Sabtu, 4 Oktober 2025

Bertaruh nyawa mengirim uang ke Korea Utara - 'Seperti film mata-mata'

Beberapa dari makelar menceritakan kepada BBC tentang rincian operasi rahasia mereka yang berisiko: mengirimkan uang dari Korea Selatan…

BBC Indonesia
Bertaruh nyawa mengirim uang ke Korea Utara - 'Seperti film mata-mata' 

Sejumlah orang mempertaruhkan nyawa untuk menjadi perantara bagi pembelot Korea Utara yang mengirimkan uang dari Korea Selatan ke kampung halaman mereka di Korut.

Kepada BBC, mereka membeberkan rincian operasi rahasia tersebut.

“Ini seperti film mata-mata dan orang-orang mempertaruhkan nyawa mereka,” kata Hwang Ji-sung.

Hwang adalah seorang makelar atau perantara asal Korea Selatan yang telah membantu para pembelot mengirimkan uang ke keluarga mereka di Korea Utara selama lebih dari satu dekade.

Bertahun-tahun yang lalu, warga Korea Utara menciptakan istilah "jaringan Hallasan" untuk orang yang menerima bantuan dari pembelot yang tinggal di Korea Selatan, kata Hwang.

Hallasan mengacu pada Gunung Halla, sebuah gunung berapi terkenal di Pulau Jeju, di Korea Selatan.

“Seseorang dari keluarga jaringan Hallasan dianggap sebagai keluarga yang paling diinginkan, bahkan lebih baik daripada anggota Partai Komunis,” katanya.

Sebuah survei pada tahun 2023 yang dilakukan oleh Pusat Pangkalan Data Hak Asasi Manusia Korea Utara yang mensurvei sekitar 400 pembelot Korea Utara, menemukan bahwa sekitar 63% telah mentransfer uang ke keluarga mereka di Korea Utara.

Namun kini dengan meningkatnya tindakan hukum yang keras oleh kedua negara, pengiriman uang dari Selatan ke Utara semakin berbahaya.

Pengiriman uang merupakan tugas yang kompleks dan sulit, memerlukan jaringan perantara dan kurir rahasia yang tersebar di Korea Selatan, China, dan Korea Utara.

Panggilan-panggilan rahasia menggunakan telepon selundupan dari China dilakukan di lokasi terpencil. Kode-kode pun digunakan.

Taruhannya sangat besar karena pengiriman uang ini dilarang di Korea Selatan dan Korea Utara.

Sejak tahun 2020, pemimpin Korea Utara Kim Jong un telah mengintensifkan tindakan hukum yang keras terhadap perantara untuk menghentikan aliran uang dan “ideologi dan budaya reaksioner” dari Korea Selatan.

Mereka berisiko dikirim ke kamp penjara politik yang dikenal sebagai kwan-li-so, tempat ratusan ribu orang diyakini telah tewas.

"Jumlah kurir di Korea Utara telah menurun jauh lebih dari 70% dibandingkan beberapa tahun lalu," kata Joo Soo-yeon, istri dari Hwang yang juga bekerja sebagai perantara.

Korea Selatan kini juga melarang transfer dana semacam itu, walaupun di masa lalu, pihak berwenang cenderung mengabaikan hal tersebut. Sekarang itu berubah.

April lalu, rumah Hwang dan Joo di Provinsi Gyeonggi – yang dekat dengan Seoul – digerebek oleh empat petugas polisi, yang menuduhnya melanggar peraturan transaksi valuta asing.

Setidaknya terdapat tujuh perantara lainnya juga sedang diselidiki.

Polisi belum menanggapi penelusuran BBC atas kasus Joo.

Pihak berwenang Korea Selatan mengatakan kepada Hwang bahwa setiap pengiriman uang ke Korea Utara harus dilakukan melalui "bank yang sah".

"Jika ada, beri tahu saya!" kata Hwang, seraya menambahkan bahwa tidak ada lembaga yang secara sah dapat menerima uang di Korea Utara karena kedua negara di semenanjung Korea itu secara teknis masih berperang.

Hubungan kedua negara semakin memburuk sejak Korea Utara meledakkan kantor penghubung dengan Korea Selatan pada 2020.

Awal bulan ini, pemimpin Korea Utara Kim Jong-un bahkan mengatakan bahwa tidak mungkin lagi mencapai reunifikasi dengan Korea Selatan – sebuah tujuan yang diabadikan dalam konstitusi.

Panggilan rahasia

Semuanya dimulai dari sebuah percakapan telepon antara pembelot asal Korea Utara di Korea Selatan dan keluarga mereka di Korut. Panggilan ini dimungkinkan terjadi karena masuknya telepon selundupan China di provinsi-provinsi perbatasan yang dapat memanfaatkan jaringan telekomunikasi China.

Panggilan tersebut difasilitasi oleh perantara di Korea Utara yang harus melakukan perjalanan jauh dan terkadang bahkan mendaki gunung untuk mengatur panggilan tersebut.

Setelah berjam-jam menunggu, panggilan tersambung, dan pembelot akan menyepakati sejumlah uang dengan keluarga. Namun pembicaraan harus dilakukan dengan cepat untuk menghindari pengawasan dari Kementerian Keamanan Negara.

Pembelot kemudian melakukan deposit ke rekening China melalui perantara di Korea Selatan. Hal ini juga penuh dengan risiko karena China juga memantau dengan cermat aliran mata uang asing.

Kemudian, perantara dari China akan membawa uang tersebut ke Korea Utara.

Perbatasan ini relatif rapuh karena China adalah sekutu terpenting Korea Utara. Pengiriman uang dari pembelot terkadang disamarkan sebagai transaksi antara perusahaan dagang China dan Korea Utara.

Mereka lalu mempekerjakan beberapa kurir di Korea Utara untuk mengantarkan uang tersebut ke keluarga.

“Orang-orang yang mengirimkan uang tidak saling mengenal satu sama lain, dan mereka seharusnya tidak mengenal satu sama lain karena nyawa mereka dipertaruhkan,” kata Kim Jin-seok, yang pernah bekerja sebagai kurir di Korea Utara sebelum meninggalkan negara tersebut pada tahun 2013.

Perantara harus menggunakan nama samaran dan mengembangkan kode-kode rahasia untuk memberi sinyal kapan situasi aman bagi keluarga menerima dana.

Hwang, yang memiliki sekitar 800 klien, mengatakan ia bahkan pernah menemui keluarga yang menolak uang tersebut.

“Mereka takut kalau itu adalah jebakan yang dibuat oleh polisi keamanan dan mengatakan hal-hal seperti, 'Kami tidak akan menerima uang dari pengkhianat.'”

Setelah uang dikirimkan, perantara akan mengambil potongan sekitar 50%.

“Perantara Korea Utara mempertaruhkan nyawa mereka untuk menghasilkan 500.000 hingga 600.000 won per transfer,” kata Hwang.

“Saat ini, jika Anda ditangkap oleh petugas keamanan dan dinyatakan bersalah, Anda akan menghadapi hukuman 15 tahun penjara. Jika terbukti melakukan spionase, Anda akan dikirim ke kwan-li-so.”

Hwang menunjukkan kepada kami video kesaksian warga Korea Utara yang menerima uang melalui perantaranya.

“Saya kelaparan setiap hari dan makan rumput,” teriak seorang perempuan tua di antara mereka, tangannya bengkak karena mencari makanan di hutan.

Dalam video yang sama, perempuan lain berkata: "Sangat sulit di sini sehingga saya ingin mengucapkan terima kasih 100 kali."

Joo mengatakan hatinya hancur setiap kali dia melihat video ini.

“Beberapa pembelot telah meninggalkan orang tua dan anak-anak mereka. Mereka hanya ingin memastikan bahwa keluarga mereka di Korea Utara akan bertahan sehingga mereka dapat bersatu kembali suatu hari nanti.”

Dia mengatakan satu juta won cukup untuk memberi makan satu keluarga beranggotakan tiga orang selama setahun di Korea Utara.

Garis hidup terputus

Tidak jelas mengapa Korea Selatan mulai menindak para perantara, namun pengacara Park Won-yeon, yang telah memberikan dukungan hukum bagi para pembelot, percaya bahwa semangat yang berlebihan bisa menjadi salah satu faktornya.

Park menambahkan, wewenang untuk menyelidiki kasus-kasus keamanan nasional, seperti spionase, dialihkan ke polisi dari badan intelijen nasional tahun ini.

“Jika polisi gagal membuktikan tuduhan spionase, mereka akan mengadili mereka berdasarkan Undang-Undang Transaksi Valuta Asing,” katanya.

Di bawah tekanan yang semakin meningkat dari kedua pemerintah, garis hidup bagi keluarga pembelot Korea Utara bisa saja terputus.

Hwang siap membawa kasus istrinya ke Mahkamah Agung jika dia dinyatakan bersalah. Ia yakin kiriman uang dari para pembelot bukan hanya soal uang.

“Ini adalah satu-satunya cara untuk menjatuhkan Korea Utara tanpa melakukan pertempuran,” katanya. “Bersamaan dengan uang, juga datang berita bahwa Korea Selatan makmur dan kaya… Itulah yang ditakutkan oleh Kim Jong-un.”

Kemudian, Kim Jin-seok menambahkan bahwa pembelot sepertinya tidak akan berhenti mengirimkan uang kepada orang-orang yang mereka cintai di kampung halamannya, meskipun pihak berwenang dari kedua negara ingin menghentikan mereka.

Dia bahkan mengatakan akan melakukan perjalanan ke China sendiri untuk mengirimkan uang jika diperlukan.

“Saya mengambil risiko untuk tidak akan pernah bertemu anak-anak saya lagi, tapi setidaknya anak-anak saya akan memiliki kehidupan yang baik,” katanya.

“Kami akan mengirimkan uang itu dengan cara apa pun yang kami bisa, dan apa pun resikonya.”

Dia sekarang bekerja sebagai sopir truk di Korea Selatan dan tidur di dalam kendaraannya lima hari seminggu.

Dia menabung sebanyak mungkin agar dapat mengirimkan empat juta won kepada istri dan dua putranya di Korea Utara setiap tahun.

Kim berulang kali memutar pesan audio dari keluarganya.

Salah satu putranya berkata: "Bagaimana kabarmu, Ayah? Berapa banyak penderitaan yang telah kamu alami? Kesulitan kami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kesulitanmu."

Kim Jin-seok adalah nama samaran sebagai upaya untuk melindungi keselamatannya.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved