Senin, 6 Oktober 2025

Nangka berjasa menyelamatkan warga Sri Lanka dari kelaparan akibat krisis ekonomi

Satu tahun sejak Presiden Sri Lanka digulingkan akibat krisis ekonomi, angka kemiskinan telah meningkat dan harga pangan naik drastis.…

Sekitar 160km dari ibu kota Kolombo, terletak Kota Ratnapura yang berlokasi di antara perbukitan subur dan dikelilingi perkebunan karet dan teh.

Salah satu warga kota itu, Karuppaiya, memetik kelapa dari pohonnya demi mencari nafkah. Dia mengantongi 200 rupe (Rp9.900) setiap kali memanjat.

“Harga-harga sangat mahal. Saya juga harus membiayai pendidikan anak-anak saya. Jadi, uang yang tersisa untuk membeli makanan sangat sedikit,” katanya.

Istri Kumar bekerja sebagai penyadap karet, dengan cara memotong alur di kulit pohon karet agar cairan lateks bisa ditampung. Namun, pekerjaan ini terhenti akibat musim hujan.

“Bahkan ketika hujan, saya tidak bisa hanya diam di rumah dan tidak memanjat pohon kelapa. Saya harus menafkahi keluarga saya,” kata Kumar menyadari risiko pekerjaannya.

Di wilayah tetangga di selatan Ratnapura, terdapat klaster pedesaan yang disebut sebagai Palenda.

Sekitar 150 keluarga tinggal di wilayah ini, mayoritas adalah petani dan buruh.

Di sekolah-sekolah negeri setempat, kepala sekolah dan para guru menimbang dan mencatat berat badan murid-muridnya.

"Sebagian besar anak-anak ini berasal dari keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan selama setahun terakhir. Jadi kami memberi makanan untuk mereka, yang sebelumnya mencakup dua butir telur per minggu,” kata kepala sekolah Wazeer Zahir.

“Tetapi karena harga-harga naik lagi, kami harus mengurangi jatah mereka menjadi satu butir telur mengingat kebutuhan protein sangat penting.”

Menurut Zahir, hampir setengah dari anak-anak di sekolahnya kekurangan berat badan atau kurang gizi.

Situasi ekonomi yang sulit selama lebih dari satu tahun juga telah merusak sistem kesehatan, yang semestinya gratis untuk 22 juta penduduk Sri Lanka.

Sri Lanka mengimpor sekitar 85% obat-obatannya sehingga ketika krisis ekonomi melanda dan cadangan mata uang anjlok, terjadi kekurangan obat-obatan esensial yang signifikan.

Profesor Moa De Zoysa, 75, seorang ilmuwan politik terkemuka dari stasiun bukit Kandy, terkena dampak langsung. Dia kesulitan mendapatkan obat dari India demi mengobati kondisi fibrosis paru-parunya sampai akhirnya meninggal sembilan bulan lalu.

Halaman
123
Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved