Konflik Palestina Vs Israel
Hamas Bikin Runyam Masterplan AS dan Israel: Arab Saudi Malah Mendekat ke Iran, Perang Tanpa Arah
Hamas tidak hanya berhasil memberikan pukulan terbesar terhadap tentara Israel dalam sejarahnya namun juga merusak rencana besar AS di Timur Tengah
Hamas Bikin Runyam Masterplan AS dan Israel: Saudi Malah Mendekat ke Iran, Perang Tanpa Arah
TRIBUNNEWS.COM - Perjuangan milisi pembebasan Palestina di Gaza, Hamas, dinilai memberikan pukulan sangat telak tidak hanya dalam sejarah Israel sepanjang catatan kependudukan mereka, tapi juga bagi rencana luas Amerika Serikat (AS) di kawasan Timur Tengah.
Robert Inlakesh, analis politik, jurnalis, dan pembuat film dokumenter yang saat ini tinggal di London, Inggris mengulas betapa Hamas membuat runyam banyak urusan AS dan Israel.
Baca juga: Puluhan Ledakan Guncang Tel Aviv, Warga Israel Gugat Tentara Gegara Roket Hamas Bisa Masuk
"Setelah jeda tujuh hari dalam perang antara Israel dan kelompok bersenjata Palestina di Gaza, dimulainya kembali perang telah mendapat lampu hijau lagi dari Washington."
"Setelah gagal memimpin sekutunya, Israel, menuju kemenangan (secara) militer, AS melancarkan eskalasi yang berbahaya dan menolak solusi damai yang (seharusnya) akan mencegah penderitaan warga sipil lebih lanjut," kata jurnalis yang melaporkan dari dan tinggal di wilayah Palestina dan saat ini bekerja dengan Quds News tersebut dilansir RT.
Bombardemen Israel ke Gaza Direstui AS
Sutradara film 'Steal of the Century: Trump's Palestine-Israel Catastrophe' itu menggambarkan, hanya beberapa menit setelah kepergian Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, dari Israel, perang di Gaza kembali terjadi, ditandai serangan udara besar-besaran terhadap infrastruktur sipil Palestina yang mengakibatkan kematian hampir 200 warga sipil hanya di hari pertama setelah gencatan senjata berakhir.
"John Kirby yang hadir di Gedung Putih mengumumkan dukungan berkelanjutan terhadap “hak dan tanggung jawab Israel untuk menyerang Hamas,” namun tujuannya tidak jelas," kata dia.
"Ketika orang-orang seperti mantan Perdana Menteri Israel Ehud Barak mengakui kalau Hamas masih jauh dari kehancuran (kekalahan), hal ini menimbulkan pertanyaan: apa sebenarnya gunanya perang ini?" kata Inlakesh dalam ulasannya.
Setelah enam minggu perang yang mengakibatkan lebih dari 20.000 warga Palestina tewas, militer Israel gagal memberikan bukti apa pun kalau mereka telah memberikan pukulan signifikan terhadap kemampuan militer Hamas dan kelompok bersenjata Palestina lainnya di wilayah pesisir yang terkepung.
Meskipun Israel memaksa masuk ke rumah sakit-rumah sakit besar di Gaza utara, mengklaim kalau Hamas menggunakan situs tersebut sebagai basis dan pusat komando dan kendali, bukti yang dihasilkan oleh Pasukan Pertahanan Israel (IDF) tidak mendukung tuduhan tersebut.
"Pemerintah AS (juga ikut) mendukung tudingan kalau pusat komando telah ada di Rumah Sakit Shifa. Dan ketika pasukan Israel memasuki kompleks rumah sakit, mereka memberikan senjata yang mereka klaim telah ditemukan di sana, serta sebuah terowongan kosong," kata Inlakesh.
Gambar-gambar seperti itu yang dirilis ke publik dikurasi dan diedit oleh tentara Israel, namun jika diverifikasi secara independen, gambar-gambar tersebut cuma menjadi bukti adanya kehadiran anggota milisi – namun, bukan bukti adanya pusat kendali atau simpul gerakan.
