Delapan Imigran Libya Ditemukan Tewas dalam Kontainer
Delapan orang yang tewas itu ada dalam satu kontainer yang dipenuhi 90 imigran lainnya yang berada dalam kondisi kritis
Penulis:
Fitri Wulandari
Editor:
Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, ZUWARAH - Delapan imigran, termasuk enam anak ditemukan tewas setelah kehabisan nafas akibat menghirup asap bensin saat dikemas ke dalam kontainer truk di pantai barat Libya.
Delapan orang yang tewas itu ada dalam satu kontainer yang dipenuhi 90 migran lainnya yang berada dalam kondisi kritis dan telah dikeluarkan pada Senin kemarin.
Baca: Ketua DPRD Sebut Ada Oknum Lurah di Jakarta yang Lakukan Pungli Ratusan Juta Rupiah
Baca: Gerindra Bantah Belum Umumkan Capres-Cawapres karena Masih Tunggu Pergerakan Jokowi
Mereka kini telah dibawa ke rumah sakit setempat untuk menjalani perawatan.
Pernyataan tersebut disampaikan Direktorat Keamanan di kota Zuwarah.
Zuwarah merupakan salah satu titik yang terletak di sepanjang garis pantai barat Libya, dimana penyelundup dan pedagang membawa migran sebelum menempatkan mereka di atas kapal untuk menyeberang ke Eropa.
Dilansir dari laman Al Jazeera, Selasa (17/7/2018), para migran berasal dari berbagai negara sub-Sahara Afrika dan Arab, serta Pakistan dan Bangladesh.
Mereka telah dikunci di dalam sebuah wadah pendingin yang dirancang untuk mengangkut daging dan ikan yang ditemukan di luar Zuwarah, dekat dengan kompleks minyak dan gas Mellitah, sekitar 110 km dari ibukota Libya, Tripoli.
"Sebagai akibat dari lamanya waktu, mereka tercekik, dan delapan diantaranya meninggal, termasuk enam anak-anak, seorang wanita dan seorang pria muda," kata Direktorat Keamanan.
Dari postingan gambar, setidaknya ada sembilan jerigen plastik yang berisi bensin, serta tumpukan jaket pelampung yang tampaknya dimaksudkan untuk digunakan dalam penyeberangan kapal tersebut.
Suhu siang hari di barat laut Libya telah mencapai 30 derajat Celsius dalam beberapa hari terakhir.
Ini adalah tragedi migran terbaru di Libya, dimana perdagangan manusia dan pelanggaran hukum telah berkembang sejak pemberontakan pada 2011 silam yang berhasil menggulingkan dan membunuh pemimpin Libya, Muammar Gaddafi.
Pesaing Pemerintahan yang berbasis di Libya timur dan barat, bergantung pada milisi dalam menjaga ketertiban.
Namun beberapa kelompok bersenjata telah terlibat dalam perdagangan manusia.
Libya terus menjadi titik tolak utama bagi pencari suaka yang hendak menyeberangi Laut Mediterania untuk mencari perlindungan di Eropa.
Penyelundup mengambil keuntungan dari pelanggaran hukum Libya untuk mengirim ratusan ribu migran ke Italia selama empat tahun terakhir.
Meskipun arus telah melambat sejak musim panas lalu, karena penumpasan yang didukung Italia terhadap jaringan penyelundupan.
Bulan lalu, Juru Bicara Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) Charlie Yaxley mencatat untuk tahun ke-5 berturut-turut 'tonggak suram' dari seribu kematian migran di Mediterania telah berhasil dilewati.
Menurut laporan pada 2018 ini oleh Human Rights Watch, kapal-kapal penuh migran dan pencari suaka yang mencoba menyeberangi laut, telah dibawa kembali ke Libya setelah dicegat oleh penjaga pantai Libya, yang dilatih oleh Uni Eropa dan Italia.
Setelah kembali, banyak yang dipukuli dan dilecehkan secara seksual dan menghadapi penculikan, pemerasan, kondisi penahanan yang keras dan kerja paksa.
Perlu diketahui, lebih dari 400 ribu migran di Libya terkena pelecehan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), karena kelompok-kelompok bersenjata yang mencari rente berkembang biak dan terlibat dalam penyelundupan, perdagangan dan eksploitasi kelompok ini," kata Organisasi Internasional untuk Migrasi yang mencatat dalam sebuah laporan.