Pemberhentian hakim MK Aswanto, Istana isyaratkan abaikan DPR ‘Posisi presiden jelas tunduk pada konstitusi’
Gelombang protes terhadap langkah DPR memberhentikan hakim MK Aswanto terus bergulir, disebut sebagai preseden buruk dalam sejarah dan implikasinya
Gelombang kecaman atas langkah DPR mencopot seorang hakim Mahkamah Konstitusi terus bergulir karena dinilai melanggar hukum dan cacat prosedur.
Sebelumnya, lembaga wakil rakyat mencopot Aswanto dengan dalih hakim MK tersebut kerap membatalkan produk undang undang DPR.
Mantan Hakim MK, Hamdan Zoelva mengatakan ini merupakan “kejadian luar biasa yang tak pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia,” dan tanda prinsip negara hukum semakin rusak.
Pihak Istana merespon persoalan ini dengan menyebut ‘Posisi presiden jelas tunduk pada konstitusi dan peraturan yang berlaku’.
Baca Juga:
Titi Anggraini dengan pakaian serba hitam, menapaki anak tangga di pelataran gedung Mahkamah Konstitusi, sambil memegang poster bertuliskan “jangan intervensi hakim MK”.
“Ini menunjukkan pemberhentian hakim konstitusi secara sewenang-wenang oleh DPR merupakan gambaran kelabu dari praktik demokrasi konstitusional yang ada di Indonesia,” kata Titi merujuk pada makna pakaian serba hitam yang ia gunakan, Selasa (04/10).
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama sejumlah aktivis menyampaikan pernyataan bersama mengecam langkah DPR mencopot Hakim MK, Aswanto.
Mereka tergabung dalam koalisi bernama Masyarakat Madani.
“Merupakan tindakan yang melanggar peraturan perundang-undangan, anti-demokrasi, sewenang-wenang, arogan, dan semakin menunjukkan sikap kecongkakan DPR-RI,” kata Titi.
Dalam Undang Undang Mahkamah Konstitusi diatur tentang pemberhentian hakim. Hakim MK bisa diberhentikan secara terhomat dan tidak terhormat.
Hakim MK diberhentikan dengan hormat ketika yang bersangkutan meninggal dunia, mengundurkan diri, telah masuk usia 70 tahun, dan sakit secara terus menerus selama tiga bulan.
Hakim MK diberhentikan dengan tidak hormat ketika dijatuhi pidana penjara oleh pengadilan, melakukan perbuatan tercela, dan tidak hadir dalam persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama lima kali berturut-berurut tanpa alasan yang sah.
Ketentuan lainnya adalah melanggar sumpah atau janji jabatan dengan menghambat MK memberi putusan, melanggar larangan rangkap jabata, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim serta melanggar kode etik dan pedoman perilaku.
Tata cara pemberhentian hakim MK lebih rinci juga diatur dalam peraturan MK No. 4/2012.
Sebelumnya, DPR memutuskan memberhentikan Hakim MK Aswanto untuk digantikan dengan Sekjen MK, Guntur Hamzah melalui sidang paripurna, Kamis (29/09). Aswanto merupakan salah satu hakim MK yang menyatakan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Dalam keterangan kepada media, Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto mengatakan "Ini adalah keputusan politis“.
Bambang menilai Hakim MK Aswanto tidak memiliki komitmen dengan DPR karena menganulir produk UU yang dibuat DPR. “Tentu mengecewakan dong. Ya gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh," katanya seperti dikutip dari Kompas.com.
Implikasinya sampai ke pemilu 2024
Anggota koalisi dari Masyarakat Madani, Ray Rangkuti menilai DPR “salah pandang”. Dalam hal ini, Aswanto merupakan satu dari tiga hakim MK yang diusulkan DPR.
“Jadi setelah mereka memilih orang atau merekomendasikan orang, mereka merasa memilikinya. Itu salah pandang. Amanah yang diberikan kepada mereka itu bukan amanah kepemilikan,” katanya.
Ray juga menyinggung Pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
“Ini kan perlahan-lahan merontokkan pencapaian-pencapaian kita di bidang demokrasi,” kata Ray.
Langkah DPR mencopot Aswanto dari hakim MK juga disebut upaya membuat “hukum diintervensi oleh politik.”
Sementara itu, Titi Anggraini menilai keputusan DPR ini juga akan mempengaruhi sengketa pemilu 2024 mendatang. Sebab, kata dia, hakim MK yang telah diatur dari DPR akan bekerja untuk partai politik tertentu.
“Kalau itu dibiarkan, maka kepentingan yang akan disuarakan oleh MK dalam proses pemilu 2024 adalah kepentingan partai-partai yang ada di DPR. Padahal mahkamah harus berdiri di atas semua kepentingan, karena itu dia berpijak pada konstitusi dan hukum,” kata Titi.
Preseden buruk dalam sejarah
Mantan hakim MK, Hamdan Zoelva menyebut “ini kejadian luar biasa, tak pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia.”
“Ini baru pertama kali terjadi. Hakim ditarik di tengah jabatannya atau diberhentikan tanpa alasan apa pun,” kata Hamdan Zoelva.
Ia mengutarakan kekhawatiran independensi hakim MK ke depannya. Ketika pencopotan hakim MK oleh DPR ini dibenarkan maka nanti setiap saat hakim yang tidak disukai oleh DPR akan ditarik.
Kemudian, setiap saat hakim yang tidak sesuai dengan kemauan presiden atau Mahkamah Agung maka setiap saat akan ditarik.
"Ini problem besar bagi independensi kekuasaan kehakiman, yang dijamin oleh UUD. Cara berpikir dan logika yang salah,” katanya.
Sebelumnya, Hamdan Zoelva bersama sembilan mantan hakim MK menutut Presiden Jokowi untuk mengabaikan keputusan DPR tersebut. Dalam hal ini, Presiden Jokowi berwenang mengukuhkan hakim MK.
Seperti apa sikap presiden?
Sikap Presiden Joko Widodo akan patuh pada konstitusi.
Setidaknya itu yang disampaikan Staf Khusus Presiden bidang Hukum, Dini Shanti Purwono.
Dalam pesan tertulis kepada BBC, dia mengatakan posisi presiden jelas: "Pada prinsipnya kita harus patuh pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
"Termasuk tentang proses pemberhentian dan pengisian jabatan hakim MK, harus tunduk pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Dini Shanti Purwono.
Dini berkata meskipun dalam prosesnya pencalonan hakim MK diajukan oleh DPR, MA dan presiden, namun pada saat hakim MK bekerja, ia harus tunduk pada konstitusi dan bukan tunduk kepada lembaga negara tertentu.
Saat ditanya apakah Presiden Joko Widodo akan mengabaikan keputusan DPR tentang pencopotan hakim MK Aswanto, Dini mengatakan, "Presiden hanya akan melakukan tindakan sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang undangan.”
BBC telah menghubungi beberapa anggota Komisi III DPR untuk mengkonfirmasi hal ini, namun tak mendapat respon.
Seperti diketahui, sembilan orang hakim konstitusi diisi calon yang dipilih oleh tiga lembaga yaitu DPR (3 orang), Mahkamah Agung (3 orang) dan presiden (3 orang). Sembilan hakim ini merupakan representasi dari kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Berdasarkan UUD 1945, MK memiliki peran menguji produk undang undang dari DPR dan pemerintah apakah konstitusional atau tidak.
MK juga memiliki peran memutus sengketa kewanangan lembaga negara, pembubaran partai politik, memutus sengekta pemilu, dan memutus pendapat DPR terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh presiden dan wakil presiden.