Kamis, 2 Oktober 2025

Mengintip Kekejaman Kamp Pemerkosaan dan Perbudakan Seks di Sudan Selatan

eorang perempuan diculik sejumlah tentara dan dibawa ke sebuah kamp militer. Di sana, dia diikat dan diperkosa berulang kali selama dua bulan.

Editor: Sugiyarto
Puspen TNI/El Geneina/Puspen TNI/El Geneina
DANSATGAS INDOBATT: PRAJURIT GARUDA DEKAT DENGAN WARGA LOKAL DI DARFUR - (El Geneina, 3 Agustus 2015). Selain melaksanakan kegiatan rutin operasi baik itu patroli, pengamanan aset United Nations, maupun pengamanan di wilayah Area Of Responsibility (AOR), Prajurit Garuda Satgas TNI Kontingen Garuda XXXV-A/Unamid (United Nations Mission In Darfur) atau Indonesian Battalion (Indobatt) sebagai Peacekeepers Indonesia di wilayah Darfur Sudan, juga dekat dengan warga lokal di Darfur. Demikian dikatakan Dansatgas Indobatt Letkol Inf M. Herry Subagyo saat meninjau kegiatan rutin Prajurit Garuda dalam melaksanakan interaksi terhadap warga sipil dan anak-anak, sekaligus merupakan sebagai upaya nyata dalam pemulihan trauma terhadap warga sipil yang menjadi korban konflik, seperti halnya yang dilaksanakan di wilayah Krinding, Darfur Barat, Sudan, Minggu (2/8/2015). (*) 

TRIBUNNEWS.COM - Seorang perempuan diculik sejumlah tentara dan dibawa ke sebuah kamp militer.

Di sana, dia diikat dan diperkosa berulang kali selama dua bulan.

Seorang perempuan lain diculik bersama adiknya yang berusia 15 tahun, dan diperkosa setiap malam selama lima malam.

Seorang perempuan ketiga dibawa ke hutan bersama putrinya yang baru berusia 12 tahun. Di sana, keduanya diperkosa.

Penculikan perempuan dan gadis muda yang kemudian dijadikan sebagai budak seks—beberapa di antaranya ditahan tanpa batas waktu—diikat bersama ratusan orang lain di "kamp-kamp pemerkosaan" rahasia, merupakan sebuah aspek baru yang mencemaskan dari konflik yang telah berlangsung selama 21 bulan di Sudan Selatan, yang kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusianya sudah dikenal.

Para gadis Chibok di Nigeria, yang diculik Boko Haram pada April 2014, dan para perempuan Yazidi di Irak yang dijadikan budak seks oleh kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS, sudah diketahui dunia.

Namun, nasib dari—mungkin ribuan—perempuan Sudan Selatan yang diculik dan berulang kali menjadi korban pemerkosaan brutal serta bekerja dalam kondisi seperti budak tetap tidak terungkap ke permukaan hingga kini.

Puluhan wawancara yang dilakukan kantor berita AFP di utara negara itu mengungkapkan sebuah pola sistematis penculikan dan pemerkosaan yang dilakukan tentara pemerintah dan milisi sekutunya selama ofensif berlangsung baru-baru ini.

Penyelidikan difokuskan pada serangan pasukan pemerintah.

Namun, kedua belah pihak telah melakukan pembantaian etnis, merekrut dan membunuh anak-anak, serta melakukan pemerkosaan secara luas.

Juga penyiksaan dan pemindahan paksa penduduk demi "membersihkan" daerah musuh mereka.

Penculikan dan pemerkosaan sistematis

Nyabena, seorang ibu berusia 30 tahun, ditangkap ketika tentara menyerang desanya di Kabupaten Rubkona pada April lalu.

Laki-laki dewasa dan anak laki-laki ditembak mati. Rumah-rumah dijarah dan dibakar hingga rata dengan tanah. Kaum perempuan dan anak perempuan ditangkap.

Nyabena berada di antara 40 orang yang diambil dari dua desa bertetangga. Ia berurai air mata ketika bercerita tentang kejadian saat dirinya dipisahkan dari kelima anaknya.

Mereka dibawa ke Kabupaten Mayom. Nyabena ditahan di Kotong, wilayah yang dikuasai Mayor Jenderal Matius Puljang, komandan milisi Suku Nuer Bul yang beraliansi dengan tentara Sudan Selatan, SPLA, yang telah memerangi para pemberontak sejak Desember 2013.

Sejak April hingga Juli tahun ini, SPLA dan milisi Puljang telah melakukan serangan yang oleh para peneliti PBB digambarkan sebagai "kebijakan pembumihangusan" dalam laporan mereka pada bulan Agustus.

Pertempuran dan banjir telah membatasi akses ke sebagian besar wilayah Sudan Selatan.

Hal itu membuat para pekerja bantuan menyebut bagian selatan negara itu sebagai "lubang hitam informasi".

Seorang penyidik HAM mengatakan, "Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di Kabupaten Mayom," tempat banyak perempuan diculik.

Seorang pakar militer memperkirakan bahwa "ribuan perempuan" diculik selama serangan itu.

"Di semua kabupaten di bagian selatan Sudan Selatan pun sama. Para perempuan yang melarikan diri ini beruntung. Mereka yang tidak (berhasil melarikan diri) akan diperkosa dan diculik atau dibunuh," kata penyidik HAM itu.

"Penculikan kaum perempuan tampaknya sistematis. Itu bisa satu hari, atau lebih lama, atau untuk selamanya."

Mereka yang lolos menceritakan kisah mereka dengan suara yang tenang, tanpa emosi (karena sudah mati rasa).

Mimpi buruk menimpa beberapa di antara mereka. Kadang, mereka berpikir bahwa dirinya masih ditawan.

Setelah diculik, Nyabena disuruh bekerja pada siang hari.

Tugasnya antara lain membawa barang-barang hasil jarahan dan makanan, mengumpulkan air, dan mencangkul kebun.

Dia selalu diawasi pada siang hari. Pada malam hari, dia diikat bersama para perempuan lainnya.

"Ketika salah seorang dari tentara itu ingin berhubungan seks, dia akan datang, melepaskan kami, dan membawa kami pergi".

"Ketika mereka selesai, mereka akan membawa kami kembali dan mengikat kami lagi," katanya, sambil meregangkan sikunya di belakang punggungnya untuk menunjukkan bagaimana dirinya diikat.

Dia mengatakan, diperkosa oleh empat laki-laki dalam semalam merupakan hal biasa.

Perempuan yang menolak untuk bekerja atau melawan saat diperkosa pasti akan lenyap.

"Pada pagi hari, kami mengetahui mereka telah hilang," katanya.

Dari 40 orang yang tiba bersamanya pada April lalu, 10 orang hilang dengan cara ini. (kompas.com/afp)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved