Senin, 6 Oktober 2025
Deutsche Welle

Ketika Umat Islam Indonesia Membicarakan Teknologi

Hubungan antara Islam dan teknologi menjadi isu utama dalam masyarakat Islam (umat) pada awal 1990-an di Indonesia. Bagaimana upaya…

Deutsche Welle
Ketika Umat Islam Indonesia Membicarakan Teknologi 

Artikel yang ditulis oleh Suzanne Moon, sejarawan teknologi dengan fokus di Indonesia, di jurnal History and Technology, 2020, Vol. 36, No. 2, berjudul "A sociotechnical order for the umma: connecting Islam and technology in Suharto's Indonesia” mengeksplorasi narasi upaya para intelektual muslim Indonesia mendefinisikan teknologi sebagai wilayah spiritual dan ekonomi, dan juga aktivitasnya sebagai agensi moral.

Dengan menggunakan konferensi yang disponsori pemerintah pada tahun 1994 tentang peran teknologi dalam kemajuan umat Islam Indonesia (Kongres Nasional Al-Qur'an, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi untuk Kesejahteraan Umma) di Riau, Sumatra bagian timur, sebagai contohnya, Moon menguraikan hubungan sekularitas dan religiusitas, serta untuk menjawab pertanyaan mengenai hubungan antara agama dan teknologi di Indonesia kontemporer.

Konferensi ini menjadi penting karena dipromotori Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan dihadiri oleh para pakar ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), pemimpin Islam, dan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan Orde Baru, yang masing-masing berkontribusi dalam diskusi luas mengenai bagaimana Islam dapat membantu umat dalam membuka jalan bagi perkembangan iptek bangsa.

ICMI didirikan pada 1990 oleh sekelompok mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, dengan dukungan dua orang intelektual muslim, Dawam Rahardjo (ekonom, penulis, dan aktivis keadilan sosial) dan M. Imaduddin Abdulrahim (insinyur dan pendiri gerakan pelatihan Islam yang berpengaruh). Organisasi ini didukung oleh B.J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi dan orang kepercayaan Presiden Suharto, yang membuat ICMI sangat mencolok dan penting, terutama dalam advokasi teknosainsnya.

Iptek dari dan untuk umat

Bangkitnya ICMI menandakan transisi peran Islam dalam politik Indonesia.

Kepemimpinan militer Orde Baru (1966-1998) yang dipimpin Suharto mengalami tekanan dan ketidakpuasan yang meningkat selama bertahun-tahun dari kelompok Islam, yang saat itu secara sistematis dikucilkan dari pembangunan sosial, ekonomi, dan politik negara.

Pengucilan ini dimulai pada 1966 ketika Soeharto lebih memilih kelompok Cina-Kristen untuk mengendalikan investasi Barat dalam usahanya membangun kembali dan mengindustrialisasi Indonesia pasca peristiwa penumpasan elemen kiri dan komunis yang brutal pada 1965-1966.

Transisi ini melukai banyak pemilik bisnis muslim lokal, yang sebelumnya cukup berkembang akibat kebijakan substitusi impor yang diterapkan pemimpin sebelumnya, Sukarno (1959-1966).

Industrialisasi Orde Baru berjalan paralel dengan Islamisasi yang berkembang pada 1970-an dan 1980-an, sehingga lahir generasi baru intelektual muslim yang mulai mempromosikan gagasan-gagasan kesetaraan ekonomi dan pembangunan yang adil (tidak berpusat pada elite atau kroni pemerintah saja).

Salah satunya adalah Imaduddin, yang dengan lantang menyerukan kepada kaum muda muslim untuk menekuni bidang teknik demi kemajuan bangsa dan sosial umat Islam Indonesia.

Moon berpendapat bahwa perhatian intelektual ICMI terhadap tujuan tekno-religius daripada mengejar isu-isu transformasi demokratis merupakan langkah pragmatis untuk menjaga agar organisasi ini tetap sejalan dengan pemerintahan Suharto, meskipun wacana teknis dan ilmiahnya terkadang berkesinambungan dengan kritik politik. Konferensi pertama ICMI pada 1990 sudah membahas pembangunan iptek, tetapi skala konferensi pada 1994 memperkuat posisi ICMI dalam isu tersebut.

Beberapa pembicara kunci menggunakan konferensi tersebut untuk menyampaikan argumen tentang implikasi iptek terhadap Islam dan juga sebaliknya, beberapa bahkan juga merujuk pada Al-Qur'an dan Hadis untuk menyampaikan landasan religius dari perspektif mereka. Beberapa nama yang disebutkan oleh Moon adalah Quraish Shihab (ulama Islam), Tarmizi Taher (dokter, Laksamana Angkatan Laut, dan Menteri Agama), Wardiman Djojonegoro (insinyur, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan), dan Achmad Baiquni (fisikawan).

Argumen mendasar dari para pembicara, terutama Taher dan Djojonegoro, adalah bahwa selain kegunaan sekulernya, kegiatan iptek juga harus dipahami sebagai sesuatu yang memiliki makna religius.

Keduanya mengutip Al-Qur'an dan Hadist untuk membenarkan pandangan bahwa mempelajari pengetahuan tentang dunia, baik alam maupun sosial, adalah tugas utama umat Islam karena hal tersebut dapat mengungkapkan kebesaran Allah dan harus diterapkan untuk memberi manfaat bagi kehidupan manusia, terutama umat Islam.

Shihab lebih lanjut menekankan hal ini dengan mengatakan bahwa Allah menyediakan pengetahuan dan alat yang dibutuhkan umat manusia untuk mengatasi tantangan, tetapi manusia harus aktif mencari pengetahuan dan membangun alat (teknologi) itu sendiri dan membuat dunia menjadi lebih baik dan teratur secara ilahiah.

Halaman
12
Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved