Rabu, 1 Oktober 2025
Deutsche Welle

Pemerhati Lingkungan Kritik COP26 "Konferensi Iklimnya Negara Kaya"

Negara-negara miskin yang terdampak perubahan iklim mengalami kesulitan untuk menghadiri pertemuan puncak iklim PBB yang dipuji sebagai…

Jumlah partisipan yang terdaftar untuk menghadiri COP26 berlipat ganda dibanding konferensi iklim PBB terakhir tahun 2019, menjadi hampir 40.000 orang, menurut dokumen yang diterbitkan oleh penyelenggara, Selasa (02/11).

Namun, delegasi dan pengamat dari negara-negara miskin mengatakan rekan-rekan mereka telah berjuang untuk menghadiri KTT. Pembatasan perjalanan akibat COVID-19, perubahan dalam aturan karantina, dan tingginya biaya penerbangan dan hotel menjadi tantangan banyak delegasi untuk menghadiri konferensi secara virtual.

KTT COP26 yang dipuji sebagai "kesempatan terakhir terbaik" untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius adalah kesempatan bagi para pemimpin dunia menyetujui kesepakatan yang akan mencegah perubahan iklim semakin ekstrem.

Suara kolektif dari mereka yang benar-benar membutuhkan aksi iklim yang mendesak adalah yang terpenting, kata Tasneem Essop, Direktur Internasional Climate Action Network, sebuah jaringan global dari 1.500 kelompok masyarakat sipil. "Sayangnya, itu sudah berkurang," kata Essop.

'Pandangan yang tidak dipertimbangkan'

Pemerintah Inggris, yang menjadi tuan rumah acara tersebut, mengklaim pada bulan Mei lalu bahwa COP26 harus menjadi "COP paling inklusif yang pernah ada" dan menawarkan vaksin kepada semua delegasi, pengamat, dan media.

Namun, para peserta justru mengatakan bahwa vaksin dan visa sulit didapat. Yang paling membuat frustrasi, kata mereka, adalah bahwa sebagian besar negara miskin dan berpenghasilan menengah hanya dikeluarkan dari daftar merah virus corona di Inggris, di mana pelancong yang masuk perlu dikarantina selama 10 hari, dua minggu sebelum konferensi. Dalam waktu sesingkat itu, beberapa delegasi tidak punya pilihan selain tinggal di rumah, sementara yang lain yang memesan perjalanan pada menit-menit terakhir hanya dapat menemukan akomodasi di kota tetangga Edinburgh.

"Jika Anda tidak terwakili, pandangan Anda tidak dipertimbangkan," kata Colin Young, Direktur Caricom, kelompok dari 15 negara Karibia, beberapa di antaranya awalnya masuk dalam daftar merah.

Inti dari permasalahan ini adalah pertanyaan tentang keadilan.

Negara-negara dari Global South, yang memiliki andil paling sedikit dalam menyebabkan perubahan iklim, tetapi menanggung beban kerusakannya, berjuang mengusung dua kesepakatan utama di KTT.

Pertama adalah untuk memenuhi janji yang dilanggar oleh negara-negara kaya pada pertemuan puncak iklim tahun 2009 untuk memberi orang miskin $100 miliar (Rp1,4 triliun) per tahun pada tahun 2020 demi pemulihan ekonomi mereka dan beradaptasi dengan perubahan iklim.

Kedua adalah mengakui peran mereka yang menanggung kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh peristiwa cuaca yang semakin ekstrem, seperti siklon tropis dan kebakaran hutan.

"Itu telah menjadi masalah yang sama sekali tidak ingin ditangani oleh negara-negara kaya," kata Essop dari Climate Action Network. Suara negara-negara miskin, tambahnya, akan menjadi "kritis" untuk memastikan negara-negara kaya membiayai kerugian dan kerusakan.

"Jika negara-negara maju serius, mereka perlu menunjukkan komitmen kepemimpinan itu,” kata Halima Bawa-Bwari, ilmuwan lingkungan di Departemen Perubahan Iklim Nigeria, menambahkan bahwa banyak delegasi Nigeria tidak menghadiri pertemuan karena mereka sedang dalam perjalanan di luar kota.

Delegasi yang lebih besar

UNFCCC, badan yang menyelenggarakan negosiasi iklim, menerbitkan daftar peserta terdaftar setelah DW meminta. Dibandingkan tahun sebelumnya, sekitar 150 negara bertambah jumlah delegasinya, 6 tetap sama, dan 33 lainnya mendaftarkan delegasi yang lebih kecil.

Halaman
12
Sumber: Deutsche Welle
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved