Krisis Iklim Diprediksi Membuat 1,2 Miliar Orang di Dunia Kehilangan Tempat Tinggal pada Tahun 2050
Krisis iklim diprediksi membuat 1,2 miliar orang di dunia kehilangan tempat tinggal pada tahun 2050.
TRIBUNNEWS.COM - Organisasi riset global bernama Institute for Economics & Peace (IEP) merilis laporan tentang daftar ancaman ekologis pada Rabu (9/9/2020) lalu.
Laporan bertajuk "Ecological Threat Register 2020, Understanding Ecological Threats, Resilience, and Peace" tersebut mengungkapkan, krisis global dapat mengakibatkan lebih dari satu miliar orang mengungsi dalam 30 tahun ke depan.
Bencana ekologis mendorong migrasi massal dan konflik bersenjata yang lebih besar.
Dilansir CNN, laporan itu memproyeksikan 1,2 miliar orang di seluruh dunia dapat mengungsi pada tahun 2050.
Laporan menyebut, tidak ada negara yang dapat lepas dari dampak krisis iklim.
Negara dengan populasi termiskin dan paling rentan di dunia yang akan paling terkena dampaknya.
"Ancaman ekologi dan perubahan iklim menimbulkan tantangan serius bagi pembangunan dan perdamaian global."
"Negara-negara yang paling tidak tahan banting, ketika dihadapkan pada kerusakan ekologi, lebih mungkin mengalami kerusuhan sipil, ketidakstabilan politik, fragmentasi sosial, dan keruntuhan ekonomi," tulis laporan.
Baca: Populasi Satwa Liar di Dunia Anjlok Hampir 70 Persen dalam Waktu Kurang dari 50 Tahun
Baca: Selain Fokus Pengendalian Dampak Ekonomi, Indonesia Waspadai Krisis Akibat Perubahan Iklim

Laporan tersebut mengambil data dari organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Pusat Pemantauan Perpindahan Internal (IDMC), Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), dan penelitian IEP sebelumnya tentang tingkat ketahanan negara.
Dengan menggunakan angka-angka ini, IEP kemudian menghitung ancaman relatif dari pertumbuhan populasi, tekanan air, dan kerawanan pangan.
Tak hanya itu, ancaman kekeringan, banjir, siklon, serta kenaikan suhu dan permukaan laut juga dihitung.
Ditemukan bahwa lebih dari satu miliar orang yang tinggal di 31 negara memiliki ketahanan rendah.
Artinya, mereka tidak diperlengkapi untuk menahan dampak perubahan ekologis dalam beberapa dekade mendatang.
Sementara itu, laporan menyebut, wilayah yang menghadapi jumlah ancaman tertinggi adalah Afrika Sub-Sahara, Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika Utara.
"Tidak semua orang di dunia akan mengungsi, namun kemungkinan besar sebagian besar dari mereka akan mengungsi," kata IEP.
Sedangkan, negara-negara dengan sumber daya yang lebih baik, seperti Amerika Utara dan Eropa, akan lebih mampu mengelola dampak bencana.
Namun, kemungkinan besar negara-negara tersebut akan menghadapi arus besar pengungsi.
"Ini akan memiliki dampak sosial dan politik yang besar, tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju, karena perpindahan massal akan menyebabkan arus pengungsi yang lebih besar ke negara-negara paling maju," ujar pendiri IEP, Steve Killelea, dalam rilis persnya.
Dia menambahkan, perubahan ekologi adalah ancama global besar berikutnya bagi planet Bumi.
Baca: Anak Muda Berperan Aktif Kendalikan Perubahan Iklim
Baca: Indonesia Terima Pendanaan untuk Perubahan Iklim Senilai 103,8 Juta Dolar AS
Kelangkaan Makanan dan Air
Saat ini, populasi global mencapai 7,8 miliar jiwa.
Jumlah itu diperkirakan akan mencapai 10 miliar pada tahun 2050.
Menurut laporan, yang mengutip dari Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB, kondisi tersebut akan membebani sumber daya alam dunia yang sudah terbentang.
Sebagian besar pertumbuhan populasi ini diperkirakan terjadi di negara-negara dengan konflik bersenjata yang sedang berlangsung, seperti di Afrika Sub-Sahara.

Mengutip penelitian dari World Resource Institute, laporan memproyeksikan bahwa pada tahun 2050, permintaan global terhadap pangan akan meningkat sebesar 50 persen.
3,5 miliar orang dapat menderita kesulitan pangan.
Selain itu, kelangkaan air mungkin menjadi masalah yang lebih besar.
Lebih dari 2,6 miliar orang menghadapi tekanan air yang tinggi atau ekstrem.
Artinya, mereka tidak memiliki cukup air untuk kebutuhan mereka, atau persediaan air mereka berisiko terganggu.
Pada tahun 2019, misalnya, Chennai, kota terbesar keenam di India, hampir kehabisan air.
Air harus diangkut setiap hari dari negara bagian lain.
Orang-orang antri berjam-jam di bawah terik matahari untuk mengisi kendi sebagai jatah air harian mereka.
Laporan juga menyebut, pada tahun 2040, 5,4 miliar orang, atau lebih dari separuh proyeksi populasi di dunia, akan tinggal di negara-negara yang menghadapi tekanan air tinggi atau ekstrem.
India dan China, dua negara terpadat di dunia, akan termasuk di antara negara-negara itu.
Hal tersebut juga bisa menyebabkan kekerasan dan konflik yang lebih besar.
Tidak hanya mengguncang ekonomi dan pemerintah, tetapi juga mendorong migrasi massal.
Buktinya, insiden kekerasan terkait air telah meningkat 270 persen di seluruh dunia, menurut IEP yang mengutip dari WorldWater.
(Tribunnews.com/Citra Agusta Putri Anastasia)