Aktivis pembela hak-hak perempuan Arab Saudi 'terancam hukuman mati'
Ghomgham diyakini akan menjadi perempuan Saudi pertama yang kemungkinan menghadapi hukuman mati karena pekerjaan terkait dengan HAM.
Jaksa penuntut umum Arab Saudi dilaporkan menuntut hukuman mati terhadap lima pegiat, termasuk pembela hak perempuan Israa al-Ghomgham.
Organisasi Human Rights Watch (HRW) menyatakan mereka baru-baru ini diadili di pengadilan terorisme dengan tuduhan "terlibat dalam unjuk rasa" di kawasan bergolak Qatif.
Wilayah tersebut menjadi tempat demonstrasi masyarakat minoritas Muslim Syiah.
- HRW: Arab Saudi terus melakukan penggerebekan terhadap pegiat HAM
- Protes 'campur tangan' Kanada, Arab Saudi tunda penerbangan langsung ke Kanada
- Pegiat HAM Arab Saudi dipenjara
Ghomgham diyakini akan menjadi perempuan Saudi pertama yang kemungkinan menghadapi hukuman mati karena pekerjaan terkait dengan hak asasi.
HRW memperingatkan hal ini menciptakan "preseden berbahaya bagi pegiat perempuan lainnya yang saat ini dipenjara" di Kerajaan Teluk tersebut.
Paling tidak 13 pembela hak asasi dan pegiat hak wanita ditangkap sejak pertengahan bulan Mei karena kegiatan mereka dipandang "menjadi ancaman" keamanan nasional.
Sebagian telah dibebaskan, tetapi yang lainnya tetap ditahan tanpa didakwa.

HRW menyatakan Ghomgham adalah seorang pegiat yang dikenal terlibat dalam dan mendokumentasi unjuk rasa massal di Qatif sejak tahun 2011.
Sejumlah warga Muslim Syiah turun ke jalan mengeluhkan diskriminasi yang mereka alami dari pemerintah pimpinan Sunni.
Ghomgham dan suaminya dilaporkan ditahan pada bulan Desember 2015 dan sejak saat itu berada di penjara Dammam's al-Mabahith.
- Arab Saudi mengusir duta besar Kanada dan putuskan hubungan dagang
- Ulama garis keras di Arab Saudi, Nassar al-Omar, ditangkap
- Perempuan di Arab Saudi akhirnya bisa menyetir mobil sendiri
Jaksa penuntut umum menuduh Ghomgham dan empat pegiat lain melakukan berbagai hal, termasuk "terlibat dalam protes di daerah Qatif", "memicu unjuk rasa," "menyerukan slogan kebencian terhadap rezim","berusaha membakar pandangan umum","memfilmkan unjuk rasa dan menerbitkannya di media sosial", dan "memberikan dukungan moral kepada pengunjuk rasa", menurut HRW.
Jaksa dilaporkan menuntut hukuman mati pada pembukaan pengadilan sesuai dengan prinsip hukum Islam "tazir" dimana hakim berhak menentukan apa yang disebut sebagai kejahatan dan hukumannya.
"Hukuman mati apapun adalah menyedihkan, tetapi berusaha menghukum mati pegiat seperti Israa al-Ghomgham, yang bahkan tidak dituduh melakukan kekerasan, adalah sangat buruk," kata Sarah Leah Whitson, direktur Timur Tengah HRW.