Selasa, 30 September 2025

Resesi Dunia

Resesi di Amerika Serikat Tidak Bisa Dihindari, IMF Sebut Perlambatan Ekonomi akan Berlanjut di 2023

Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan para pelaku pasar global agar waspada terhadap potensi resesi di 2023.

NDTV
Ilustrasi resesi Amerika Serikat. Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen mengatakan pada Kamis (8/12/2022) bahwa resesi di AS tidak bisa dihindari. Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan para pelaku pasar global agar waspada terhadap potensi resesi di 2023. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen mengatakan pada Kamis (8/12/2022) bahwa resesi di AS tidak bisa dihindari.

Janet Yellen menuturkan, dia yakin ekonomi terbesar di dunia itu berada di jalur yang benar untuk menurunkan inflasi yang melonjak.

Pernyataan Yellen muncul di tengah kampanye kuat Bank Sentral AS atau Federal Reserve (The Fed) untuk mendinginkan permintaan tahun ini dan menurunkan inflasi sambil berusaha untuk tidak mendorong ekonomi AS ke dalam penurunan.

Baca juga: Dihantui Resesi, Warga Kanada Was-was Tak Bisa Penuhi Kebutuhan Makan Keluarga

Untuk saat ini, banyak ekonom memperkirakan AS bisa mengalami penurunan pada tahun depan.

"Apakah kita dapat menghindari resesi atau tidak, saya yakin jawabannya adalah ya," kata Menkeu AS kepada wartawan saat berkunjung ke fasilitas mata uang Biro Pengukiran dan Pencetakan di Fort Worth, Texas, yang dikutip dari AFP.

Menurut Yellen kemacetan rantai pasokan mulai mereda dan harga sewa apartemen baru mencapai puncaknya, dengan pasar tenaga kerja AS juga sedikit mendingin.

"Tanpa melihat PHK nasional yang signifikan, saya yakin kita berada di jalur yang benar dalam hal menurunkan inflasi dan resesi tidak bisa dihindari," ungkapnya.

Sementara ketika sektor bisnis mengurangi ekspektasi pertumbuhan dan rencana perekrutan karyawan, jumlah orang yang meninggalkan pekerjaan juga sedikit menurun, kata Yellen.

Baca juga: Menteri Keuangan Amerika Janet Yellen: Resesi di AS Tidak Bisa Dihindari

Pekan lalu, Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan masih "sangat masuk akal" bagi AS untuk mencapai soft landing, merujuk pada skenario di mana pengangguran meningkat tetapi ekonomi menghindari resesi yang parah.

Sementara Yellen pada Kamis mengatakan AS telah "mendengarkan dengan sangat hati-hati" para sekutu dan mencoba memahami keprihatinan mereka atas dorongan Washington untuk memacu teknologi ramah iklim di Amerika.

"Saya pikir tujuan Kongres adalah memastikan kami memiliki rantai pasokan yang aman, dan mencoba memasukkan sekutu kami ke dalamnya," katanya.

Saat ditanya apakah dia memiliki rencana untuk mengunjungi China setelah pertemuan Presiden Joe Biden dengan pemimpin China Xi Jinping, Yellen mengatakan dia belum memiliki rencana yang pasti namun dia tidak menutup kemungkinan pertemuan itu akan terjadi.

Jajak Pendapat Reuters: AS Menuju Resesi Dangkal

Menurut para ekonom yang disurvei Reuters memperkirakan perekonomian AS sedang menuju resesi pendek dan dangkal pada tahun mendatang.

Para ekonom dengan suara bulat juga memperkirakan The Fed akan melakukan kenaikan suku bunga 50 basis poin pada pertemuan 14 Desember.

Baca juga: Resesi Global di Depan Mata, Ini Inovasi yang Disiapkan Para Pelaku Industri Telekomunikasi

Setelah menaikkan tingkat suku bunga 75 basis poin pada masing-masing dari empat pertemuan sebelumnya, semua 84 ekonom yang disurvei pada 2 hingga 8 Desember memperkirakan The Fed akan sedikit lebih lembut dalam menetapkan kebijakan moneternya, dengan menaikkan suku bunga sebesar setengah poin persentase menjadi 4,25 persen hingga 4,50 persen kali ini.

