Virus Corona
Kasus Covid-19 Dunia Tembus 1,5 Juta, WHO Justru Bersitegang dengan Taiwan
Kasus Covid-19 global sudah menembus angka 1,5 juta setelah Amerika Serikat dan Inggris mencatat lonjakan kasus yang tinggi.
TRIBUNNEWS.COM - Kasus Covid-19 global sudah menembus angka 1,5 juta setelah Amerika Serikat dan Inggris mencatat lonjakan kasus yang tinggi.
Kini di tengah momen-momen krisis kesehatan ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga tengah mengalami gesekan dengan AS dan Taiwan.
Meskipun pada Selasa lalu angka kematian AS melonjak mencapai 1.858, tapi Satuan Tugas Virus Corona Gedung Putih mengatakan bahwa kebijakan social distancing mulai berefek.
Baca: Soal Kritikan Trump, Presiden Perancis Tegaskan Dukungan kepada WHO
Baca: Politisi AS Ingin Dirjen WHO Turun Jabatan, Tedros Dianggap Tutupi Angka Kasus Corona di China
Pada Rabu (8/4/2020) mereka mengumumkan kasus kematian mungkin tidak akan melampaui 100.000 atau 240.000, seperti yang dikhawatirkan.
"Kami memperhatikan perkembangan Italia dan Spanyol dan kami menangani kasusnya lebih baik dibanding negara-negara lainnya," kata koordinator respon virus AS, Deborah Birx mengutip dari Guardian.
"Kami percaya sistem kesehatan Amerika Serikat sangat luar biasa."
Perhitungan Universitas John Hopkins mengatakan setidaknya lebih dari 88.538 orang di seluruh dunia meninggal akibat pandemi corona.
Meski Worldometers mencatat angka infeksi 1.519.196 pada Kamis (9/4/2020), tapi diyakini jumlah sebenarnya lebih besar.
Ini disebabkan ada anggapan bahwa sebagian negara kurang bisa mendeteksi dan melaporkannya.
Sementara itu angka resmi Inggris mengatakan ada 938 orang lebih yang meninggal di rumah sakit beberapa waktu lalu.
Sehingga kini totalnya mencapai 7.097 meskipun angka kematian sebenarnya cenderung jauh lebih tinggi.
Pada Rabu lalu, Trump menanggapi laporan bahwa pejabat intelijen AS sempat memperingatkan Gedung Putih bahwa Covid-19 menyebar dari Hubei, China pada November tahun lalu.

Menurut media AS, ABC News, Pusat Nasional Medis untuk Intelijen Medis (NCMI) melaporkan bahwa ini bisa mengancam pasukan AS di Asia.
"Ketika saya mempelajari wabah itu hanya beberapa waktu sebelum Tiongkok ditutup."
"Jadi saya tidak tahu persis, tetapi saya ingin lihat informasinya," kata Trump.
Trump melakukan pembatasan pada pelancong dari Cina pada 2 Februari, dan baru mengumumkan keadaan darurat lepas Maret.
WHO Bersitegang dengan Taiwan
Sementara itu di tengah pandemi WHO kini justru bertikai dengan Taiwan.
Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa sudah berbulan-bulan dia diserang secara rasis pada Rabu lalu.
Dia juga menuduh Taiwan menggerakkan hal tersebut.
"Serangan ini datang dari Taiwan," kata Tedros.
"Taiwan, menteri luar negerinya mereka tahu hal itu dan mereka tidak memisahkan diri mereka sendiri."
"Mereka mulai mengritik saya di tengah semua penghinaan ini."
Sementara itu Kamis-nya, kementerian luar negeri Taiwan dituntut untuk klarifikasi dan meminta maaf karena dianggap menuduh tanpa dasar.
Pihaknya mengaku pemerintah tidak mendorong serangan personal pada Tedros.
"23 juta penduduk Taiwan juga mengalami diskriminasi serius dari sistem kesehatan global," kata kementerian itu.
"Kami bisa menghubungkannya (dengan Tedros) dan kami mengutuk semua diskriminasi dan ketidakadilan," sambungnya.
Sejatinya perseteruan ini terjadi karena Taiwan sering tidak dilibatkan dalam kegiatan WHO dan China menganggap Taiwan sebagai wilayahnya.
Taiwan sebenarnya terbilang berhasil menangani wabah ini sendiri, namun pemerintah mengaku tidak pernah dilibatkan dalam koordinasi secara global.
Anggapan ini makin santer setelah tersebar video wawancara WHO dengan seorang wartawan Hong Kong.
Saat ditanya terkait Taiwan, penasihat senior WHO itu terlihat menutup video call-nya dan enggan menjawab.
Diberitakan sebelumnya, WHO dan Tedros dikritik karena dianggap terlalu condong ke China dan diduga menutupi jumlah korban pandemi sebenarnya di minggu-minggu awal.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)