Selasa, 30 September 2025

Ini yang Terjadi di 2030 Menurut Anis Matta

Anis Matta menyikapi pro kontra "Indonesia Bubar 2030" yang tidak lain dikutip oleh Prabowo dari buku Ghost Fleet.

Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews/Herudin
Anis Matta. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik internasional, Anis Matta menyikapi pro kontra "Indonesia Bubar 2030" yang tidak lain dikutip oleh Prabowo dari buku Ghost Fleet.

Menurutnya banyak pemikir yang memperkirakan di tahun 2030 itu akan terjadi dua momentum yaitu menurunnya dominasi Amerika Serikat (AS) dan menguatnya China.

"Sejumlah pemikir strategis setidaknya memperkirakan 2030 adalah titik persilangan antara menurunnya dominasi Amerika Serikat dengan menguatnya China di bidang ekonomi, teknologi, dan militer. Bahkan bisa mengalahkan AS," katanya, Sabtu (31/3/2018).

Di atas kertas menurut Anis, sebenarnya saat ini AS masih jauh lebih unggul dari China, dalam hal ekonomi, teknologi, apalagi militer.

Namun, yang dilakukan China sekarang adalah terus memperkecil jarak. Maka menurutnya, pada 2030 itulah diperkirakan mereka akan sejajar.

"Dalam perspektif strategi perang, ini berarti China akan siap dan mampu menghadapi AS jika terjadi eskalasi konflik yang serius di Asia dan dunia," katanya.

Baca: Soal Polemik Novel Ghost Fleet, Anis Matta: Indonesia Bisa Kembali Menjadi Leader ASEAN

AS sebagai negara super power dunia saat ini tidak dalam kondisi yang stabil karena terua terjadinya konflik elite yang berlarut-larut sejak awal proses pemilihan umum hingga terpilihnya Donald Trump sebagai presiden.

Konflik ini menurutnya menyebabkan AS tidak mampu melakukan mobilisasi sumber daya besar-besaran karena tidak solidnya kekuatan-kekuatan domestik.

Apalagi kebijakan Donald Trump saat ini bersifat inward looking. Belum lagi krisis ekonomi yang masih menyelimuti negeri Paman Sam itu.

"Jika Amerika memutuskan pergi berperang, hambatan pertama yang akan dihadapi adalah penolakan besar-besaran dari rakyatnya sendiri," katanya.

Sedangkan China, walaupun masih menghadapi tren pertumbuhan ekonomi yang menurun, sehinga menimbulkan menurunnya penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan. Namun menurut Anis, kepemimpinan nasional China tidak mengalami masalah legitimasi.

"Xi Jinping tidak memiliki masalah legitimasi kepemimpinan dan konsolidasi elite. Xi juga lebih mampu mengendalikan masyarakat sipil untuk konsolidasi agenda-agenda besar," katanya.

Jadi buku Ghost Fleet menurut Anis, sebenarnya bisa dibaca sebagai warning dan provokasi agar Amerika segera melakukan interupsi ketika masih dalam posisi unggul terhadap China.

Namun bagi Indonesia, yang lebih penting menurut Anis bagaimana turut menjadi faktor interupsi agar perimbangan kekuatan dunia tetap terjaga sehingga usia perdamaian bisa lebih panjang.

"Itu yang harus dijawab oleh para pemimpin. Jika bisa mengelola semua potensi yang dimiliki, seharusnya Indonesia duduk di meja utama perundingan dunia," katanya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved