Polisi lanjutkan kasus dugaan pemerkosaan oleh bupati Maluku Tenggara, LPSK siagakan perlindungan darurat
Kepolisian Daerah Maluku menyatakan tidak menghentikan kasus dugaan kekerasan seksual oleh Bupati Maluku Tenggara, M Thaer Hanubun.…
Kasus dugaan perkosaan yang dilakukan Bupati Maluku Tenggara, M Thaher Hanubun terhadap seorang karyawati kafe telah menyita perhatian publik.
Kepolisian Daerah Maluku menyatakan tidak menghentikan kasus ini, meskipun pihak keluarga dan pelapor meminta agar laporannya dicabut.
Kuasa hukum korban mengatakan pencabutan laporan “hanya untuk menjaga nama baik”, sekaligus membantah adanya pernikahan antara korban dan terduga pelaku dengan mahar Rp1 miliar.
Namun, seorang aktivis perempuan di Maluku meragukan permintaan pencabutan laporan dari pihak pelapor ini tanpa diwarnai intimidasi dan tekanan.
Di sisi lain, LPSK menyiapkan “perlindungan darurat” untuk mengevakuasi korban jika mendapat permintaan.
Komnas Perempuan mencatat terjadi peningkatan kasus kekerasan berbasis gender, salah satunya melibatkan pejabat negara dalam satu tahun terakhir, dan menyebut rentan terjadi impunitas terhadap pelaku.
Kepolisian Daerah Maluku mengatakan belum menghentikan kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan seorang perempuan berusia 21 tahun, dan terlapor M Thaher Hanubun.
"Kami belum menghentikan kasus ini. Bahwa ini masih tahap penyelidikan," kata Kabid Humas Polda Maluku, Kombes M Roem Ohoirat, Rabu (20/09).
Kepada wartawan Khairyiah Fitri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Roem Ohoirat mengakui sudah ada permohonan pencabutan laporan oleh pihak pelapor.
"Namun demikian, kasus ini kami masih mengkaji lebih jauh, dengan harapan pelapor ini, ataukah penyidik bertemu dengan pelapor di mana, untuk bisa diambil keterangan lebih lanjut," lanjut Roem.
Bagaimana kronologinya?
Berdasarkan keterangan pendamping, kejadian ini berawal pada April lalu.
Pelapor atau korban yang bekerja di sebuah kafe di Kota Ambon, diminta memijat si pemilik kafe, yaitu Bupati Maluku Tenggara, M Thaher Hanubun, di sebuah kamar. Saat itulah terjadi pelecehan.
Terduga pelaku juga mencoba melakukan kembali perbuatannya pada Agustus, tapi saat itu korban menolak. Penolakan ini berujung pada pemecatan korban.
Berdasarkan keterangan polisi, korban melaporkan dugaan tindak pidana kekerasan seksual oleh Bupati Maluku Tenggara, M Taher Hanubun pada 1 September. Laporan ini termuat dalam surat bukti lapor Nomor: TBL/230/IX/2023/MALUKU/SPKT.
Saat itu penyidik melakukan pemeriksaan dan pendampingan awal dengan melakukan visum di Rumah Sakit Bhayangkara.
Sehari kemudian, proses pemeriksaan dilanjutkan, akan tetapi menurut polisi, pelapor meminta ditunda dengan alasan kondisi kesehatan.
Beberapa hari kemudian, tepatnya pada 6 September, penyidik menerima surat dari pelapor. Isinya pemberitahuan pelapor tidak mau melanjutkan lagi, dan mau dicabut.
"Dengan alasan yang diajukan ini adalah aib dan musibah yang dihadapi pelapor, sehingga pelapor tidak mau aib ini diumbar," jelas Kabid Humas Polda Maluku, Kombes M Roem Ohoirat.
Namun, kepolisian tidak serta merta menghentikan kasusnya.
“Tidak ada penghentian kasus, karena perlu diketahui kasus ini masih dalam penyelidikan. Pelapor pun baru diambil keterangan awal, butuh keterangan lanjutan daripada pelapor,” katanya.
Kuasa hukum korban: Cabut laporan karena aib
BBC News Indonesia menerima laporan yang ditandatangani oleh korban, orang tuanya, serta kuasa hukum terkait pencabutan laporan tersebut.
“Dikarenakan maraknya pemberitaan di media massa, media sosial maupun media elektronik, sehingga kami selaku keluarga dan pelapor merasa tidak nyaman dengan nama pelapor dimuat dalam pemberitaan tersebut,” tulis pernyataan itu.
Oleh karenanya, “aib pelapor diketahui oleh banyak orang terlebih khusus lingkungan di mana kami hidup bersama”.
“Bahwa keluarga pelapor, dan pelapor telah mencabut laporan polisi Nomor LP/B/230/IX/2023/Maluku/SPKT Polda Maluku, tidak ada unsur intimidasi, tekanan, ancaman ataupun bujuk rayu dari pihak mana pun, dan pencabutan laporan polisi ini juga tanpa syarat,” tambah pernyataan tersebut.
Saat dihubungi, kuasa hukum korban, Malik Raudhi Tuasamu membenarkan pencabutan laporan ini.
“Ini hanya untuk menjaga nama baik saja, sehingga ya sudah, sehingga mereka berinisiatif bagaimana untuk mencabut itu,” katanya.
