utama telah menjadi contoh kegagalan negara dan ketidakpatuhan terhadap standar internasional.
Sejak 2014, Pakistan telah menikmati status GSP+, yang telah secara signifikan meningkatkan ekspornya ke Uni Eropa. Namun, terlepas dari keuntungan ekonomi ini, pemerintah Pakistan telah berulang kali mengabaikan untuk menegakkan 27 konvensi internasional yang menjadi tulang punggung pengaturan tersebut.
Konvensi-konvensi ini mencakup berbagai isu, mulai dari hak sipil dan politik hingga perlindungan buruh dan keberlanjutan lingkungan. Parahnya, kritik Uni Eropa ditanggapi respons Pakistan yang mengalihkan perhatian, ketimbang mengatasi akar penyebab kegagalannya dalam melaksanakan reformasi yang berarti.
Masalah penerapan kewajiban GSP+
Salah satu masalah yang paling mencolok adalah kegagalan Pakistan mengadopsi mekanisme yang efektif. Khususnya, guna memantau dan menegakkan kepatuhan GSP+.
The Treaty Implementation Cells (TICs), yang dimaksudkan untuk mengawasi kepatuhan di tingkat provinsi, kekurangan dana atau bahkan tidak disediakan di banyak wilayah. Kurangnya kapasitas kelembagaan dan kemauan politik ini dapat diartikan, bahwa kewajiban negara berdasarkan GSP+ secara rutin diabaikan.
Contoh ketidakpatuhan negara yang sangat meresahkan adalah perlakuan Pakistan terhadap minoritas agamanya. Meskipun berjanji untuk memerangi diskriminasi, negara terus gagal dalam tugasnya untuk melindungi minoritas dari kekerasan, pemaksaan pindah agama, dan praktik diskriminatif.
Penolakan negara untuk meloloskan undang-undang yang menentang pemaksaan pindah agama, yang sering kali melibatkan anak di bawah umur, semakin menyoroti kelambanannya. Undang-undang penistaan agama, yang sering digunakan untuk menargetkan minoritas agama, terus menjadi alat penyalahgunaan yang disetujui negara, dengan ribuan kasus diajukan setiap tahun terhadap komunitas agama non-Muslim.
Kebebasan pers diberangus
Selain itu, catatan kebebasan pers Pakistan menggambarkan gambaran suram tentang penindasan negara. Berada di peringkat ke-150 dari 180 negara untuk kebebasan pers, pemerintah sering menggunakan badan regulasi untuk menekan media yang kritis terhadap kebijakannya.
Pemutusan komunikasi pada Mei 2023, yang memengaruhi 125 juta orang, melanggar norma internasional tentang kebebasan berekspresi dan semakin merusak komitmen Pakistan terhadap kewajiban GSP+.
Yang sama meresahkannya adalah kasus penghilangan paksa yang sedang berlangsung, yang telah menjadi ciri khas pelanggaran hak asasi manusia Pakistan. Antara tahun 2011 dan 2023, hampir 10.000 kasus dilaporkan, namun para pelakunya sebagian besar masih belum bertanggung jawab, dan negara telah gagal memberlakukan undang-undang federal untuk mencegah pelanggaran tersebut.
"Praktik ini melanggar hukum internasional, khususnya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menjamin perlindungan terhadap penahanan sewenang-wenang," tulis Independent Online.
Kegagalan Pakistan dalam menangani masalah hak-hak buruh juga menimbulkan kekhawatiran serius.
Pekerja anak masih marak, dengan survei yang menunjukkan bahwa lebih dari 13 persen anak-anak di Punjab dan Gilgit-Baltistan bekerja dalam kondisi berbahaya.
Minoritas agama secara tidak proporsional terwakili dalam pekerjaan berbahaya dengan upah rendah, sementara partisipasi pasar tenaga kerja perempuan masih di bawah 21%.
Angka itu jauh di bawah rata-rata global.
Dalih Pakistan
Saat Pakistan mendekati tinjauan dua tahunan kelimanya pada tahun 2025, taruhannya tidak bisa lebih tinggi lagi. UE akan memperluas konvensi GSP+ dari 27 menjadi 32, yang mengharuskan Pakistan untuk mengajukan permohonan kembali agar manfaatnya terus berlanjut.
Namun, alih-alih menanggapi kritik, pemerintah Pakistan telah memilih manuver diplomatik, dengan fokus pada masalah pertahanan dan keamanan daripada reformasi hak asasi manusia.
Pendekatan ini telah membuat banyak orang bertanya-tanya apakah UE akan terus menawarkan akses perdagangan istimewa ke negara yang secara konsisten gagal menegakkan prinsip-prinsip yang dijanjikannya untuk dihormati.
Bagi Pakistan, masa depan status GSP+-nya masih belum pasti.
Dengan ketidakpatuhan yang terus berlanjut dan kurangnya reformasi yang berarti, negara tersebut berisiko kehilangan tidak hanya hak istimewa perdagangannya tetapi juga kredibilitasnya di panggung internasional.
Pertanyaannya tetap: apakah Pakistan akan memprioritaskan keuntungan ekonomi daripada hak asasi manusia, atau apakah akhirnya akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan reformasi dan memenuhi kewajibannya berdasarkan GSP+?
Tim Pencari Fakta Demonstrasi Agustus akan Selidiki Dugaan Kekerasan TNI dan Polri |
![]() |
---|
Sidang Korupsi Impor Gula, Hotman Paris Ucapkan Terima Kasih Kepada Saksi Patahkan Dakwaan Jaksa |
![]() |
---|
Hadiri Pertemuan Kadin, Atta Ul Karim Bawa Misi Kolaborasi Indonesia dan Pakistan |
![]() |
---|
Total Transaksi Kredit Karbon di Penyelenggaraan AIGIS 2025 Setara 150 Ton CO2e |
![]() |
---|
10 Negara Paling Tercemar di Dunia, Kebiasaan Buang Sampah Sembarangan, Indonesia Masuk Daftar |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.