Selasa, 30 September 2025
Deutsche Welle

Kasus TBC Meningkat Setelah Pandemi, WHO Tawarkan Pengobatan Singkat

Menurut Kementerian Kesehatan, jumlah penderita TBC terus meningkat akibat penyebaran yang masif saat pandemi. Hingga kini, penderitanya…

Setelah COVID-19 mereda, banyak orang melupakan penyakit Tuberkulosis (TBC) atau TB yang masih menjadi ancaman kesehatan masyarakat Indonesia. Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan TBC di peringkat no.1 sebagai penyakit menular paling mematikan sedunia.

Berdasarkan data global, Indonesia menempati peringkat kedua dengan beban TBC terbanyak setelah India dengan kasus terbanyak 969.000 dan kematian mencapai 144.000 kasus. Sementara baru sekitar 74% yang berhasil terdeteksi atau sekitar 717.000 kasus.

Beban kasus TBC tertinggi pada tahun 2022 terjadi di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan DKI Jakarta.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Imran Pambudi, mengatakan estimasi penderita TBC terus meningkat akibat jumlah penyebaran yang masif saat pandemi COVID-19, sedangkan masa itu penemuan kasus sulit dilakukan.

"Penularan terus terjadi di masa pandemi sehingga sekarang meningkat angkanya. Sulit mendeteksi TB karena gejala yang mirip dengan COVID-19. Semua juga terfokus dengan COVID-19 saat itu," ujar Imran Pambudi dalam webminar oleh Kementerian Kesehatan, Kamis (06/04).

TBC pada anak juga meningkat

Selain itu, penemuan kasus TBC pada anak juga meningkat drastis mencapai 100.726 kasus pada tahun 2022. Jumlah ini, meningkat hampir 200% dibandingkan tahun 2021 yakni 42.187 kasus TBC pada anak.

"Peningkatan pada anak dua kali lebih tinggi dibandingkan dewasa karena kontak erat dengan penderita dewasa," kata dia.

Sementara kasus TBC resisten obat (RO) terdeteksi pada 2022 sebanyak 12.794 kasus. Dari jumlah tersebut, hanya 7.800 orang yang memulai pengobatan.

Tuberkulosis resisten obat (TB-RO) merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang telah kebal terhadap salah satu atau lebih obat anti-tuberculosis lini pertama. Panduan pengobatan TB RO saat ini menggunakan short term regimen (STR) dengan waktu 9-12 bulan dan long term regimen (LTR) berdurasi 20-24 bulan.

Penyebabnya, pasien tidak teratur menelan obat sesuai panduan atau menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya.

Pasien TBC masih kerap hadapi stigma

Ani Herna Sari, seorang penyintas TB resisten obat (RO) masih ingat betul ketika dirinya menderita penyakit itu 12 tahun silam. Ia bercerita mulai mengalami batuk berkepanjangan pada awal 2011. Setelah menjalani pengobatan oleh sejumlah dokter di beberapa RS, dia didiagnosis menderita TBC.

Ani dianjurkan meminum obat jangka panjang. Namun setelah meminumnya beberapa minggu, ia mengalami batuk darah. Singkat cerita Ani didiagnosa TB RO sehingga harus disuntik dan meminum obat lebih dari 15 pil tiap harinya dalam jangka waktu 9 bulan hingga 24 bulan.

"Obatnya sangat kejam dan sangat membuat menderita. Dibutuhkan kemampuan untuk melakukan pengobatan panjang. Selain mual, kulit menjadi hitam dan kaki sangat berat, obatnya juga membuat pasiennya berhalusinasi," kata dia yang saat ini menjadi Direktur Eksekutif Yayasan Rekat Peduli Indonesia - Komunitas penderita TBC di Indonesia.

Beberapa bulan setelah meminum obat, ia hamil dan terpaksa melahirkan 2 bulan lebih cepat dari hari perkiraan lahir.

"Anak saya terlahir prematur, saya juga mendapatkan stigma dan diskriminasi saat di IGD, dalam status RS sudah tahu saya pasien TB dan dokter pada lari nyari masker, saya dimasukkan ke ruang isolasi dan harus berganti pakaian di ruangan yang terbuka, bayi saya juga diperlakukan berbeda dan tidak diurus," ujar dia.

Halaman
12
Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved