Selasa, 30 September 2025

Perang Saudara di Sudan

PBB: Lebih dari 180 Orang Tewas Dalam Pertempuran di Sudan

Perang saudara di Sudan juga mengakibatkan persediaan makanan menipis di banyak daerah.

Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
AFP/HANDOUT
Citra satelit selebaran milik Maxar Technologies yang diambil pada 17 April 2023 menunjukkan pesawat yang hancur di Bandara Internasional Khartoum. - Kekerasan meletus pada awal 15 April setelah berminggu-minggu ketegangan yang semakin dalam antara panglima militer Abdel Fattah al-Burhan dan wakilnya, Mohamed Hamdan Daglo, komandan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter yang bersenjata lengkap, dengan masing-masing menuduh satu sama lain memulai serangan bertarung. (Photo by Handout / Satellite image ?2022 Maxar Technologies / AFP) 

Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni

TRIBUNNEWS.COM, KHARTOUM - Sedikitnya 185 orang tewas dan 1.800 lainnya luka-luka dalam pertempuran tiga hari antara faksi-faksi yang berseteru di Sudan, menurut laporan perwakilan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk negara tersebut.

"Ini adalah situasi yang sangat cair sehingga sangat sulit untuk mengatakan kemana arah pergeseran keseimbangan," kata Volker Perthes pada Senin (17/4/2023), mengenai kekerasan antara tentara dan pasukan paramiliter yang dipimpin oleh para jenderal yang berseteru.

Perthes yang berbicara kepada para wartawan di New York melalui video, mengatakan pihak-pihak yang bertikai "tidak memberikan kesan bahwa mereka menginginkan mediasi untuk perdamaian di antara mereka dengan segera".

Baca juga: Perang Bintang Kian Memanas, Duta Besar Uni Eropa Jadi Target Serangan di Sudan

Melansir dari Al Jazeera, pecahnya pertempuran pada akhir pekan lalu antara dua jenderal tertinggi di negara tersebut, yang masing-masing didukung oleh puluhan ribu pasukan bersenjata lengkap, telah membuat jutaan orang terjebak di rumah-rumah mereka atau di mana pun mereka dapat menemukan tempat berlindung. 

Pertempuran itu juga mengakibatkan persediaan makanan menipis di banyak daerah.

Perebutan kekuasaan di Sudan melibatkan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, komandan angkatan bersenjata, dengan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, kepala Pasukan Pendukung Cepat (RSF), sebuah kelompok paramiliter. 

Mantan sekutu itu bersama-sama mendalangi kudeta militer pada Oktober 2021.

Kekerasan tersebut telah meningkatkan ketakutan akan perang saudara tepat ketika warga Sudan berusaha menghidupkan kembali upaya untuk mewujudkan pemerintahan sipil yang demokratis setelah puluhan tahun pemerintahan militer.

Seruan untuk Gencatan Senjata

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres kembali menyerukan kepada pihak-pihak yang bertikai di Sudan untuk "segera menghentikan permusuhan" pada Senin. 

Ia dengan tegas memperingatkan eskalasi lebih lanjut "dapat menghancurkan negara dan kawasan ini".

Gedung Putih juga menyerukan gencatan senjata segera untuk pertempuran di Sudan

"Kami menyesalkan meningkatnya kekerasan di Khartoum dan tempat-tempat lain di Sudan. Kami menyerukan gencatan senjata segera tanpa syarat," kata Gedung Putih dalam sebuah pernyataan pada Senin. 

Jurnalis Al Jazeera, James Bays, melaporkan dari PBB, mengatakan bahwa berbagai pihak internasional diandalkan untuk menengahi gencatan senjata.

"(Utusan PBB untuk Sudan) percaya bahwa tekanan dari pihak-pihak lain adalah penting. Uni Afrika, kelompok regional IGAD, Liga Arab, semua badan-badan ini berbicara dengan berbagai pihak dan khususnya dengan kedua jenderal, mencoba untuk mencapai gencatan senjata," ujar Bays.

"Masalahnya adalah wilayah udara ditutup, perbatasan ditutup dan terlalu berbahaya bagi mereka untuk melakukan perjalanan pada tahap ini. Upaya-upaya diplomatik sedang berlangsung, namun tidak membuahkan hasil saat ini dan jelas hal ini sangat memprihatinkan bagi rakyat Sudan," lanjutnya. 

Sementara itu, tentara Sudan menyatakan RSF sebagai kelompok pemberontak dan memerintahkan pembubarannya pada Senin.

Ketika pertempuran tidak menunjukkan tanda-tanda mereda, Dagalo menggunakan Twitter guna menyerukan kepada komunitas internasional untuk memberikan campur tangan terhadap al-Burhan, mencapnya sebagai "Islamis radikal yang mengebom warga sipil dari udara".

Baca juga: Apa yang terjadi di Sudan: Perang bintang paramiliter dan militer yang mengakibatkan nyaris 100 tewas dan ribuan luka-luka

Dalam sebuah pernyataan yang jarang terjadi sejak pertempuran berkobar pada Sabtu (15/4/2023), al-Burhan mengatakan ia "terkejut dengan Pasukan Dukungan Cepat yang menyerang rumahnya" dan apa yang terjadi "seharusnya mencegah pembentukan pasukan di luar tentara". 

Persatuan dokter Sudan memperingatkan pertempuran tersebut telah "merusak" beberapa rumah sakit di ibu kota Khartoum dan kota-kota lain, dengan beberapa di antaranya "tidak dapat beroperasi".

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut beberapa dari sembilan rumah sakit di Khartoum yang menerima warga sipil yang terluka "telah kehabisan darah, peralatan transfusi, cairan infus, dan pasokan vital lainnya".

Pertempuran Memaksa Warga Sudan untuk Bersembunyi

Kekerasan telah memaksa orang-orang di Sudan yang ketakutan untuk berlindung di rumah mereka. 

Warga Sudan khawatir konflik berkepanjangan dapat menjerumuskan negara itu ke dalam kekacauan yang lebih dalam, memupus harapan untuk kembali ke pemerintahan sipil yang terganggu kudeta pada 2021 yang didalangi oleh al-Burhan dan Dagalo.

Jurnalis Al Jazeera, Hiba Morgan, yang melaporkan dari Khartoum, mengatakan ia dan rekan-rekannya tidak dapat keluar rumah selama tiga hari terakhir karena "tidak jelas pasukan mana yang menguasai lokasi mana.

"Kedua belah pihak sangat sulit untuk bernegosiasi. Kita berbicara tentang tentara di sini, orang-orang di lapangan, bukan komandan senior," lapor Morgan. 

"Bahkan jika kami berhasil berbicara dengan pimpinan mereka untuk memahami apa yang sedang terjadi dari sudut pandang mereka, mereka yang berada di lapangan belum tentu setuju jika kami bergerak, jadi kami telah berada di bawah kuncian selama tiga hari terakhir," tambahnya. 

Ketakutan juga menjalar di bagian lain ibu kota Sudan, kata Morgan, banyak orang mengatakan mereka tidak dapat meninggalkan rumah karena rasa tidak aman yang mereka hadapi. 

Pertempuran pecah setelah perselisihan sengit antara al-Burhan dan Dagalo mengenai rencana integrasi RSF ke dalam tentara reguler, syarat utama untuk kesepakatan akhir yang bertujuan untuk mengakhiri krisis sejak kudeta 2021.

Kedua belah pihak saling menuduh satu sama lain memulai pertempuran, dan keduanya mengklaim menguasai situs-situs penting, termasuk bandara dan istana kepresidenan, sebuah klaim yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya secara independen.

RSF dibentuk di bawah mantan Presiden Sudan Omar al-Bashir pada 2013.

RSF muncul dari "milisi Janjaweed" yang dilancarkan oleh pemerintahnya terhadap etnis minoritas non-Arab di Darfur satu dekade sebelumnya, yang menuai tuduhan kejahatan perang.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan