Virus Corona
Belajar dari Kasus Corona di Italia: Isolasi, Social Distancing Memang Perlu Dilakukan Lebih Awal
Dari apa yang terjadi di Italia, langkah mengisolasi daerah yang terkena dampak dan membatasi pergerakan populasi perlu dilakukan lebih awal
TRIBUNNEWS.COM - Kasus infeksi virus corona di Italia kini mencapai lebih dari 53 ribu kasus.
4800 di antaranya meninggal dunia.
Jumlah itu diprediksi masih akan terus bertambah.
Sabtu (21/3/2020) kemarin, Italia melaporkan 793 kasus kematian baru, menjadi kasus kematian tertinggi dalam satu hari saja.
Italia juga sudah melampaui China, sebagai negara dengan angka kematian terbanyak akibat virus corona.
Baca: Faktor-faktor di Balik Bencana Corona di Italia
Pemerintah telah mengirimkan tentara untuk menguatkan lockdown di Lombardy, Italia bagian utara.

Pemerintah juga memperketat lockdown nasional, menutup taman, melarang kegiatan di luar ruangan termasuk berjalan atau jogging.
Seperti yang dilansir New York Times, pada Sabtu (21/3/2020) malam, Perdana Menteri Giuseppe Conte mengumumkan langkah drastis lain untuk mengatasai apa yang disebutnya krisis paling sulit di negara itu sejak Perang Dunia Kedua.
Italia akan menutup pabriknya dan semua produksi yang tidak penting.
Hal itu merupakan suatu pengorbanan ekonomi besar-besaran yang dimaksudkan untuk menahan penyebaran virus untuk melindungi masyarakat.
Tragedi yang terjadi di Italia; penularan super cepat dengan angka kematian yang tinggi, dijadikan sebagai peringatan dan pelajaran bagi tetangga Eropa dan Amerika Serikat, di mana virus datang dengan kecepatan yang sama.
Baca: Obat-obat yang Diuji untuk Atasi Virus Corona: Klorokuin, Avigan, Remdesivir, hingga Kaletra
Dari apa yang terjadi di Italia, langkah-langkah untuk mengisolasi daerah yang terkena dampak dan membatasi pergerakan populasi yang lebih luas perlu diambil lebih awal, diberlakukan dengan kejelasan dan ditegakkan dengan ketat.
Upaya Italia menahan penularan virus corona, dengan mengisolasi kota-kota terlebih dahulu, kemudian wilayah, kemudian seluruh negara, nyatanya masih kalah cepat dengan penyebaran virus.

"Sekarang kita sedang mengejar," ujar Sandra Zampa, sekretaris di bawah Kementerian Kesehatan, yang mengatakan Italia melakukan yang terbaik.
"Kami ditutup secara bertahap, seperti yang dilakukan Eropa; Prancis, Spanyol, Jerman. AS juga melakukan hal yang sama."
"Setiap kali ada yang ditutup, orang-orang menyerahkan sedikit kehidupan normalnya."
"Karena virus ini tidak memungkinkan kita hidup normal."
Baca: Cegah Corona, Singapura Tolak Semua Pengunjung yang Masuk, Meskipun Hanya Transit
Pemerintah di luar Italia sekarang terancam mengikuti jalan yang sama, mengulangi kesalahan yang sudah terjadi dan mengundang bencana serupa.
Setelah apa yang terjadi, pejabat Italia memberikan pembelaan bahwa krisis seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya di zaman modern.
Mereka menegaskan bahwa pemerintah sudah merespons dengan cepat dan kompeten, segera bertindak atas saran para ilmuwan dan bergerak lebih cepat pada langkah-langkah drastis.
Namun, catatan tindakan Italia justru menunjukkan peluang yang terlewatkan serta langkah yang salah.
Pada hari-hari awal wabah melanda, Conte dan pejabat tinggi lainnya berusaha menciptakan rasa aman palsu yang membuat virus menyebar tanpa kewaspadaan.
Mereka menyalahkan tingginya jumlah infeksi di Italia karena banyaknya orang-orang tanpa gejala di utara.
Bahkan begitu pemerintah Italia menganggap lockdown universal diperlukan untuk mengalahkan virus, pemerintah gagal mengkomunikasikan dengan masyarakat.
Tidak adanya ancaman yang cukup kuat tidak bisa membujuk orang Italia agar mematuhi aturan.
"Ini tidak mudah dalam demokrasi liberal," kata Walter Ricciardi, anggota dewan Organisasi Kesehatan Dunia dan penasihat utama untuk kementerian kesehatan.
Ia mengatakan pemerintah Italia telah bergerak dengan kecepatan yang jauh lebih cepat, dan menganggap ancaman virus itu jauh lebih serius, daripada tetangga-tetangga Eropa atau Amerika Serikat.
Namun, ia mengakui bahwa menteri kesehatan kesulitan untuk membujuk pemerintah untuk bergerak lebih cepat.
Ditambah lagi, adanya pembagian kekuasaan Italia antara Roma dan daerah lain yang terpecah, membuat pesan menjadi tidak konsisten.
"Kami harusnya melakukannya 10 hari sebelumnya, mungkin ada perbedaan," ujar Walter Ricciardi.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)