Kuasa hukum korban: Tidak ada pernikahan mahar Rp1 miliar
Selain itu, Malik juga membantah pemberitaan yang menyebutkan korban dinikahi oleh terduga pelaku, termasuk dengan mahar sebesar Rp1 miliar. “Itu hoax. Tidak ada itu,” katanya.
Sebelumnya sejumlah kabar menyebutkan bahwa pelaporan ini dicabut karena terduga pelaku menikahi korban dan mas kawin uang yang cukup besar.
Aktivis: Korban dilematis, tapi punya keinginan berjuang
Bagaimana pun, aktivis perempuan di Maluku, Lusi Peilouw yang mengaku sempat bertemu korban, meyakini pencabutan laporan korban ini karena di bawah tekanan.
Musababnya, budaya patriarkal yang masih kental di Maluku membuat korban tak punya pilihan selain mengikuti keinginan keluarga.
“Dia tetap perjuangkan kasusnya ke ranah hukum, [tapi] kalau keluarga mengatakan tidak, keluarga mengintimidasi, maka dia akan mengalah,” kata Lusi.
Selain itu, persoalan relasi kuasa yang timpang antara korban dan terduga pelaku ikut memengaruhi keberanian keluarga untuk mendukung korban.
“Apalagi kalau misalnya ini berhadapan dengan orang yang punya uang dan kekuasaan. Dengan uang segala sesuatu bisa dibungkamkan,” lanjut Lusi.
Lusi juga mempertanyakan alasan aib yang menjadi dasar pencabutan laporan yang ia sebut sebagai “cara berpikir yangs sangat tidak humanis”.
“Padahal kita harus mau baca dari sisi yang lain, korban ya korban. Perbuatan pelaku itu yang aib,” katanya.
Ia masih berharap kepolisian terus mengusut kasus ini.
“Apakah polisi punya keberanian untuk tetap mengambil langkah penanganan sesuai UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual),” katanya.
Polisi punya landasan hukum seperti termuat dalam Pasal 23 di mana TPKS tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.
Lusi menambahkan, kasus ini sebagai “gambaran situasi korban [kekerasan seksual] pada umumnya di Maluku.”
“Korban-korban lain tidak bisa speak up, bukan hanya kekuasaan, tapi akses ke layanan penegakan hukum yang terbatas,” tandasnya.
LPSK siap beri perlindungan darurat
Di sisi lain, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan siap memberi perlindungan darurat bagi korban dan keluarga korban.
“Kita sudah siap dikontak, dan memberi perlindungan, sehingga proses hukum bisa jalan,” kata Wakil Ketua LPSK, Livia Istania DF Iskandar kepada BBC News Indonesia.
Livia bilang, LPSK bisa mengevakuasi korban ke tempat yang lebih aman selama proses hukum berjalan, bahkan setelahnya.
“Kita ada mekanisme perlindungan darurat. Biasanya butuh waktu untuk investigasi, dan lain-lain; tapi kalau ada kondisi kedaruratan, bisa diberikan perlindungan darurat. Dan kita bisa merelokasi ke tempat yang lebih aman,” katanya.
Kasus perlindungan seperti ini bukan sekali dua kali dilakukan LPSK karena setiap tahun sedikitnya 500 korban TPSK memperoleh perlindungan lembaga ini, kata Livia.
“Itu sudah pernah kita lakukan, yang pelakunya pejabat publik dan pejabat negara,” tambahnya.
Namun perlindungan ini hanya bisa dilakukan ketika pelapor atau korban secara sukarela meminta perlindungan. “Korban sudah dewasa, jadi permohonan dari dia saja pun sudah cukup untuk kemudian kita tindaklanjuti,” kata Livia.
BBC News Indonesia telah menghubungi Bupati Maluku Tenggara, M. Taher Hanubun yang dilaporkan dalam kasus ini, namun belum mendapat respons.
Kasus kekerasan “ranah negara” meningkat dua kali lipat
Komnas Perempuan menempatkan kasus seperti ini dalam klasifikasi kekerasan berbasis gender “ranah negara”.
Dalam laporannya, lembaga ini mencatat terjadi peningkatan dua kali lipat kasus kekerasan berbasis gender di “ranah negara”. Pada tahun 2021 pengaduan sebanyak 38 kasus, menjadi 68 kasus pada 2022.
Kasus kekerasan berbasis gender di ranah negara ini meliputi perempuan berhadapan dengan hukum, konflik sumber daya alam, kekerasan perempuan dengan pejabat negara, penggusuran, diskriminasi pemilihan pejabat publik, intimidasi pemda, dan kebebasan berkeyakinan.
Jumlah kasus kekerasan berbasis gender dalam klasifikasi “ranah negara” ini lebih kecil dibandingkan “ranah personal” dan “ranah publik”. Namun, perlindungan terhadap korban dalam kategorisasi ini jauh lebih kompleks karena melibatkan pelaku yang memiliki relasi kuasa yang besar.
Pejabat publik, aparatur sipil negara (ASN), tenaga medis, anggota TNI dan Anggota Polri menjadi sorotan karena memiliki kekhasan terkait kekuasaan berlapis, baik kekuasaan patriarkis termasuk relasi kekeluargaan, ekonomi maupun kekuasaan jabatan, dan pengaruh yang dimiliki oleh pelaku, tulis laporan Komnas Perempuan.
“Terjadi impunitas, korban tidak mendapatkan dukungan penyelesaian kasus pada sistem peradilan pidana, kebenaran kekerasan yang dialaminya disangkal yang mengakibatkan korban bungkam, dan meminta mutasi ke kota lain” tambah laporan tersebut.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.