'Jihad cinta': Perempuan Hindu mengaku keguguran setelah dipisahkan secara paksa dari suaminya yang Muslim
Seorang perempuan beragama Hindu di India mengisahkan bagaimana ia mengalami keguguran setelah dipaksa dipisahkan dari suaminya yang beragama

Laporan bahwa seorang perempuan beragama Hindu mengalami keguguran setelah dipisahkan secara paksa oleh suaminya yang beragama Muslim menjadi sorotan di India, sebagai imbas dari kontroversi atas penerapan undang-undang baru yang menentang perpindahan agama.
Awal bulan ini, sebuah rekaman video viral di media sosial India.
Klip video itu memperlihatkan sekelompok pria, dengan syal berwarna oranye di leher mereka, mencemooh seorang perempuan di kota Moradabad di negara bagian Uttar Pradesh di India utara.
- 'Jihad cinta' dan undang-undang yang mengancam cinta lintas agama di India
- 'Jihad cinta' di India, Mahkamah Agung turun tangan
- Pria Muslim India dituduh 'berjihad menggunakan cinta' karena ingin jadikan perempuan Hindu mualaf,
"Karena orang-orang seperti Anda undang-undang ini diterapkan," ujar salah satu dari mereka kepada perempuan itu.
Para pria ini berasal dari Bajrang Dal, kelompok Hindu garis keras yang mendukung Partai Bharatiya Janata (BJP) pimpinan Perdana Menteri Narendra Bodi.
Aturan yang mereka bicarakan adalah undang-undang baru yang menentang perpindahan agama yang menargetkan "jihad cinta" - sebuah istilah Islamofobia yang digunakan oleh kelompok Hindu radikal untuk menggambarkan pria-pria Muslim yang ingin mengislamkan perempuan Hindu melalui perkawinan.
Insiden dalam video itu terjadi pada 5 Desember. Kelompok Bajrang Dal tersebut kemudian menyerahkan perempuan yang berusia 22 tahun itu, suami dan saudara suaminya ke polisi.

Polisi kemudian mengirim perempuan itu ke tempat penampungan, sementara kedua pria Muslim itu ditahan.
Beberapa hari kemudian, perempuan yang usia kehamilannya beranjak tujuh pekan, diduga mengalami keguguran.
Awal pekan ini, pengadilan mengizinkannya kembali ke rumah suaminya setelah ia mengatakan kepada hakim bahwa dia sudah dewasa dan menikah dengan pria Muslim karena pilihan. Suami dan saudara iparnya tetap di penjara.
Dalam sebuah wawancara setelah ia kembali ke rumah suaminya pada Senin (14/12), ia menuduh petugas di tempat penampungan telah menganiayanya dan mengatakan bahwa keluhan sakit perut yang ia utarakan diabaikan.
Penampungan itu membantah tuduhan tersebut.
"Ketika kondisi saya menurun, mereka membawa saya ke sebuah rumah sakit [pada 11 Desember], setelah tes darah, mereka memberi saya suntikan, setelah itu saya mulai mengalami pendarahan."
Dua hari kemudian, katanya, dia diberi lagi suntikan. Pendarahan itu semakin parah dan kondisi kesehatannya kian menurun, membuatnya kehilangan bayi, ujar perempuan tersebut.
Belum jelas apa yang sebenarnya terjadi di rumah sakit itu.
Pada Senin pagi, ketika dia masih dalam penahanan, pihak berwenang menampik laporan bahwa ia mengalami keguguran. Laporan itu merujuk pada wawancara dengan ibu mertuanya.

Ketua Komisi Perlindungan Anak, Vishesh Gupta, membantah segala laporan tentang keguguran dan berkukuh bahwa "bayi itu selamat".
Seorang ginekolog di rumah sakit tempat perempuan itu dirawat mengatakan bahwa "janin berusia tujuh pekan bisa dilihat melalui ultrasound".
Namun, dokter itu menambahkan "tes trans-vaginal dapat memastikan apakah bayi itu aman atau tidak".
Namun, pihak berwenang belum merespons tudingan yang diajukan perempuan itu setelah ia kembali ke rumah.

Pihak berwenang juga tidak memberikan perempuan itu hasil dari pemeriksaaan ultrasound atau detail suntikan yang ia terima.
Jadi, lima hari setelah ia dibawa ke rumah sakit, belum ada kejelasan tentang status bayinya, yang kemudian menuai pertanyaan dan keraguan.
Namun, laporan bahwa perempuan itu mengalami keguguran telah memicu kemarahan di India, dengan sejumlah orang di media sosial menyalahkan pihak berwenang atas apa yang terjadi.
Di India, pernikahan lintas agama telah lama menuai kecaman, dengan keluarga mempelai sering menentang pernikahan tersebut.
Namun undang-undang yangg baru diterapkan, mengatur bahwa siapapun yang pindah agama harus mendapat persetujuan dari pihak berwenang di mana ia tinggal.
Ketentuan itu memberikan negara wewenang langsung atas hak warga negara dalam cinta dan memilih pasangan.
Aturan itu mengatur ancaman hukuman penjara selama 10 tahun dan denda, tanpa jaminan.
Setidaknya empat negara bagian yang dikuasai BJP juga merancang aturan yang menentang "jihad cinta".
Para kritikus menyebut undang-undang itu regresif dan ofensif, serta mengatakan aturan itu bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk menyasar pasangan lintas agama, terutama antara pria Muslim dan perempuan Hindu.
Sebuah gugatan telah diajukan ke Mahkamah Agung, yang menuntut undang-undang itu dibatalkan.

Dalam jangka waktu singkat setelah undang-undang itu disahkan pada 29 November, setidaknya belasan kasus telah dilaporkan.
Pernikahan pasangan beda agama, antara kesepakatan dua orang dewasa dan bahkan yang melibatkan persetujuan orang tua, telah dihentikan dan pengantin pria yang beragama Muslim ditangkap.
Perempuan berusia 22 tahun itu mengatakan dia telah menjadi mualaf dan menikah dengan suaminya yang Muslim pada bulan Juli di Dehradun, sebuah kota di negara bagian tetangga, Uttarakhand.
Mereka dicegat ketika mereka datang ke Moradabad ketika akan mendaftarkan pernikahan mereka.
"Masalah terbesar dari undang-undang ini adalah aturan itu memperlakukan cinta lintas agama sebagai tindakan kriminal," ujar ahli sejarah Charu Gupta.
"Aturan itu juga menolak meyakini bahwa perempuan memiliki kemauannya sendiri, itu mengabaikan kehendak bebasnya. Bukankah perempuan berhak memilih siapa yang ingin dinikahinya? dan bahkan jika ia ingin pindah ke agama lain, apa masalahnya?