APUKN Soroti Dampak Pembatasan Impor oleh India terhadap Industri Kokas Nasional
Industri kokas Indonesia sedang menghadapi tekanan berat akibat kebijakan pembatasan kuota impor oleh Pemerintah India.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Industri kokas Indonesia sedang menghadapi tekanan berat akibat kebijakan pembatasan kuota impor oleh Pemerintah India.
Kondisi ini berdampak langsung pada kinerja ekspor nasional, yang hingga Juli 2025 baru mencapai 900 ribu ton—anjlok dibandingkan total ekspor 2,6 juta ton pada 2024.
Kokas adalah produk hasil olahan dari batubara jenis tertentu yang memiliki kadar karbon tinggi dan kadar kotoran rendah.
Kokas digunakan terutama sebagai bahan bakar dan reduktor dalam proses produksi baja di tanur tinggi (blast furnace). Fungsinya sangat penting karena membantu melelehkan bijih besi dan menghasilkan logam cair.
Merespons situasi tersebut, Ketua Asosiasi Pelaku Usaha Kokas Nusantara (APUKN) atau Association of Indonesia Coke Industry (AICI), Elias Ginting, melakukan kunjungan kerja ke empat fasilitas produksi kokas di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Perusahaan yang dikunjungi meliputi PT Kinrui New Energy Technologies Indonesia, PT Kinxiang New Energy Technologies Indonesia, PT Risun Wei Shan Indonesia, dan PT Detian Cooking Indonesia. Kunjungan ini difokuskan pada pemantauan kondisi produksi, penjualan, serta integrasi tenaga kerja Tiongkok–Indonesia.
Dalam kunjungan tersebut, Elias menekankan pentingnya kolaborasi dan transfer teknologi dari tenaga kerja asing asal Tiongkok kepada tenaga kerja lokal.
Menurutnya, proses alih teknologi sangat krusial agar tenaga kerja Indonesia semakin terampil dalam mengoperasikan teknologi kokas modern, sehingga industri dalam negeri bisa mandiri dan berdaya saing global.
Di tengah tekanan pasar, perusahaan kokas di Indonesia mulai menerapkan sejumlah strategi konservatif. Mereka mengalihkan penjualan ke negara lain, menyesuaikan struktur produk, dan mengoperasikan fasilitas dengan beban rendah.
Kenaikan harga batubara kokas global serta penurunan produksi baja juga mendorong perusahaan untuk lebih berhati-hati dalam mengendalikan produksi.
Baca juga: Lingkungan Rusak, Reklamasi Mangkrak: DPR Panggil Tambang Batubara di Jambi
Berdasarkan survei AICI, tingkat utilisasi kapasitas industri kokas nasional diperkirakan bertahan di bawah 60 persen hingga akhir 2025. Prospek 2026 pun dinilai belum membaik.
Elias menyebut bahwa pihaknya akan terus memantau perkembangan kebijakan impor India, sambil menjajaki potensi pasar baru di Amerika Selatan, Eropa, dan Asia lainnya. Di saat yang sama, pengembangan produk alternatif juga menjadi fokus.
Baca juga: Aspebindo Usul Perbaikan Kebijakan Penetapan Harga Patokan dan HBA Transaksi Ekspor Batubara
APUKN turut menyampaikan sejumlah harapan kepada pemerintah. Salah satunya adalah dorongan agar diplomasi perdagangan dengan India bisa dilakukan, meski tantangannya cukup besar karena menyangkut kepentingan nasional negara tersebut.
Selain itu, izin ekspor untuk 2026 diharapkan sudah terbit sebelum 1 Januari, atau paling lambat pada minggu pertama Januari dari Kemendag, sementara izin dari Kemenperin diharapkan keluar sejak Desember seperti tahun sebelumnya.
Kejagung: Pemeriksaan Airlangga Hartarto adalah Pengembangan Fakta Persidangan |
![]() |
---|
Kasus Korupsi Minyak Goreng Dinilai Jadi Bukti Korporasi Mudah Pengaruhi Kebijakan Pemerintah |
![]() |
---|
Dituntut 8 Tahun, Kuasa Hukum Sebut LCW Tak Punya Kewenangan Terbitkan Persetujuan Ekspor CPO |
![]() |
---|
Sidang Korupsi CPO, Saksi Ahli Sebut Alokasi BLT Bukan Kerugian Negara dari Persoalan Minyak Goreng |
![]() |
---|
Saksi Sebut Usulan Revisi Permendag DMO Minyak Goreng Bukan dari Lin Che Wei |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.