Semangat Penggerak Literasi yang Pantang Surut
Tak cuma persoalan jarak tempuh yang jauh untuk mendapat buku buat dibaca, di pelosok banyak didapati anak-anak yang sulit mengeja…
Perjalanan menelusuri pelosok Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, saya menyaksikan anak-anak Sekolah Dasar melewati Desa Kamanggih dengan padang savana yang luas, berbukit-bukit. Saat itu, jarum jam menunjuk pada angka 13.30 WITA, dengan riangnya anak-anak menyapa saya, "Selamat siang, Kakak” dan mereka saling bercanda riang dengan sesama kawannya. Beberapa jam kemudian, saya melanjutkan perjalanan ke dataran yang lebih tinggi dengan mobil, masih berpapasan dengan mereka yang berseragam putih-merah pada pukul 17.00 WITA. Kembali mereka menyapa saya, "Selamat sore, Kakak”. Jarak waktu 4,5 jam, anak-anak itu belum sampai di rumah, bahkan salah satu dari mereka berteriak, "Nanti jam tujuh malam kita sampai di rumah, Kakak.”
Lalu saya berpikir, anak-anak tak bisa menghampiri buku-buku untuk membaca. Fisik mereka lelah untuk melakukan perjalanan jauh dari rumah ke sekolah, pergi dan pulang setiap hari, kecuali hari Sabtu dan Minggu. Mereka melintasi lembah, sungai, pegunungan tandus yang gersang di musim kering, ditambah terik sinar matahari yang menyengat, seakan menembus sumsum tulang mereka. Kulit hidung saya terkelupas dan perih, tak tahan dengan panas matahari di Sumba Timur meski saya menggunakan sunscreen dengan SPF 50+.
Harus buku-buku yang menghampiri mereka di atas bukit, di balik lembah dan di manapun anak-anak berada. Apalagi anak-anak yang tumbuh di pulau-pulau kecil yang tak memiliki jangkauan listrik dan perpustakaan. Pada titik kesadaran itu, saya dan kawan-kawan mendirikan beberapa perpustakaan di berbagai pulau.
Tantangan terberat lain, adalah mengirim buku 80 kilogram hingga 100 kilogram menggunakan kargo kapal laut. Selain biaya yang mahal, waktu perjalanan sangat lama. Saya sering menitipkan buku-buku ke kawan-kawan yang bekerja di NGO Internasional untuk menekan mahalnya ongkos kirim. Peristiwa itu jauh sebelum saya melobi Direktur Pos Indonesia, lalu membuat program Free Cargo Literacy, yakni pengiriman buku gratis setiap bulannya yang dibiayai PT. Pos Indonesia ke seluruh wilayah Indonesia.
Tak cuma persoalan jarak tempuh yang jauh pada buku, di pelosok banyak didapati anak-anak yang sulit mengeja huruf karena minimnya buku menjangkau pelosok. Bahkan saya menyaksikan anak sekolah dasar sekarat, setelah menenggak air accu yang dia pikir minuman bersoda Fanta.
Saya ingat membuka percakapan dengan guru bernama Frans di Wewewa, Sumba Barat Daya, wilayah yang lebih basah. Kabut tebal dengan dingin menusuk tulang, guru Frans mengisahkan sekolah yang dikelolanya tak memiliki buku-buku bacaan bermutu, semua buku-buku berlubang digigiti tikus. Termasuk buku koleksi sekolahnya sejak 1970-an.
Mendirikan perpustakaan tanggung jawab siapa?
Saya coba mengajak kawan-kawan secara sukarela mendirikan perpustakaan di 36 kabupaten, di berbagai pulau, hingga akhirnya saya terlibat sejak awal dengan pendirian Pustaka Bergerak Indonesia, perpustakaan yang digerakkan oleh beragam armada: kuda, motor, mobil, kapal, dan lainnya yang digagas oleh almarhum Nirwan Arsuka. Kawan-kawan penggerak perpustakaan ini tidak menerima upah, mereka bekerja dengan tulus secara sukarela melayani kebutuhan literasi anak-anak di pelosok-pelosok, dengan beragam kondisi geografis seperti pelosok lembah, pegunungan, pulau terpencil, dan lainnya.
Maaf, seharusnya ini menjadi tanggung jawab pemerintah atau negara. Bagaimana tidak, untuk mengirimkan buku-buku ke Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, dengan kondisi alam pegunungan harus menggunakan pesawat carter untuk mengirim buku. Tentu ongkosnya sangat mahal hingga puluhan juta, tak semua wilayah dapat di jangkau oleh Pos Indonesia. Menurut Badan Informasi Geospasial (BIG), terdapat 17.024 pulau di Indonesia, baik pulau besar dan pulau kecil.
Dahsyatnya semangat relawan
Tantangan para relawan ini sangat berat, dari menyediakan buku, mengirimkan buku, hingga menghidupkan perpustakaan dengan model rumah baca hingga perpustakaan keliling. Kebahagiaan kami, tentu saja saat melihat anak-anak sangat antusias membaca buku dan bercerita dari buku yang dibacanya.
Sangat menyakitkan, kadang dengan kondisi finansial yang terbatas, kami para penggerak perpustakaan di lembah, pegunungan, pulau kecil, tepian hutan dan lainnya, harus mendapati kenyataan yang menyedihkan. Sampai hari ini, berbagai media massa, akademisi, konten kreator digital, intelektual, dan lainnya, tetap memaparkan data yang diklaim berasal dari UNESCO. Padahal data tersebut tidak ditemukan di basis data UNESCO.
Data yang "disebut-sebut dari UNESCO", tapi tak bisa dipertanggungjawabkan itu menyebutkan hanya 0,001%, artinya dari 1.000 orang Indonesia hanya satu orang yang membaca buku. Tentu informasi ini sangat menyakitkan. Hingga kini, UNESCO tidak memberi jawaban apapun, bahkan ketika kolega saya mengirim email ke UNESCO untuk menanyakan temuan ini dari mana? Ditengarai data ini berasal dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Tak adil, jika memposisikan tingkat literasi Indonesia di bawah Botswana, negara kecil di Afrika bagian selatan yang berpenduduk hanya 2,2 juta. Sedangkan para penggerak literasi harus berjuang melawan sebaran hoaks, kondisi ekonomi yang pas-pasan, membagi waktu berharga mereka dengan keluarga dan lainnya. Perjuangan yang tanpa batas ini, tetap dilandasi semangat menghidupkan literasi yang tanpa surut.
@faridaindria, penulis dan pewarta foto, gemar keliling Indonesia untuk meneliti dan mendokumentasikan beragam aspek kehidupan.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini dan turut berdiskusi di laman Facebook DW Indonesia. Terima kasih.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.