Krisis Evergrande, Kisah Keruntuhan Raksasa Properti yang Pukul Ekonomi China
Masalah di sektor properti meningkat pada tahun lalu ketika Evergrande, pengembang properti terbesar kedua di China, gagal membayar utangnya.
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, HONG KONG - Pihak berwenang China berupaya mengakhiri krisis di sektor properti negara itu yang telah membebani perekonomian Beijing selama satu tahun terakhir.
Masalah di sektor properti meningkat pada tahun lalu ketika Evergrande, pengembang properti terbesar kedua di China, gagal membayar utangnya.
Lembaga pemeringkat kredit, Fitch Ratings, menurunkan peringkat Evergrande dan anak perusahaannya menjadi “restricted default/gagal bayar terbatas", yang berarti perusahaan telah gagal memenuhi kewajiban keuangannya.
Melansir dari CNN, penurunan peringkat mencerminkan ketidakmampuan perusahaan untuk membayar bunga yang jatuh tempo pada awal Desember 2021 di dua obligasi berdenominasi dolar.
Baca juga: Evergrande Tangguhkan Produksi Massal SUV Listrik Hengchi 5 karena Minimnya Permintaan
Raksasa properti ini memiliki utang yang sangat besar yaitu 300 miliar dolar AS. Dengan utang sebesar itu, para analis sebelumnya telah menyatakan kekhawatiran bahwa sektor properti China akan mengalami krisis yang lebih luas, sehingga merugikan pemilik rumah dan sistem keuangan yang lebih luas.
Sementara untuk membayar utangnya kepada pelanggan, investor, dan pemasok, Evergrande telah menjual asetnya untuk mengumpulkan uang.
Berikut ini profil dan perjalanan Evergrande dari raksasa properti menjadi perusahaan yang memiliki utang hingga miliaran dolar AS.
Apa Itu Evergrande?
Pengusaha Hui Ka Yan mendirikan Evergrande, yang sebelumnya dikenal sebagai Hengda Group, pada 1996 di Guangzhou, China.
Evergrande Real Estate diklaim memiliki lebih dari 1.300 proyek di lebih dari 280 kota di China. Perusahaan ini memiliki sekitar 200.000 karyawan dan meraup penjualan lebih dari 110 miliar dolar AS pada 2020.
Sementara Evergrande Group bisnisnya tidak hanya mencakup di sektor properti saja, namun juga merambah ke bisnis manajemen kekayaan, produsen mobil listrik, serta pabrik makanan dan minuman. Perusahaan ini bahkan menjadi pemilik salah satu tim sepak bola terbesar di China, Guangzhou FC.
Pendiri Evergrande, Hui Ka Yan, pada 2017 menggeser bos Alibaba, Jack Ma dari posisi orang terkaya di China. Pada 2020, Hui masuk posisi 10 di daftar orang terkaya di China menurut majalah bisnis Forbes.
Pria kelahiran 1958 ini sekarang tercatat memiliki kekayaan bersih sebesar 3 miliar dolar AS, menurut Forbes.
Awal Mula Keruntuhan Evergrande
Evergrande berkembang pesat menjadi salah satu perusahaan terbesar di China dengan meminjam lebih dari 300 miliar dolar AS.
Permintaan real estate di kota-kota besar China seperti Beijing, Shanghai, Shenzhen, dan Guangzhou membuat harga properti menjadi salah satu yang termahal di dunia.
Baca juga: Utang Membengkak, China Evergrande Percepat Pengiriman Mobil Listrik Hengchi 5
Perusahaan ini akhirnya mengambil pinjaman untuk memenuhi permintaan real estate.
Namun, terjadi penurunan harga properti di kota-kota kecil menyusul langkah pemerintah China pada 2020 yang memberlakukan aturan baru untuk mengontrol jumlah utang pengembang properti besar.
Langkah-langkah baru itu membuat Evergrande menawarkan propertinya dengan diskon besar untuk memastikan uang masuk agar bisnisnya tetap bertahan.
Aturan itu pun membuat raksasa properti ini berjuang untuk memenuhi pembayaran bunga atas utangnya.
Perusahaan ini sampai memberikan pilihan kepada karyawannya, tidak menerima bonus gaji selama bekerja atau memberikan pinjaman kepada perusahaan.
Sekitar 70 hingga 80 persen karyawan perusahaan ini diminta memberikan uang untuk membantu mendanai operasi Evergrande.
