Jumat, 3 Oktober 2025

Polemik Payment ID

Payment ID: Dilema Transparansi Keuangan dan Ancaman Privasi Masyarakat 

Payment ID adalah identitas transaksi keuangan terpusat dan menghubungkan semua layanan keuangan digital seperti rekening bank, e-wallet sampai QRIS.

|
Penulis: Lita Febriani
Editor: Choirul Arifin
handout/IST
MELANGGAR PRIVASI - Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengkritik Payment ID sebagai ancaman terhadap privasi masyarakat. 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bank Indonesia akan meluncurkan Payment ID pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia (RI).

Payment ID adalah sistem identitas transaksi keuangan terpusat dan menghubungkan seluruh layanan keuangan digital seperti rekening bank, e-wallet, kartu kredit, QRIS, hingga perbankan digital ke dalam satu identitas berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Pengembangan Payment ID didasari oleh pesatnya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia, di mana 58 persen tenaga kerja berada di sektor informal.

Sementara rasio pajak Indonesia baru berada di kisaran 10,4 persen dari Produk Domestik Bruto atau PDB, jauh dari target 15 persen pemerintah.

Mengancam Privasi Masyarakat 

Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengkritik Payment ID sebagai ancaman terhadap privasi masyarakat.

"Payment ID ini mengancam privasi masyarakat, jadi kurang pas pemerintah mendorong penerimaan pajak dan pelacakan kejahatan keuangan dengan mengintip semua transaksi," ucap Bhima saat dihubungi Tribunnews.com, Senin (11/8/2025).

Ia menilai, pelacakan seharusnya difokuskan pada rekening atau e-wallet penjual di e-commerce, bukan pembeli.

"Seharusnya fokus saja pada rekening atau e-wallet dari penjual di ecommerce, jangan si pembeli ikut di intip juga data digitalnya. Toh selama ini integrasi antara rekening bank dengan data perpajakan sudah berjalan."

"Kalau sampai pembeli barang ecommerce ikut di intip data nya, saya kira kebijakan draconian atau kebijakan berlebihan ini akan menurunkan trust pada ekosistem digital," imbuhnya.

Bhima juga menolak alasan penggunaan Payment ID untuk memantau penyaluran bansos. Alasannya dinilai terlalu mengada-ada.

"Iya nggak tepat. Itu alasan yang mengada-ada. Intinya mau mengintip seluruh akun rekening nasabah bank dan dompet digital," ucap Bhima.

Menurutnya, pendataan bansos cukup mengandalkan data dari BPS dan Kemensos. Pengakuratan data bisa dilakukan dari yang dihimpun dua instansi tersebut.

Baca juga: DPR Minta BI Pastikan Keamanan Data di Implementasi Payment ID

"Soal bansos itu by name by address kunci ada di BPS dan Kemensos. Cukup pendataan yang akurat dan ada kanal pengaduan aktif dari masyarakat soal penyimpangan bansos," tambahnya.

Potensi Menuju CBDC

Guru Besar FEB Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menilai Payment ID berpotensi menjadi fondasi bagi Central Bank Digital Currency (CBDC).

"Ini Payment ID bisa jadi cikal bakal CBDC. Transparansi, akuntabilitas dan kemudahan penelusuran. Kalau kredit bisa jadi credit scoring. Buat nasabah yang bagus jadi bisa dengan mudah lebih dapat kredit," terang Telisa.

Meski begitu, ia mengingatkan adanya risiko privasi, serangan siber dan potensi penyalahgunaan data dikemudian hari.

"Ada plus minus, makanya harus jelas dulu. Sejauh mana pro dan kontra dengan privasi, bagaimana meyakinkan tidak disalahgunakan oleh lawan politik," jelasnya kepada Tribunnews.com.

Telisa menyebut, Payment ID bisa saja bermanfaat untuk memantau penggunaan bansos agar lebih tepat sasaran ke penerima. Namun, ia menekankan perlunya studi mendalam dan partisipasi publik sebelum implementasi.

Baca juga: YLKI Minta Payment ID Dibatalkan: Pemerintah Terlalu Masuk Ranah Privat Konsumen

"Iya benar agar bisa ditelusuri digunakan untuk apa. Jadi akan bisa lebih tepat sasaran. Traceability adalah fitur utama dari Payment ID. Sebaiknya studinya harus dalam. Melibatkan partisipasi publik dan kajian yang kuat, agar tidak jadi bumerang," kata Telisa.

Penguatan Pengawasan Keuangan

Sementara itu, Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda melihat Payment ID harusnya selaras dengan UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang mengatur penggunaan data keuangan.

Menurutnya, sistem ini akan mempermudah deteksi aliran dana terkait judi online, kegiatan ilegal, hingga pengemplangan pajak.

"Data keuangan kita tidak digunakan untuk keperluan lainnya selain penggunaan oleh perbankan dengan persetujuan Bank Indonesia. Pengemplang pajak itu tidak bisa lari lagi ketika harus mempertanggungjawabkan transaksinya," jelas Huda.

Dia menilai keberhasilan Payment ID membutuhkan dukungan regulasi turunan dan infrastruktur keamanan data yang kuat.

Baca juga: Kritik Payment ID, FKBI: Berpotensi Langgar Hak Warga Negara

"Harus ada peningkatan infrastruktur kebijakan dari Bank Indonesia ataupun kementerian. Kementerian Komunikasi dan Digital misalkan, harus segera menerbitkan peraturan turunan dan UU PDP, sehingga masyarakat bisa membuat laporan pidana ketika ada kasus data yang disalahgunakan."

"DJP juga harus memperbaiki data centernya, termasuk juga dengan sistem di Coretax. Jadi masalah reformasi keuangan juga harus dibarengi reformasi perpajakan," tutur Huda kepada Tribunnews.com.

 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved