Kisah Kelam Shandra Woworuntu, WNI yang Sempat Jadi Budak Seks di Amerika Serikat
Tak pernah terbayangkan oleh Shandra Woworuntu, dirinya akan menjadi "budak seks" di Amerika Serikat.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tak pernah terbayangkan oleh Shandra Woworuntu, dirinya akan menjadi "budak seks" di Amerika Serikat.
Masa-masa kelam kehidupan Shandra terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu, saat usianya masih 24 tahun.
Kala itu, Shandra memutuskan hijrah ke negeri Paman Sam setelah kehilangan pekerjaan di Indonesia akibat terjadinya krisis moneter tahun 1998.
Kisah pilu Shandra diulas kembali oleh BBC memeringati 50 tahun BBC Outlook.
Tim BBC mengunggah kembali kisah-kisah paling inspiratif yang pernah diulas oleh BBC World Series.

Shandra (kanan) - VOA
Saat tiba di Amerika, Sandra berharap dapat meniti karier di industri hotel.
Ada tawaran pekerjaan tak tetap di sebuah hotel di Chicago.
Setelah mengajukan lamaran dan mengikuti tes, dia dinyatakan lulus dan berangkat ke Amerika, meninggalkan putrinya yang masih belia.
Namun, alih-alih mewujudkan mimpi indah, justru "bencana" yang mendatanginya di negeri adikuasa.
Berikut cerita panjang perjalanan hidup Shandra seperti ditulis majalah BBC, baru-baru ini.
Saya tiba di Amerika Serikat pada minggu pertama Juni 2001.
Bagi saya, negeri ini adalah tempat janji dan peluang.
Sesampainya di Bandara John F Kennedy, New York, saya mendengar suara laki-laki yang memanggil.
Namanya Johny, dan dia mengatakan mau mengantar saya ke hotel tempat saya akan bekerja.
Seakan terhipnotis, saya lupa menyadari fakta bahwa hotel yang dimaksud berada di Chicago, sementara posisi saya saat itu ada di New York.
Jarak kedua kota itu mencapai 800 mil. Ah, betapa naifnya saya yang masih berusia 24 tahun ketika itu.
Ternyata Johnny tidak hanya "mengantar" saya, melainkan ada empat perempuan lain di sana.
Kami dibagi menjadi dua kelompok.
Johnny mengambil semua dokumen saya, termasuk paspor saya, dan membawa saya ke mobilnya dengan dua wanita lain.
Dan, dari sinilah bencana itu dimulai.
Kami beberapa kali berganti kendaraan sebelum akhirnya Johnny menyerahkan saya kepada seorang sopir.
Ia membawaku masuk sebuah rumah, sambil mengancam dengan menodongkan senjata api.
Rumah itu sangat mengerikan. Ya, rumah bordil.
Hanya beberapa jam setelah mendarat di Amerika, saya langsung dipaksa untuk berhubungan seks.
Dalam periode ini, saya dipindahtangankan, dari satu tempat ke tempat lain.
Saya tidak bekerja di hotel, tetapi justru disekap. Dari satu orang ke orang lain.
Para "pedagang" perempuan tersebut berasal dari Taiwan, Malaysia, China, Amerika, dan bahkan Indonesia!
Mereka kerap mengatakan bahwa saya berutang 30 ribu dolar AS.
Dan saya harus melunasi dengan cara melayani mereka.
Sekali "pelayanan" dihargai 100 dolar. Artinya saya harus melayani mereka sebanyak 300 kali untuk melunasi "utang" tersebut.
Oh ya, semua perempuan yang diperdagangkan adalah Asia - selain kami orang Indonesia, ada gadis-gadis dari Thailand, China dan Malaysia.
Ada juga wanita yang bukan budak seks. Mereka adalah pelacur yang mendapatkan uang dan tampaknya bebas untuk datang dan pergi.
Kondisi yang saya alami sangat sulit dan menyakitkan.
Secara fisik, aku lemah. Para pedagang hanya memberi makan saya sup nasi dengan beberapa acar. Apalagi mereka mencekoki saya dengan narkotik yang membuat badan ini semakin tak berdaya.
Satu-satunya "hiburan" saya adalah menulis buku harian, sebuah kebiasaan yang telah saya lakukan sejak kecil.
Saya mencoba untuk merekam apa yang saya lakukan, ke mana saja pergi dan berapa banyak orang yang "main" dengan saya.
Selama itu pula saya selalu berpikiri tentang melarikan diri, tapi kesempatan yang sangat langka.
Pernah ada seorang Indonesia yang berjanji akan menyelamatkan saya.
Dia menyuruh saya untuk datang ke sebuah hotel.
Awalnya meyakinkan. Saya dibelikan baju dan makan yang memadai.
Namun belakangan akhirnya terkuak, dia hanyalah satu dari banyak "pedagang" yang ada di New York.
Dia pun meminta saya untuk melayani para lelaki hidung belang.
Hingga pada sebuah kesempatan saya berhasil melarikan diri ke kantor polisi.
Kepada petugas, saya ceritakan seluruh kejadian yang menimpa saya di Amerika Serikat.
Responsnya sungguh menyakitkan. Tak ada percaya cerita saya.
Saya lalu memutuskan pergi ke konsulat Indonesia, untuk mencari bantuan mendapatkan dokumen-dokumen seperti paspor, dan beberapa dukungan.
Saya tahu bahwa mereka memiliki ruang yang bisa dipakai seseorang tidur dalam keadaan darurat.
Namun lagi-lagi hanya kekecewaan yang didapat. Mereka tidak mau membantu saya!
Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup.
Saya terpaksa tinggal di dalam subway (stasiun kereta api bawah tanah) dan di taman-taman.
Hingga suatu saat pertolongan itu datang. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak polisi dan kasus saya ditangani.
Berbekal keterangan dari catatan harian saya, mereka langsung bergerak. Rumah bordil itu diserbu puluhan petugas FBI dan polisi.
Dulu waktu membuat catatan itu saya tidak tahu kalau catatan ini akan membantu. Nggak sampai ke sana pikiran saya.
Jadi semacam kebetulan. Saya menyampaikan catatan itu kepada polisi hanya untuk satu tujuan, yaitu agar saya bisa membantu menyelamatkan dua teman saya – yang juga warga negara Indonesia dan masih belum bisa kabur.
Kisah yang dialami Shandra Woworuntu, warga Indonesia di New York, ternyata membuka bagaimana sindikasi perdagangan manusia beroperasi di Amerika Serikat.
Bahkan pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Luar Negeri-nya mengakui negaranya menjadi sumber transit dan negara tujuan bagi perdagangan seks dan pekerja paksa.
Atas keberanian Shandra mengungkap kasus di atas, Presiden Obama akhir tahun lalu mengangkatnya sebagai anggota United States Advisory Council on Human Trafficking.
Dewan ini berada langsung di bawah Lembaga Kepresidenan Amerika Serikat.