Keruntuhan Evergrande dan Dampaknya bagi China
Ada beberapa alasan mengapa keruntuhan pada raksasa properti ini dapat menjadi masalah serius.
Pertama, banyak orang membeli properti dari Evergrande bahkan sebelum proses pembangunan dimulai. Mereka telah membayar simpanan, sehingga uang mereka berpotensi hilang ketika perusahaan dihantam keruntuhan.
Selain itu, ada juga perusahaan yang berbisnis dengan Evergrande seperti perusahaan konstruksi dan desain, serta pemasok bahan yang mengalami kerugian besar akibat proyek yang gagal.
Yang ketiga adalah dampak potensial pada sistem keuangan China: Jika Evergrande gagal membayar utang, bank dan pemberi pinjaman lainnya mungkin terpaksa meminjamkan lebih sedikit.
Baca juga: Kasus Evergrande Dinilai Tidak Berdampak Negatif ke Sektor Properti Indonesia
Hal ini dapat menyebabkan apa yang disebut sebagai krisis kredit, yaitu ketika perusahaan berjuang untuk meminjam uang dengan harga yang terjangkau.
Ini juga dapat membuat takut investor asing, yang melihat China sebagai tempat yang kurang menarik untuk menaruh uang mereka.
Pemerintah China bahkan sampai turun tangan untuk mengatasi masalah ini, dengan meyakinkan publik bahwa utang Evergrande dapat diatasi. Namun hingga akhir tahun lalu, perusahaan masih melewatkan jatuh tempo untuk membayar sebagian utangnya.
Selain itu, pemerintah China mengambil langkah untuk mengatasi krisis properti yang melanda negaranya dengan mengeluarkan regulasi untuk bank-bank dalam negeri agar memberikan pinjaman kepada pengembang properti.
Pinjaman tersebut diberikan agar pengembang dapat menyelesaikan proyek-proyek mereka yang terhenti setelah kesulitan membayar utang serta terdampak pandemi Covid-19.
Sayangnya, permasalah Evergrande telah menimbulkan gelombang keruntuhan di perusahaan properti lainnya, seperti China Shimao Group yang gagal membayar utang luar negeri senilai 1 miliar dolar AS.
Selain Shimao Group, keruntuhan Evergrande juga menyeret Kaisa Group dan Sunac China, yang menyatakan gagal membayar obligasi luar negeri mereka.
Picu Krisis Properti China
Krisis properti melanda Negeri Tirai Bambu saat pengembang properti Evergrande gagal membayar utangnya pada tahun lalu. Saat sektor properti ambruk, beberapa perusahaan besar mencari perlindungan dari kreditur mereka.
Baca juga: Evergrande Diprediksi Kembali Gagal Bayar Kupon Obligasi, Pasar Pelototi Utang Pengembang Lain
Krisis ini membuat pekerjaan pada banyak proyek perumahan pra-penjualan di seluruh China ditangguhkan atau ditunda.
Krisis memasuki fase baru pada musim panas ini, ketika pembeli rumah yang marah menolak membayar hipotek atas rumah yang belum selesai, sehingga mengguncang pasar keuangan dan memicu kekhawatiran akan penularan keruntuhan di sektor lainnya.
Sejak itu, pihak berwenang China mencoba meredakan krisis dengan mendesak bank agar meningkatkan dukungan pinjaman bagi pengembang properti sehingga mereka dapat menyelesaikan proyek. Regulator juga memangkas suku bunga dalam upaya memulihkan kepercayaan pembeli.
Tetapi kemerosotan properti terus berlanjut, karena pembeli mundur dari pasar akibat ekonomi China yang lemah dan pembatasan Covid-19 yang ketat. Pada Oktober, penjualan yang dilakukan 100 pengembang real estate terbesar di China turun 26,5 persen dari tahun lalu, menurut jajak pendapat yang dilakukan firma riset real estate terkemuka China Index Academy. Sepanjang tahun ini, penjualan mereka tercatat turun 43 persen.
Seiring dengan kebijakan nol-Covid yang ketat dan menekan pengeluaran manufaktur serta konsumen, kesengsaraan properti telah menyeret ekonomi China.
Pada kuartal ketiga tahun ini, produk domestik bruto (PDB) China tumbuh sebesar 3,9 persen secara year-on-year, menempatkan pertumbuhan keseluruhan untuk sembilan bulan pertama tahun ini hanya sebesar 3 persen, jauh di bawah target resmi pemerintah China sebesar 5,5 persen yang ditetapkan pada Maret.