II World Media Summit
Social Media: Pencuri Makan Siang Produk Generasi Baru
Steve Jobs, Mark Zuckerberg, dan Larry Page menyusun nilai-nilai baru. Kita hidup dalam nilai mereka. Sekarang!


TRIBUNEWS.COM - Diskusi mengenai social media (facebook, twitter, blog, dan youtube) termasuk sesi yang menarik perhatian pimpinan puncak media massa dari seluruh dunia.
Sesi ini diadakan setelah acara pembukaan II World Media Summit di gedung World Trade Center, Moskow, Kamis (5/7/2012).
Di sesi ini saya melihat Presiden dan CEO Kantor Berita Antara, Akmad Mukhlis Yusuf. President dan CEO AGI (Agenzia Itaiia), seorang wanita yang enerjik, hadir sebagai pembicara.
Parvathi Menon dari The Hindu India juga terlihat di kelas ini, demikian juga Ravi Velloor dari Straits Times Singapura.
Beberapa direktur kantor berita asing terlihat antusias. Tampak Aslan Ahmad Aslanov, Direktur Azar Tac, kantor berita Azerbaijan. Ada juga Jesus Ollero dari kelompok Joly, Spanyol.
Panitia menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang media. Eks penyiar radio dan televisi dari Bulgaria, news agency (kantor berita dari Italia dan Korea Selatan), online media dari Finlandia, dan praktisi televisi dari Israel.
Forum ini dihadiri lebih 40 orang, jumlah peserta yang banyak dibanding sesi etik dan bisnis atau topik klasik seperti monopoli informasi.
Para pembicara sepakat bahwa social media adalah realitas saat ini, menjadi daily life masyarakat. Sejak mampu memproduksi dan mendistribusikan informasi, social media menjadi personal publication --sesuatu yang kemudian berebut pengaruh dengan media tradisional sebagai produsen dan distributor informasi.
Social media juga memunculkan masalah lain, yakni kue iklan. Dalam kasus tertentu, social media merebut kue iklan TV atau yang seharusnya menjadi jatah makan televisi.
Dalam bahasa pembicara dari Bulgaria: "Social media mencuri makan siang televisi."
Katanya lagi, "Media social mencuri public space." Ruang publik, begitu pandangan ini meyakini, harus diatur karena itu adalah wilayah orang banyak. Tidak boleh sembarang gelandangan "berkicau" di sana, apalagi menyebarluaskan informasi yang belum dikonfirmasi kebenarannya.
Persoalannya siapa yang mengatur, belum terjawab dalam sesi ini. Tapi beberapa model bisa dicontoh. Aturan dibuat dan pengawasannya bisa dilakukan oleh komunitas pers, mirip Dewan Pers di Indonesia.
Model lain adalah campur tangan negara --suatu pendekatan yang sudah sangat usang sebab ini sama saja membiarkan pemerintah mencuri wilayah publik.
***
SOAL ruang publik adalah satu soal tapi bagaimana media tradisional tetap survive adalah soal lain.
Ada beberapa jawaban terhadap tantangan ini. Pertama datang dari pemahaman bahwa media tradisional harus konsisten pada core business-nya, yaitu menyebarluaskan informasi yang "disertifikasi" dalam arti yang memiliki jaminan bisa dipercaya.
Pembicara dari Italia dan Korea Selatan mempercayai pendekaan ini.
Daniele Paola Viglione, Presiden dan CEO AGI (kantor berita Italia), membedakan informasi sebagai news dan voice.
News adalah informasi yang diolah dengan semangat dan keterampilan profesionalisme wartawan. Tujuannya mengabdi ke publik dan kemanusiaan.
Voice bukan news, kata dia. Voice hanyalah suara-suara yang bisa ditulis oleh siapa saja, untuk apa saja, dengan standar yang tidak terjaga (sebab siapa yang menjaganya sejak setiap orang bisa muncul anonim di jaringan social media?)
Beda dari news, voice tidak disortir untuk tujuan public dan kemanusiaan. Voice bisa saja hanya informasi iseng, katakanlah, tentang si dia yang badannya mulai gemuk.
Voice adalah social media, sedangkan news adalah traditional media.
Daniele percaya, bisnis utama media tradisional adalah news, bukan voice.
Agar lebih jelas: Bayangkanlah informasi sebagai bermain bola. Semua orang bisa bermain bola tapi tidak semua pemain bola bisa menjadi pemain profesional.
Persis seperti itu: Semua orang bisa menghasilkan informasi, tapi tidak semua informasi itu lahir dari wartawan.
Informasi dicari oleh wartawan dengan standar etik profesinya yang diatur sebegitu rupa agar melindungi publik, dan dipublikasikan dengan standar etik pers yang juga diatur sebegitu rupa agar tujuannya tidak lain adalah melindungi publik.
Dengan demikian, news dan voice berbeda dari cara dan motif memperoleh maupun menyebarluaskannya.
Jadi, kata Daniele, pers harus fokus kepada bisnis intinya sebagai penyebar news dan jangan sampai tergoda ikut-ikutan menyebarluaskan voice.
Jawaban kedua adalah larut dan terlibat dalam trend social media lalu manfatkan. Finlandia menerapkan pendekaan ini. Media online tradisional tetap berjalan tapi membuka ruang partisipasi pembaca lebih lebar namun selektif melalui blogger community yang dimoderasi.
Dimoderasi artinya blogger mengirim artikel dan diperiksa tim editor sesuai prinsip dan nilai media tradisional sebelum di-publish.
Pendekatan ketiga, belajarlah pada karakter televisi dan radio. Televisi memproduksi video, sedangan radio memproduksi suara.
Secara tradisional, televisi bericara dari atas ke bawah, top down, tapi radio tidak. Stasiun radio sejak awal melibakan pendengar jauh sebelum era web 2.0 populer di internet.
Prinsip utama web 2.0 adalah partisipasi users dan itu sebenarnya adalah karakter khas radio. Selain musik, kita mengenal radio sebagai omong-omong, ya omongan penyiar ya omongan pemirsa.
Radio datang dengan kultur egaliter di mana penyiar melihat diri mereka bukan sebagai guru tapi sebagai teman pemirsa. Karena itulah radio menarik dan saya kira menjadi pelopor konsep co-creation dari sisi news dan voice.
"Masa depan kita sebenarnya terletak pada integrasi (karakter) antara radio dan social media," kata pembicara dari Bulgaria.
Berbeda dari radio, televisi agak kesulitan melibatkan penonton karena di sana ada urusan ribet dan mahal soal teknologi dan jaringan.
Lagi pula, penyiar televisi berpakaian lebih rapi, melihat diri mereka berdiri di balkon megah, sementara mereka menganggap pemirsa mereka duduk di alun-alun, siap mendengarkan. Televisi tidak siap jika seketika pemirsa ingin bicara, ingin terlibat.
Saya kira, sebagian pengelola koran juga melihat diri mereka seperti ini. Konsep egaliter di radio terkadang tidak terlihat di surat kabar.
Banyak pengelola surat kabar yang masih percaya bahwa mereka adalah penguasa informasi, padahal era itu sudah lama berakhir.
Ini era abudance, era melubernya informasi. Era scarcity ketika hanya media tradisional yang bisa memperoleh dan menyebarluaskan informasi sudah masuk ke laci sejarah.
Kekeliruan melihat diri seringkali menjadi awal malapetaka. Jadi, buat saya, masalah survive media tradisional tidak tergantung pada internet tapi bagaimana pengelola media melihat masalah dengan jernih dan menemukan solusi yang pas.
Internet hanyalah salah satu masalah. Soal kertas, jaringan distribusi, modal, dan kredibilitas --itu adalah beberapa soal mendasar yang kalau tidak dikelola dengan pas akan membuat media tradisional bangkrut walau tanpa soal internet.
***
PERSOALAN lainnya adalah business model, bagaimana media online mendapatkan uang. User di online cenderung ingin gratis, lalu dari mana mendatangkan uang.
Ahmad Mukhlis Yusuf termasuk yang menanyakan ini dalam diskusi. Ahmad adalah CEO dan President Direktur Antara, kantor berita Indonesia.
Pendekatan Italia adalah sebagian gratis sebagian berbayar. Content umum gratis, sedangkan konten khusus berbayar.
Pembicara Finlandia mengungkapkan model ini: semua content gratis. Uang datang dari iklan. Pendekatan inilah yang paling banyak dilakukan media online di seluruh dunia.
Bagaimana kelanjutan dari model business itu? Seorang pembicara mengungkapkan tentang masa depan yang tidak menentu karena muncul banyak hal baru yang mempengaruhi relasi antara media massa, masyarakat, dan negara.
Dari sisi masyarakat telah banyak berubah sejak teknologi informasi menjadi daily life. "Guru" dari masyarakat baru ini, saya yakin, bukan lagi guru sebagian besar wartawan generasi lama seperti Socrates, Plato, bahkan Stalin. Guru generasi baru adalah Steve Jobs, Mark Zuckerberg, dan Larry Page. Mereka inilah yang menyusun nilai-nilai baru. Kita hidup dalam nilai mereka. Sekarang! (TRIBUNNEWS.COM/DAHLAN DAHI)