CEO 10 Konbini di Jepang, Leo Hattori Dulu Hanya Sekolah 6 Hari saat SD
Hattori tidak ingin belajar. Kelas satu sekolah dasar (SD) dia hanya 6 hari saja ikut sekolah.
Meskipun demikian Hattori tidak puas karena tujuan akhirnya menjadi CEO.
Dia lalu ke luar dari supermarket dan bekerja membuat konbini dan usia 20 tahun menjadi kepala konbini.
Dalam tiga tahun saat usianya 23 tahun, Leo menjadi CEO konbini dan tahun 2008 mendirikan perusahaan sendiri bernama LEOX.
Kini dia memiliki 10 toko konbini sebagai CEO perusahaan tersebut.
Tingkat pendidikannya yang sangat rendah membuatnya belajar dari dalam supermarket.
Huruf kanji belajar dari nama-nama barang yang dijual di sana.
Sedang angka dipelajarinya dengan menghitung lalu dijumlahkan semua. Kalkulator belum dikenalnya.
Saat kalkulator dikenalnya Hattori tak tahu bagaimana mengalikan angka, karena yang dilihat simbol 'X' dia menyangka bahwa simbol itu merupakan tanda bahaya tak boleh disentuh.
"Saya takut pencet tanda X karena pikiran saya X itu salah dan bahaya. Jadi saya tak pakai tanda X sehingga tak mengerti pakai kalkulator bagaimana mengalikan sebuah bilangan," kata dia.
Saat bekerja di konbini pun ada stafnya yang salah memberikan tiket Disneyland.
Baca: Polisi Dalami Dugaan Unsur Kesengajaan Kecelakaan Bus di Cikidang
"Jadi pada tanggal hari ke Disneyland, pembeli pasangan itu kita cari dan saya akhirnya menemukan mereka, menjelaskan dan minta maaf. Pasangan itu malah menangis terharu," ujarnya.
Ada pula seseorang yang lupa membawa pulang SIM aslinya setelah difotokopi.
"Saya bawa sampai ke rumahnya padahal dia di Gunma dan saya di Kanagawa. Sampai di rumah pemilik SIM dia terharu sekali dan katakan setiap waktu silakan datang main-main ke rumahnya," kata Leo.
Kini Hattori punya 10 toko konbini Family Mart (franchise) dan penghasilannya sekitar 6,1 juta yen setahun dengan 160 karyawan.
Setelah dipotong dengan biaya dan kerugian, setahun penghasilannya sekitar 60 juta yen karena sempat merugi sekitar 10 juta yen.
Penghasilannya sekitar 5 juta yen per bulan saat ini atau jika dikonversi ke mata uang rupiah sekitar Rp 700 juta per bulan.
"Uang penting tapi bukan tujuan utama. Membahagiakan konsumen terpenting dan juga menjaga orangtua dengan baik juga sangat penting," ungkapnya.