Staquf: Islam Mampu Mendamaikan Palestina
Yahya Cholil Staquf dihujani kecaman ketika menawarkan dialog dengan Israel. Kepada DW, Katib Aam PBNU itu menjelaskan kenapa pendekatan…
Sumpah serapah mengiringi perjalanan Yahya Cholil Staquf ke Israel. Ia dituding berkhianat dan gagal memahami penderitaan rakyat Palestina. Sebagian lain menudingnya sebagai perpanjangan tangan Israel di Indonesia.
Terlebih pertemuan dadakan dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu turut menuai kritik dari kalangan Nahdlatul Ulama. Menurut sosok yang akrab dipanggil Gus Yahya itu, ia pun turut memanfaatkan pertemuan tersebut untuk menyampaikan pesan perdamaian.
Kepada Deutsche Welle, Gus Yahya mengatakan dirinya ingin membumikan gagasan Alm. Abdurrahman Wahid tentang moralitas agama sebagai elemen penting dalam proses perdamaian. Ikuti percakapan selangkapnya berikut ini:
DW: Bagaimana Anda bisa bertemu Benjamin Netanyahu?
Yahya Cholil Staquf: Sesudah saya di sana dan mengikuti majelis itu, saya bertemu sejumlah jurnalis, lalu saya mendapat pesan bahwa perdana menteri meminta bertemu. Begitu saja.
Apa kesan Anda terhadap beliau?
Waktu itu beliau berbicara tentang keinginan untuk menormalisasi hubungan dengan Indonesia. Tapi saya mengatakan bahwa menurut pandangan saya, walaupun saya tidak berbicara atas nama pemerintah Indonesia, terutama melihat keadaan sekarang, hubungan Indonesia dan Israel tidak bisa dipisahkan dari masalah Palestina. Sehingga sulit diharapkan adanya normalisasi selama masalah Palestina tidak ada jalan keluar.
Apakah anda merasa dimanfaatkan oleh Netanyahu mengingat pertemuan yang serba dadakan itu?
Ya memanfaatkan itu wajar kan. Tapi kan saya juga bisa memanfaatkan. Seperti misalnya bahwa saya bisa punya leverage (dorongan) dari pertemuan itu untuk memperkuat pesan-pesan yang ingin saya sampaikan. Nah sekarang kalau dia mau memanfaatkan kehadiran saya, sebesar apa sebenarnya manfaat yang bisa diperoleh? Saya sudah tegaskan berkali-kali bahwa saya bukan utusan pemerintah dan bukan utusan NU. Sehingga dia tidak usah mengklaim punya dukungan Indonesia, tidak pula bisa mengklaim dukungan NU. Dan kalaupun ada dukungan NU, apa manfaatnya? Tidak ada manfaat diplomatiknya. Kalau pemerintah tetap tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel, ya mau apa? Kalau dia mau memanfaatkan saya itu tidak banyak manfaat yang dia dapat, terutama kalau untuk pencitraan.
Sebenarnya misi apa yang membawa Anda ke Israel?
Jadi saya mendapat undangan dari American Jewish Commitee (AJC) untuk memberikan presentasi di forum mereka dan ini merupakan kelanjutan dari lawatan Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Gus Dur pernah berpidato di forum yang sama 16 tahun lalu. Jadi dalam forum AJC itu saya dihadirkan dalam bingkai dialog seperti yang pernah dilakukan Gus Dur selama ini. Tapi di luar forum AJC, saya bersama teman-teman berusaha merancang sendiri berbagai kegiatan. Terutama saya melakukan pendekatan dengan LSM-LSM lokal, antara lain Truman Institute. Mereka memberikan platform untuk berdiskusi dengan dosen-dosen dan mahasiswa Filsafat di Hebrew University, terkait topik perdamaian, juga dengan Israel Council on Foreign Relations dan Mothers for Peace (gerakan perdamaian gabungan antara kaum ibu Yahudi dan Palestina). Lalu kami juga bertemu dengan perwakilan media massa.
Apa pesan yang ingin anda sampaikan di sana?
Saya punya dua pesan dan satu agenda. Yang pertama saya meminta kepada para agamawan di semua agama untuk memikirkan apa yang bisa ditawarkan oleh agama sebagai solusi dari berbagai macam konflik yang melanda dunia sekarang ini. Karena justru agama sering dijadikan alasan pembenaran, justifikasi dan bahkan senjata untuk berkonflik. Apakah agama memang hanya untuk itu ataukah punya sesuatu untuk solusi. Yang kedua ajakan untuk memilih Rahmah sebagai titik tolak dan jalur menuju perdamaian. Nah agenda saya di sana adalah melakukan pendekatan dengan gerakan-gerakan perdamaian di dalam masyarakat Israel sendiri. Dengan harapan, aspirasi perdamaian di dalam masyarakat Israel akan menguat. Karena sebetulnya selama ini mereka menginginkan untuk membangun jejaring yang lebih kokoh dengan gerakan perdamaian di belahan dunia yang lain, termasuk di Indonesia, supaya tercipta konsensus yang kuat di level masyarakat. Sehingga pada akhirnya diharapkan akan bisa ikut mempengaruhi perilaku pemerintah.
Bagaimana agama yang sering dijadikan pembenaran moral atas eskalasi konflik antara Israel dan Palestina justru bisa mendamaikan kedua bangsa?
Ya sekarang kan banyak orang Islam misalnya memerangi Israel dengan alasan dan dalil-dalil keagamaan, bahwa Yahudi harus dilawan dan dihancurkan, dsb. Dan sebaliknya di ajaran Yahudi juga dihadirkan pembenaran-pembenaran keagamaan untuk menghancurkan siapa saja yang memerangi kepentingan Israel. Sehingga agama difungsikan untuk memicu dan mengerahkan konflik. Apakah tidak mungkin agama difungsikan sebagai inspirasi untuk menghadirkan solusi dari konflik itu sendiri.
Apakah Islam bisa menginspirasi perdamaian antara Israel dan Palestina?
Mungkin asalkan para pemikir Islam bersedia melakukan ijtihad baru dan rekontekstualisasi. Kenapa Islam difungsikan untuk justifikasi konflik dewasa ini? Itu adalah buah interpretasi Islam yang dikukuhkan pada abad pertengahan. Sehingga kalau Islam mau berfungsi lebih konstruktif pada masa kini, harus ada rekontekstualisasi atau penyesuaian konteks karena realitanya sudah berubah secara fundamental. Sehingga kalau pola pikirdari masa lalu dipaksakan, pasti akan menimbulkan masalah. Dan kaum Muslimin harus sadar bahwa konflik akan terus marak jika kita tidak bersedia mengubah pola pikir.