Dugaan penyelundup manusia dalam gelombang pengungsi Rohingya di Aceh - Apa tindakan Indonesia?
Indonesia dianggap terjebak dilema antara kemanusiaan dan menjaga keamanan dalam gelombang pengungsi Rohingya di Aceh. Apa yang bisa…
Kapolres Pidie, Imam Asfali, pada 6 Desember lalu mengumumkan bahwa jajarannya membekuk seorang pria asal Bangladesh berinisial HM (70) yang diduga menyelundupkan Rohingya ke Aceh.
Imam mengatakan HM diduga menyediakan dua kapal kayu untuk mengangkut Rohingya dari kamp pengungsian di Bangladesh menuju Aceh.
"Setiap penumpang kapal yang anak dibebankan membayar sebesar 50.000 taka atau kalau di-Rupiah-kan Rp7 juta, sedangkan dewasa sebesar 100.000 taka atau sekitar Rp 14 juta,” kata Imam.
Ia kemudian berkata, “Apabila ditotalkan, agen mendapatkan hasil kejahatan tersebut bila dihitung kurs Indonesia sebesar Rp3,3 miliar.”
Saat ini, HM ditahan di Polres Pidie untuk pemeriksaan lebih lanjut. Ia dijerat Pasal 120 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan Pasal 55 Ayat (1) Ke 1 KUHP.
Rafendi mengatakan bahwa penyelundupan manusia seperti ini seharusnya dicegah sejak awal, di titik keberangkatan Rohingya di Bangladesh.
“Penyelundupan manusia harus di-tackle di awalnya. Sebelum dia berangkat, seharusnya sudah bisa di-intercept. Kerja samanya lebih di luar. Kalau di lokal ini ya kita sudah terima jadi,” ucap Rafendi.
Ia pun menegaskan kerja sama kawasan Asia Tenggara memegang peranan penting dalam penanganan penyelundup manusia. Isu ini sendiri sebenarnya bukan barang baru bagi ASEAN.
Sebagai mantan Wakil Indonesia di Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN pada 2009-2015, Rafendi sudah mengendus peran penyelundup manusia dalam deras arus pengungsi Rohingya sejak 2015 silam, ketika terjadi Krisis Laut Andaman.
Kala itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan 100.000 orang Rohingya kabur dari Myanmar akibat persekusi dan konflik berkepanjangan di negara tersebut.
Dengan kapal, mereka mengarungi Laut Andaman untuk mencari perlindungan di sejumlah negara Asia Tenggara, seperti Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
“Respons pertama tahun 2015, dibuat pertemuan antara bareskrim negara-negara Asia Tenggara, sampai pertemuan tingkat menteri. Keluarlah deklarasi untuk merespons itu,” tutur Rafendi.
Dari pertemuan itu, tercapailah action lines atau langkah aksi yang menjadi pedoman dan komitmen ASEAN dalam menangani berbagai kejahatan lintas batas, termasuk penyelundupan dan perdagangan orang.
“Jadi sebenarnya sudah ada mekanismenya, tapi kenapa itu terulang terus? Satu, action line ini tidak terlalu konsisten dijalankan,” kata Rafendi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.