Minggu, 5 Oktober 2025

Kisah di balik foto burung mati dengan perut penuh benda plastik yang memantik perubahan

Foto Chris Jordan dari tahun 2009 yang menampilkan bangkai burung albatros dengan perut penuh sampah plastik mampu memantik perubahan…

Foto Chris Jordan dari tahun 2009 yang menampilkan bangkai burung albatros dengan perut penuh sampah plastik berhasil memantik perubahan yang berdampak sampai sekarang.

Penulis BBC Future, Anna Turns menjelaskan bagaimana foto itu mengubah respons kita terhadap krisis sampah plastik.

Pada September 2009, ketika fotografer Chris Jordan pertama kali tiba di Midway Atoll, pulau kecil di tengah Samudra Pasifik untuk mendokumentasikan skala limbah laut yang "luar biasa", dia mungkin tidak menyadari bahwa karyanya akan menjadi viral dan mengubah respons dunia terhadap krisis plastik.

Sebelum itu, Jordan telah mengambil foto tumpukan-tumpukan sampah yang menjulang tinggi. Tetapi dia berupaya mencari cara yang lebih menyentuh untuk menyoroti skala konsumsi plastik yang berlebihan.

Begitu mendengar tentang sebuah pulau berjarak 2.100 km dari Honolulu yang dipenuhi ribuan burung mati, semuanya dengan perut penuh dengan sampah plastik sehari-hari seperti tutup botol dan sikat gigi, "Saya langsung tertarik untuk pergi," katanya.

Dia bertekad untuk "menemukan cara memotret [burung-burung ini] dengan menghormati skala tragedi lingkungan ini".

Jordan bukanlah fotografer pertama yang mengabadikan dampak krisis plastik terhadap populasi burung laut albatros Midway.

Foto pertama yang diketahui terkait ini diambil oleh para peneliti AS pada tahun 1966 dan diterbitkan pada tahun 1969, kata Wayne Sentman, seorang ahli biologi dan presiden dewan organisasi Friends of Midway Atoll.

Menurut Sentman, menelan plastik cenderung "berdampak buruk" bagi albatros karena fragmen plastik dapat menusuk dinding usus atau menyebabkan dehidrasi, sedangkan logam berat dan bahan kimia lainnya bisa larut dan mematikan bagi burung.

Ketika Jordan mengetahui foto-foto sebelumnya diambil di Midway, dia berusaha menghadirkan sisi yang lebih emosional pada karyanya.

Dia menyamakan proses pemotretan burung mati ini dengan "ritual duka".

"Ketika kita menata benda-benda suci di atas altar, kita melakukannya dengan cara yang natural, dengan simetri dan keseimbangan dan kita menghabiskan banyak waktu untuk itu sampai semuanya menyatu," kata Jordan.

Dia memilih menggunakan diffuser – bahan putih yang dibentangkan untuk menyebarkan cahaya terang saat memotret – demi menciptakan cahaya yang lebih lembut "sehingga membantu memberikan kesan foto yang sedikit lebih dalam".

Ketika Jordan kembali ke Seattle, dia mengira telah menyelesaikan proyek ini.

"Saya mengucapkan selamat tinggal pada pulau itu dan pulang, lalu memroses gambar-gambar itu dan menerbitkannya."

Dia tidak menyangka fotonya akan menjadi viral, jauh sebelum era media sosial. Fotonya dengan cepat muncul di majalah dan surat kabar di seluruh dunia.

"Tiba-tiba [foto itu] muncul di mana-mana," kenangnya.

Dia menerima puluhan ribu email, hingga dia harus mempekerjakan seorang asisten hanya untuk membalas semuanya.

"Begitu banyak orang menulis respons yang emosional," kata Jordan.

"Orang-orang ingin pergi ke Midway dan menyelamatkan albatros, tapi plastiknya tidak berasal dari pulau ini. Ini masalah sistemik."

Laporan WWF yang dirilis baru-baru ini memproyeksikan bahwa produksi plastik diperkirakan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada 2040.

Kondisi itu mengakibatkan sampah plastik di lautan akan meningkat menjadi empat kali lipat pada 2050.

Jenna Jambeck, seorang insinyur lingkungan di University of Georgia sekaligus pakar polusi plastik dunia, menghitung bahwa pada 2010, delapan juta ton sampah plastik memasuki lautan dari sumber-sumber di darat. Jumlah itu setara dengan berat sekitar 650.000 bus tingkat.

Jordan memutuskan untuk kembali ke Midway pada Juli 2010. Dia tiba di tengah hiruk-pikuk jutaan elang laut yang menari, bernyanyi, dan saling menyapa. Semua itu membuatnya terpikat.

"Jumlah burung yang ada saat itu luar biasa. Seketika ada sisi lain yang muncul dengan sendirinya seperti nama pulau itu sendiri --midway, berada di tengah-tengah-- antara kengerian dan keindahan."

"Di satu sisi, melihat plastik yang kita gunakan sehari-hari berakhir sangat mengerikan di dalam perut bayi burung-burung ini."

"Di sisi lainnya, melihat surga pulau tropis yang dirawat dengan penuh kasih dan dilindungi sebagai cagar alam lautan yang dihuni oleh jutaan makhluk yang bahkan tidak takut pada manusia," kata Jordan yang telah mengunjungi Midway sebanyak delapan kali.

Dia juga menghabiskan empat tahun untuk membuat film dokumenternya, Albatross, yang dirilis pada 2018, hanya setahun setelah dua film penting lainnya juga menyoroti dampak polusi terhadap satwa laut: serial BBC bersama David Attenborough, Blue Planet 2, serta film rilisan Netflix yang meraih penghargaan, A Plastic Ocean karya Jo Ruxton.

Ruxton, yang juga merupakan pendiri badan amal untuk konservasi laut Ocean Generation, menampilkan bagian mengenai plastik yang menjadi ancaman bagi albatros Midway di dalam filmnya.

"Apa yang membuat foto-foto Jordan beresonansi dengan orang-orang adalah bahwa mereka mengenali hal-hal yang pasti mereka sendiri pernah buang," katanya.

"Anda dapat melihat potongan-potongan kecil plastik pada benda-benda sekecil kerang, tiram, bahkan zooplankton - tetapi ketika Anda melihat benda-benda yang benar-benar Anda gunakan sendiri, yang pernah Anda pegang, itulah yang membuat orang merasa terhubung langsung dengan masalah yang ada."

Ruxton memperlihatkan toples kaca besar berisi barang sehari-hari yang terbuat dari plastik berwarna-warni, seperti kartrid printer, bola golf, sikat gigi, empat korek api sekali pakai, yang semuanya berasal dari dalam perut albatros.

"Itu mengubah hati dan pikiran orang dalam diskusi-diskusi yang saya lakukan," kata Ruxton.

"Seharusnya kita bisa memahami lautan."

Jordan mengaku mengetahui foto itu berkontribusi pada kesadaran akan polusi plastik.

"Ada banyak sekali aktivisme laut yang muncul di seluruh dunia pada saat bersamaan – organisasi nirlaba membersihkan pantai dan [berkampanye untuk] undang-undang seputar plastik, pendidikan di sekolah, regulasi seputar kadar racun yang terkadung didalamnya. Sungguh menakjubkan."

Pada Mei 2023, penyakit baru pada burung laut yang disebabkan oleh konsumsi plastik diidentifikasi oleh para ilmuwan di London Natural History Museum.

Plastikosis merusak saluran pencernaan burung laut dan mengakibatkan luka.

Dalam kasus yang parah, hal ini menyebabkan infeksi dan parasit, juga membatasi kemampuan mereka untuk mencerna makanan.

"Tidak diragukan lagi keadaan membaik - hanya ada sedikit undang-undang terkait isu ini sebelumnya," kata Ruxton.

Beragam larangan seperti menggunakan mikro plastik dalam pasta gigi hingga penggunaan kantong plastik dan lidi kapas mulai berlaku di berbagai negara.

Baru-baru ini, negosiasi berlanjut antara 175 negara untuk mengembangkan Perjanjian Plastik Global yang mengikat secara hukum pada 2024.

Perjanjian internasional baru ini akan memberikan pendekatan yang jauh lebih terkoordinasi dan komprehensif untuk mengurangi polusi plastik global.

Langkah-langkah yang diambil seperti mengenakan pajak pada plastik murni dan melarang semua plastik sekali pakai yang tidak perlu.

Negara-negara telah sepakat untuk membuat draf pertama perjanjian tersebut pada November 2023.

Namun ketika harus mencari solusi, Jordan masih merasa ada yang kurang.

Dia percaya inti dari krisis ini terletak di antara tindakan masyarakat dan dampak yang ditimbulkannya terhadap lingkungan.

Menurutnya, tidak ada kesadaran yang mengaitkan kedua hal tersebut. Jadi baginya, keberhasilan mengatasi polusi plastik bergantung pada upaya membangun kembali hubungan yang kuat dengan alam.

"Jutaan orang tersadar [tetapi] hal yang paling aneh adalah bahwa sebagian besar orang yang berkuasa di dunia, para presiden, pemimpin-pemimpin perusahaan dan institusi-institusi besar, menjadi pihak yang paling tidak menyadari hubungan itu."

"Setiap kali saya bersama burung-burung itu pada saat mereka sekarat, bahkan berkali-kali bersama mereka saat mereka mati, saya menangis begitu saja."

"Kesedihan itu sangat luar biasa sampai akhirnya suatu hari saya tersadar - alasan saya merasa seperti itu karena saya menyayangi mereka," kata Jordan.

"Itulah duka – rasa sayang ketika kehilangan sesuatu atau melihat penderitaan. Saya merasa bebas untuk bisa merasakan itu sepenuhnya. Itu seperti sebuah pintu," kata Jordan.

Dia percaya bahwa hubungan dengan alam dan apresiasi untuk dunia di sekitar kita dapat benar-benar mendorong perubahan yang positif, dibanding hanya berharap bahwa suatu hari nanti situasinya akan membaik.

--

Anda dapat membaca artikel berjudul The photo that made the plastics crisis personal di BBC Future.

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved