Senin, 29 September 2025

Konflik Rusia Vs Ukraina

Demi Ukraina, NATO Siap 'Pisah Ranjang' dengan AS, Tak Sudi Lagi Bergantung ke Washington

Semenjak perseteruan antara AS dengan Ukraina, NATO bersiap untuk lepas sepenuhnya dari cengkeraman Washington.

|
Telegram Zelensky Official
HUBUNGAN NATO-AS PANAS - Foto yang diambil dari akun Telegram Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada Selasa (25/2/2025) menunjukkan acara pertemuan puncak Dukungan Ukraina yang dilakukan oleh para pemimpin Uni Eropa, NATO, dan Ukraina, Senin (24/2/2025). Memanasnya hubungan antara Presiden AS Donald Trump dengan Zelensky membuat NATO bersiap untuk tak mau bergantung lagi kepada Washington. 

TRIBUNNEWS.COM - Hubungan antara Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS) akhir-akhir ini menjadi panas setelah Presiden Donald Trump berulang kali "menghina" Ukraina.

Beberapa waktu lalu, Donald Trump bahkan menjelek-jelekkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dengan menyebut "diktator tanpa pemilu".

Hal ini membuat hubungan AS-Ukraina berada di titik paling rendah.

Bahkan, pernyataan Trump ini membuat hubungan AS dengan Eropa menjadi panas.

Pertengkaran verbal itu terjadi setelah perundingan AS-Rusia mengenai Ukraina di Arab Saudi, tanpa kedatangan Ukraina atau Eropa.

Saat perang memasuki tahun keempat, AS tidak lagi berpihak pada perjuangan Ukraina atau sekutu NATO-nya, dan para pemimpin Eropa bersiap untuk aliansi pasca-AS.

Pemimpin sayap kanan-tengah yang siap menjadi kanselir baru Jerman, Friedrich Merz mengatakan bahwa prioritas saat ini memperkuat Eropa secepat mungkin.

Menurut Merz, Eropa harus bisa merdeka dari AS dan tak lagi bergantung dengan mereka.

Senada dengan Merz, koalisi partai politik pro-Eropa di Parlemen Eropa juga mengatakan bahwa mereka tidak dapat lagi sepenuhnya bergantung pada AS.

"Sudah waktunya bagi Eropa untuk meningkatkan keamanannya sendiri," kata mereka dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Axios.

Pernyataan-pernyataan yang tadinya tidak terpikirkan dari kaum konservatif dan progresif tersebut mencerminkan seruan dari Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang mengunjungi Washington pada hari Senin, untuk "otonomi strategis" Eropa.

Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Hari ke-1098: Sekutu Eropa Temui Zelensky di Kyiv, Janji Beri Tambahan Bantuan

Banyak pemimpin di Eropa tidak menganggap serius konsep itu pada masa jabatan pertama Trump — tetapi mereka menanggapinya sekarang, di tengah konflik berskala terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.

Macron dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, yang juga akan mengunjungi Trump minggu ini, termasuk di antara beberapa pemimpin Eropa yang telah memberi sinyal bahwa mereka siap untuk meningkatkan anggaran pertahanan kepada Ukraina saat Trump mundur.

Starmer telah berkomitmen untuk mengerahkan pasukan darat jika diperlukan untuk "menjamin keamanan Ukraina".

Para pemimpin Eropa telah mendiskusikan potensi "pasukan penenang" pasca-perang yang akan dikerahkan ke Ukraina untuk mencegah agresi Rusia yang baru, AP melaporkan.

Menanggapi seruan Eropa, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth menegaskan pasukan AS tidak akan ambil bagian dalam misi semacam itu.

AS Terlihat Lebih Memihak Rusia Ketimbang Ukraina

Retaknya hubungan AS dengan Ukraina dan sekutu NATO-nya terlihat dalam sidang Majelis Umum PBB pada Senin (24/2/2025) kemarin.

AS berpisah dengan sekutu-sekutunya di Eropa dengan menolak menyalahkan Rusia atas invasinya ke Ukraina dalam pemungutan suara pada tiga resolusi PBB.

Dalam sidang itu, AS bergabung dengan Rusia dalam pemungutan suara menentang resolusi Ukraina yang didukung Eropa yang menyerukan agresi Moskow dan menuntut penarikan segera pasukan Rusia.

AS kemudian abstain dari pemungutan suara atas resolusinya sendiri setelah negara-negara Eropa, yang dipimpin oleh Prancis, berhasil mengubahnya untuk memperjelas bahwa Rusia adalah agresor.

Pemungutan suara tersebut dilakukan pada peringatan tiga tahun invasi Rusia dan saat Trump menjamu Presiden Prancis Emmanuel Macron di Washington.

Dikutip dari AP News, kejadian ini merupakan kemunduran besar bagi pemerintahan Trump dalam badan dunia beranggotakan 193 orang, yang resolusinya tidak mengikat secara hukum tetapi dipandang sebagai barometer opini dunia.

AS kemudian mendorong pemungutan suara atas rancangan aslinya di Dewan Keamanan PBB yang lebih kuat, di mana resolusi mengikat secara hukum dan memiliki hak veto bersama dengan Rusia, Tiongkok, Inggris, dan Prancis.

Pemungutan suara di dewan yang beranggotakan 15 orang itu menghasilkan 10-0 dengan lima negara Eropa abstain – Inggris, Prancis, Denmark, Yunani, dan Slovenia.

Baca juga: Presiden Prancis Emmanuel Macron Kesal Trump Bohong Soal Ukraina, Hubungan AS-Eropa Retak?

Resolusi yang saling bertentangan tersebut juga mencerminkan ketegangan yang muncul antara AS dan Ukraina.

Majelis Umum pertama-tama memberikan suara 93-18 dengan 65 abstain untuk menyetujui resolusi Ukraina.

Hasil tersebut menunjukkan sedikit penurunan dukungan untuk Ukraina, karena pemungutan suara majelis sebelumnya memperlihatkan lebih dari 140 negara mengutuk agresi Rusia, menuntut penarikan segera, dan pembatalan aneksasinya terhadap empat wilayah Ukraina.

Majelis kemudian beralih ke resolusi yang dirancang AS, yang mengakui “hilangnya nyawa secara tragis selama konflik Rusia-Ukraina” dan “memohon diakhirinya konflik dengan segera dan selanjutnya mendesak perdamaian abadi antara Ukraina dan Rusia”, tetapi tidak pernah menyebutkan agresi Moskow.

Dalam sebuah langkah yang mengejutkan, Prancis mengusulkan tiga amandemen, yang didukung oleh lebih dari negara-negara Eropa, yang menambahkan bahwa konflik tersebut merupakan hasil dari "invasi besar-besaran ke Ukraina oleh Federasi Rusia".

Amandemen tersebut menegaskan kembali komitmen majelis terhadap kedaulatan, kemerdekaan, persatuan, dan integritas teritorial Ukraina, dan menyerukan perdamaian yang menghormati Piagam PBB.

Rusia juga mengusulkan amandemen yang menyerukan penanganan “akar penyebab” konflik.

Semua amandemen disetujui dan resolusi tersebut disahkan dengan perolehan suara 93-8 dan 73 abstain, dengan Ukraina memberikan suara “ya”, AS abstain, dan Rusia memberikan suara “tidak”. (*)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan