Top Rank
10 Negara dengan Utang Publik Tertinggi di Dunia, Jepang Teratas Disusul Singapura
Inilah daftar 10 negara dengan utang publik tertinggi di dunia. Jepang menempati posisi pertama disusul oleh Singapura.
Penulis:
Whiesa Daniswara
Editor:
Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Berikut ini 10 negara dengan utang publik tertinggi di dunia.
Utang publik atau utang pemerintah adalah keseluruhan kewajiban keuangan yang dimiliki oleh pemerintah suatu negara.
Utang publik timbul akibat defisit anggaran, di mana pengeluaran pemerintah melebihi dari pendapatannya.
Perlu diketahui, utang publik dapat bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri, dan bisa berbentuk pinjaman atau penerbitan obligasi.
Focus Economics telah mengeluarkan peringkat 10 negara dengan utang publik tertinggi di dunia pada tahun 2025.
Berikut daftar 10 negara yang memiliki rasio utang publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tertinggi pada 2025:
1. Jepang
Jepang diperkirakan memiliki rasio utang publik terhadap PDB tertinggi di dunia tahun ini, yaitu 242 persen.
Beban utang yang tinggi ini relatif baru: Pada 1990, rasionya hanya sekitar 50 persen dari PDB.
Namun, angka tersebut kemudian melonjak karena belanja pemerintah yang agresif yang bertujuan untuk memulihkan perekonomian yang terhenti akibat runtuhnya gelembung harga aset di awal tahun 1990-an.
Pemerintahan-pemerintahan berikutnya telah meluncurkan paket-paket stimulus yang ekspansif, termasuk proyek-proyek infrastruktur yang substansial dan belanja kesejahteraan sosial yang besar, untuk mengatasi deflasi yang terus-menerus dan pertumbuhan yang rendah.
Baca juga: 10 Negara dengan Pengguna YouTube Terbanyak: Indonesia Peringkat 4 dengan 143 Juta Pengguna Aktif
Selain itu, populasi yang menua dengan cepat telah meningkatkan pengeluaran untuk layanan kesehatan dan pensiun, yang secara signifikan menambah beban utang.
Menariknya, terlepas dari kewajiban yang sangat besar ini, utang Jepang cenderung tidak mengganggu perekonomiannya, karena sebagian besar dipegang oleh investor dan lembaga domestik, termasuk Bank of Japan, yang pada gilirannya mempertahankan biaya pinjaman yang rendah.
Meskipun demikian, Jepang menghadapi kerentanan jangka panjang akibat meningkatnya biaya pembayaran utang jika suku bunga naik.
Hal ini dapat menggeser investasi penting di area-area pertumbuhan.
Oleh karena itu, meskipun dapat dikelola dalam jangka pendek, utang publik Jepang masih menimbulkan risiko jangka panjang bagi stabilitas ekonomi.
2. Singapura
Singapura menempati posisi kedua dengan utang publik sebesar 173 persen dari PDB pada 2025.
Namun, angka yang tinggi ini lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang disengaja, alih-alih tekanan ekonomi.
Singapura secara strategis menerbitkan utang domestik untuk mendorong perkembangan pasar keuangan, khususnya untuk mendukung skema tabungan wajib (Dana Tabungan Sentral).
Tidak seperti kebanyakan negara yang terlilit utang besar, Singapura secara konsisten mempertahankan surplus anggaran dan cadangan devisa yang substansial, sehingga hampir tidak menimbulkan tekanan fiskal.
Pemerintah Singapura tidak menggunakan pembiayaan utang untuk menutupi defisit anggaran atau biaya operasional mereka.
Akibatnya, tidak seperti skenario utang tinggi tradisional di negara lain, utang publik Singapura yang tinggi tidaklah bermasalah atau membatasi perekonomian.
Sebaliknya, hal ini mencerminkan pengelolaan keuangan negara yang bijaksana dan strategis.
3. Eritrea
Baca juga: 10 Negara yang Dapat Tarif Tertinggi dari Trump, Brasil Diancam 50 Persen
Eritrea, negara di Afrika Timur ini diperkirakan memiliki utang publik sebesar 210 persen dari PDB tahun 2025.
Utang publik Eritrea sangat tinggi, sebagian disebabkan oleh konflik militer yang berkepanjangan, termasuk perang dengan Etiopia pada tahun 1998–2000.
Kelanjutan wajib militer juga telah mengalihkan tenaga kerja dan investasi dari sektor-sektor produktif, sehingga sangat membatasi diversifikasi ekonomi.
Selain itu, kebijakan ekonomi Eritrea yang restriktif, seperti kontrol ketat negara terhadap industri dan terbatasnya keterlibatan sektor swasta, telah menghambat pertumbuhan, perolehan pendapatan, dan meningkatkan ketergantungan pada pinjaman eksternal dari China dan kreditor bilateral lainnya.
Keterasingan internasional Eritrea, yang diperparah oleh sanksi dan ketegangan diplomatik di masa lalu, semakin menghambat peluang keringanan utang atau restrukturisasi utang.
Akibatnya, tingginya tingkat utang negara tersebut merupakan kendala ekonomi yang krusial, menghambat pembangunan jangka panjang, memperparah kemiskinan, dan memperparah ketergantungan negara pada bantuan keuangan eksternal.
Sebagian karena alasan ini, Eritrea adalah dan akan terus menjadi salah satu negara termiskin di dunia dalam hal per kapita.
4. Yunani
Utang publik Yunani menjadi sangat tinggi terutama karena pengeluaran pemerintah yang tidak terkendali selama beberapa dekade, penghindaran pajak yang meluas, dan inefisiensi struktural dalam perekonomian.
Kelemahan-kelemahan ini terekspos secara dramatis selama krisis keuangan global 2008, yang menjerumuskan Yunani ke dalam resesi parah dan memaksa berbagai dana talangan internasional yang disertai dengan langkah-langkah penghematan yang ketat.
Sejak pandemi, beban utang publik Yunani telah turun lebih dari 50 poin persentase di tengah pertumbuhan ekonomi yang kuat dan kebijakan fiskal yang bijaksana.
Tetapi diperkirakan masih akan menjadi salah satu yang tertinggi di dunia pada 2025, yaitu sebesar 149 persen dari PDB.
5. Italia
Tingginya utang publik Italia disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang lamban selama beberapa dekade, inefisiensi struktural, dan tingginya belanja pemerintah untuk program pensiun dan kesejahteraan sosial.
Selama krisis utang Eropa tahun 2010-an, Italia merupakan salah satu negara yang paling berisiko—salah satu yang disebut PIGS—meskipun tidak pernah membutuhkan dana talangan formal.
Proyeksi Konsensus saat ini memperkirakan rasio utang publik Italia terhadap PDB sebesar 138 persen pada 2025.
Italia bisa dibilang merupakan mata rantai fiskal terlemah di kawasan euro, mengingat proyeksi utang publik negara yang tinggi dikombinasikan dengan besarnya perekonomian.
6. Sudan
Utang publik Sudan diperkirakan mencapai 128 persen dari PDB pada 2025.
Angka ini lebih dari dua kali lipat rata-rata negara-negara berkembang.
Tingginya uang Sudah diakibatkan dari konflik internal yang berkepanjangan, salah urus ekonomi, sanksi internasional, dan dampak ekonomi yang menghancurkan dari pemisahan diri Sudan Selatan pada 2011, yang secara drastis mengurangi pendapatan minyak.
Faktor-faktor ini memaksa Sudan untuk sangat bergantung pada pinjaman eksternal untuk membiayai defisit anggaran, yang memicu ketidakstabilan ekonomi kronis.
Meskipun keterlibatan internasional baru-baru ini dan inisiatif keringanan utang telah mulai mengatasi tantangan utang Sudan, negara tersebut masih sangat rentan.
Ketidakstabilan politik yang terus-menerus—termasuk perang saudara yang menghancurkan yang telah terjadi sejak 2023—dan reformasi ekonomi yang terbatas terus menyulitkan pemerintah untuk mengelola beban utangnya.
7. Bahrain
Rasio utang publik terhadap PDB Bahrain meningkat sekitar tiga kali lipat antara tahun 2012 dan 2023, dengan lonjakan yang disebabkan oleh beberapa faktor.
Anjloknya harga minyak global pada 2014–2016 mengurangi pendapatan hidrokarbon, sehingga memperburuk defisit fiskal.
Meningkatnya belanja militer dan keamanan sebagai respons terhadap ketidakstabilan regional semakin membebani keuangan publik, sementara inisiatif untuk mendiversifikasi ekonomi membutuhkan investasi publik yang substansial.
Pada 2018, Bahrain menerima paket dukungan keuangan sebesar USD 10 miliar dari negara-negara tetangga Teluk, dengan syarat pelaksanaan reformasi fiskal, termasuk penerapan pajak pertambahan nilai (PPN).
Terlepas dari langkah-langkah ini, utang publik Bahrain tetap menjadi perhatian dan diperkirakan akan terus meningkat sebagai bagian dari PDB di tahun-tahun mendatang.
Untuk tahun 2025, diperkirakan utang publik Bahrain angkanya sebesar 131 persen dari PDB.
8. Maladewa
Utang publik Maladewa telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Lonjakan ini sebagian disebabkan oleh pinjaman yang besar untuk proyek-proyek infrastruktur ambisius, seperti Jembatan Persahabatan Tiongkok-Maladewa dan perluasan Bandara Internasional Velana.
Selain itu, pandemi Covid-19 berdampak parah pada ekonomi yang bergantung pada pariwisata, yang berkontraksi sepertiganya pada tahun 2020, sehingga membutuhkan peningkatan belanja pemerintah untuk memitigasi penurunan tersebut.
Rasio utang publik Maladewa terhadap PDB sebesar 125 persen dari PDB tahun ini.
9. Amerika Serikat
Utang publik negara adidaya ini telah meningkat tajam sepanjang abad akibat pemotongan pajak yang sering dilakukan, meningkatnya belanja jaminan sosial, dan respons kebijakan terhadap Krisis Keuangan Global serta pandemi Covid-19.
Belanja jaminan sosial yang lebih tinggi berkaitan dengan populasi yang menua dan meningkatnya biaya perawatan kesehatan yang terkait dengan program-program seperti Medicare dan Medicaid.
Beban utang negara saat ini masih dapat dikelola, karena status dolar sebagai mata uang cadangan global menjaga biaya pinjaman tetap rendah dan memastikan permintaan pasar yang kuat untuk surat utang pemerintah AS.
Namun, kebutuhan Kongres untuk menaikkan pagu utang secara berkala agar memungkinkan lebih banyak pinjaman menciptakan ketidakpastian.
Pemerintahan baru di bawah Donald Trump sedang berupaya mengurangi belanja publik melalui Departemen Efisiensi Pemerintah yang baru.
Terlepas dari semua gembar-gembor media seputar departemen tersebut, pemotongan yang telah dilakukan hingga saat ini kemungkinan kecil dan beberapa langkah penghematan biaya telah digugat di pengadilan.
Diperkirakan AS akan mengalami defisit terbesar di G7 dalam beberapa tahun mendatang.
Dan utang publik AS akan tetap berada dalam tren naik sebagai bagian dari PDB, mencapai 124 persen dari PDB tahun ini.
10. Prancis
Sejak 1975, Prancis secara konsisten mengalami defisit anggaran, yang menyebabkan akumulasi utang publik yang stabil.
Pertumbuhan ekonomi yang lamban, negara kesejahteraan yang murah hati, dan keengganan publik terhadap segala bentuk konsolidasi fiskal—yang sering kali terwujud dalam protes keras seperti gerakan Rompi Kuning—semuanya berkontribusi pada kekurangan fiskal yang terus-menerus.
Krisis keuangan global 2008 dan pandemi Covid-19 semakin memperburuk tren ini, yang terakhir mendorong pengeluaran pemerintah yang besar untuk mendukung perekonomian.
Negara ini saat ini memiliki salah satu defisit fiskal terbesar di Uni Eropa.
Pada 2024, Prancis ditegur karena melanggar aturan blok yang mengamanatkan defisit kurang dari 3,0 persen dari PDB.
Rasio utang publik Prancis terhadap PDB sebesar 116 persen pada 2025 dan meningkat menuju 120 persen pada akhir dekade ini, yang menimbulkan risiko terhadap stabilitas keuangan.
(Tribunnews.com/Whiesa)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.