"Tidak banyak catatan yang ditemukan di rumah sakit lain, dan klaim Amerika bahwa mereka memiliki informasi intelijen yang kuat yang mengkonfirmasi klaim Israel sangatlah meragukan, mengingat pernyataan publik sebelumnya -seperti kata-kata Presiden AS Joe Biden soal dia telah melihat “gambar yang dikonfirmasi dari teroris yang memenggal kepala anak-anak” - yang kemudian ditarik sendiri oleh Gedung Putih," katanya menjelaskan narasi-narasi yang dibangun AS-Israel dalam perang Gaza banyak yang tidak kredibel dan cuma berfungsi sebagai pembenaran, bukan kebenaran.

Keunggulan Hamas, Kemunduran AS-Israel
Pada awal perang Gaza, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan bahwa pemerintahannya akan “menghancurkan Hamas,” sebuah tujuan yang didukung secara terbuka oleh pemerintah AS.
Namun, Hamas tidak hanya berhasil memberikan pukulan terbesar terhadap tentara Israel dalam sejarahnya, namun juga membela Gaza dengan jutaan keberhasilan yang terdokumentasi dalam melawan pasukan Israel.
Seluruh dunia kini membicarakan pembentukan Negara Palestina, sebuah gagasan yang telah ditinggalkan demi perjanjian normalisasi tanpa syarat antara Negara-negara Arab dan Israel, sebelum perang.
Selain itu, satu di antara hasil yang dapat diprediksi dari perang Israel di Gaza adalah peningkatan besar dalam dukungan terhadap Hamas di seluruh wilayah pendudukan.
"Di Timur Tengah dan di seluruh Dunia Muslim, militan Hamas telah menjadi pahlawan dan secara luas dipandang sebagai perlawanan nasional yang gagah berani," kata Inlakesh.
Rencana besar AS yang susah payah mereka bangun lewat Abraham Accords yang bertujuan untuk menormalisasi Saudi-Israel, juga kena imbasnya dan cenderung berantakan.
Disebut berantakan, lantaran Arab Saudi, yang secara formil mengatakan akan tetap berpegang teguh pada komitmen normalisasi hubungannya dengan Israel, pada kenyataannya juga menjalin pembicaraan normalisasi dengan Iran, musuh utama Israel di kawasan.
"Normalisasi Saudi-Israel yang menjadi landasan kebijakan Timur Tengah pemerintahan Joe Biden, kini cenderung hancur dan tidak punya harapan lagi karena Riyadh semakin mendekat ke Teheran," kata ulasan tersebut.
Pukulan lain adalah, menurut data jajak pendapat Israel, Benjamin Netanyahu hanya dipercaya oleh 4 persen warga Israel, sedangkan tokoh nasional yang paling tepercaya tercatat adalah juru bicara militer IDF, Daniel Hagari.
"Hagari, meskipun dipercaya oleh orang-orang Israel, berubah menjadi “cuma ada daftar” dan menjadi meme (olok-olok) online, setelah menampilkan video di mana ia menyebutkan kalender Arab biasa yang diberi nama “teroris”. Video tersebut, yang merujuk pada daftar tersebut, seharusnya (menjadi narasi Israel) yang menunjukkan bukti-bukti penahanan Hamas di Rumah Sakit Anak Rantisi," kata ulasan tersebut.
Gara-gara perlawanan Hamas, hubungan Israel dengan banyak negara juga suram.
Setidaknya 10 negara telah menarik duta besarnya atau menangguhkan hubungan dengan Israel.
Semua ini sebagai protes pro-Palestina terbesar yang pernah terjadi di negara-negara Barat dan terus terjadi di kota-kota besar seperti London dan Washington DC.
"Hal ini, ditambah dengan turunnya peringkat dukungan terhadap Joe Biden, semuanya berdampak pada perang yang didukung AS di Gaza," kata Inlakesh.
Tak Ada Kata Maaf, AS Ada di Balik Kemudi Perang Gaza
Inlakesh juga menyoroti peran besar AS sata bombardemen Israel tanpa pandang bulu di Gaza.
Gedung Putih mengklaim kalau mereka menerapkan pembatasan tertentu pada tentara Israel karena berencana menyerang bagian selatan Gaza.
"Namun pada saat yang sama, AS menawarkan dukungan tanpa syarat terhadap tindakan Israel."
"Pemerintah AS sama sekali tidak bertanggung jawab atas apa yang terjadi sejak 7 Oktober, tidak ada permintaan maaf atas kebohongan mereka, tidak ada perubahan dalam strategi dan tidak ada pengakuan atas peran yang dimainkan Washington dalam menciptakan situasi di Gaza dalam serangan menghancurkan dengan dalil memburu Hamas," sambung ulasan tersebut.
Pertanyaan sebenarnya sekarang adalah: Ke mana arah perang ini akan melangkah setelah berakhir?
"Israel berperang tanpa tujuan di Gaza dan terus membunuh ribuan warga sipil Palestina, tidak ada tanda-tanda kekalahan Hamas dan situasi kemanusiaan, yang digambarkan sebagai “yang terburuk” oleh Kepala Bantuan PBB Martin Griffiths, semakin memburuk," kata Inlakesh.

Ciptakan Potensi Perang Besar di Kawasan
Alih-alih sukses memberangus Hamas, aksi militer Israel justru akan memicu terjadinya perang regional jika serangan Israel meningkat terhadap Gaza.
Hizbullah Lebanon saat ini sering terlibat dalam pertempuran di sepanjang perbatasan Lebanon dan telah memperluas cakupan serangannya terhadap sasaran militer Israel.
"Pertukaran tawanan yang terjadi antara Israel dan Hamas membuktikan kalau kelompok Palestina mampu berjaya secara diplomatis. Pertukaran ini juga bertujuan untuk mengungkap kepada dunia bahwa Israel juga menahan perempuan dan anak-anak tanpa tuduhan apa pun," kata dia.
Dia menyoroti bagaimana tawanan warga sipil Israel yang dibebaskan, sebagian besar terekam tersenyum, berjabat tangan dan berterima kasih kepada pejuang Hamas atas pembebasan mereka.
Di sisi lain, perempuan dan anak-anak Palestina menceritakan pelecehan, penyiksaan dan penghinaan yang mereka derita di tangan para sipir penjara Israel.
"Hal ini merupakan satu lagi bencana (dalam hal) hubungan masyarakat (citra) yang menimpa pemerintah Israel, yang terlihat lebih bersalah dibandingkan Hamas," kata dia.
Inlakesh secara terbuka menganalisis kalau Pemerintah AS berada di kursi pengemudi perang ini.
"Mereka mempunyai kekuatan untuk mengakhiri konflik kapan saja, namun terus memperpanjang bencana ini. Selama tujuh hari jeda permusuhan, tidak ada perubahan yang menguntungkan Israel dalam mewujudkan kemenangannya. Tidak ada solusi militer terhadap perang di Gaza, AS harus menyadari bahwa konflik ini tidak akan pernah berakhir sampai rakyat Palestina diberikan keadilan dan kebebasan," kata Inlakesh.
Dia menambahkan, selama 75 tahun, pemerintah kolektif Barat mengabaikan penderitaan rakyat Palestina.
"San mereka tidak pernah menjadi perantara perdamaian yang obyektif," katanya.
Inlakesh memberikan narasi, "Kekerasan menghasilkan kekerasan dan kebencian menghasilkan kebencian, tidak mungkin membunuh orang-orang Palestina begitu saja agar tunduk".
"Bahkan jika Hamas dikalahkan, akan ada lebih banyak kelompok yang muncul untuk membalas kekalahan mereka dan memperjuangkan kemerdekaan di masa depan. Jika komunitas internasional bersatu, siklus ini dapat diputus, namun hal ini membutuhkan keberanian," tutup ulasan Inlakesh.
(oln/RT/*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.