"Kecuali jika inflasi surut dengan cepat, ekonomi AS tampaknya masih menuju beberapa masalah, meskipun mungkin sedikit lebih lambat dari yang diperkirakan. Kabar baiknya adalah bahwa penurunan harus diimbangi dengan tabungan ekstra," kata ekonom senior di BMO Capital Markets, Sal Guatieri.

IMF: Dunia Mengalami Resesi di 2023

Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan para pelaku pasar global agar waspada terhadap potensi resesi di 2023.

Peringatan tersebut disampaikan IMF setelah harga pangan dan energi mengalami lonjakan ke level tinggi, hingga mendorong ekonomi di sejumlah negara mengalami kenaikan inflasi serta ketidakpastian  ekonomi.

Bahkan  2022 disebut sebagai tahun "polikrisis", sebuah istilah yang dipopulerkan oleh sejarawan Adam Tooze. Akibat kemunduran yang terjadi tahun ini, masyarakat dunia diharap bersiap untuk lebih banyak menghadapi kesuraman pada 2023 mendatang.

"Singkatnya, yang terburuk belum datang dan bagi banyak orang, 2023 akan terasa seperti resesi," jelas Kepala Federal Reserve AS Jerome Powell hingga Christine Lagarde dari Bank Sentral Eropa.

Baca juga: Ekonom Prediksi Jepang Bisa Masuk ke Jurang Resesi pada 2023, Didorong oleh Penurunan Ekspor

Pemicu Inflasi

Mengutip dari Reuters, lonjakan laju inflasi yang terjadi sejak pasar global dihantam aturan lockdown imbas virus Covid-19 yang melanda seluruh penjuru dunia, saat itu ekonomi global mulai melambat.

Namun negara-negara di dunia mulai menghentikan aturan lockdown atau pembatasan wilayah, harga konsumen perlahan mulai naik di sepanjang 2021.

Di 2021 ekonomi global juga tumbuh pada laju pasca-resesi tercepat dalam 80 tahun, hingga semua uang stimulus membanjiri sistem perdagangan dunia.

Kondisi tersebut diperkirakan berlanjut hingga awal 2022, bahkan tahun ini dianggap sebagai tahun kebangkitan ekonomi dunia setelah pandemi Covid-19.

Namun sayangnya prediksi tersebut meleset justru di sepanjang 2022 ekonomi dunia terus mengalami penyusutan  terparah imbas  perang antara Rusia dan Ukraina.

Serangan Rusia ke Ukraina pada akhir Februari tak membuat harga energi dan pangan melonjak.

Baca juga: PepsiCo PHK Ratusan Pekerja Kantoran di AS untuk Antisipasi Inflasi dan Resesi

Kondisi ini bahkan membuat sejumlah negara bergulat dengan krisis biaya hidup karena upah tidak dapat menyimbangkan lonjakan inflasi. sehingga memaksa rumah tangga membuat pilihan sulit dalam pengeluaran mereka.

Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebut harga konsumen di kelompok negara G20 diperkirakan akan mencapai 8 persen pada kuartal keempat sebelum turun menjadi 5,5 persen tahun depan.

Khawatir apabila lonjakan inflasi dapat mempercepat laju resesi suatu negara, mendorong sejumlah bank sentral untuk memperketat kebijakan moneternya dengan mengerek naik suku bunga acuannya ke level tertinggi, seperti yang dilakukan bank sentral AS The Fed.

Langkah serupa juga diambil oleh Bank Sentral Eropa (ECB) yang mengirimkan sinyal yang jelas bahwa ECB akan mempertahankan kebijakan pengetatannya, mengingat inflasi zona euro belum mencapai puncaknya.

Meski pengetatan moneter dengan menaikkan suku diklaim sebagai upaya menjinakkan kenaikan inflasi.

Namun hal ini juga berisiko mendorong negara – negara berkembang masuk  ke dalam jurang resesi yang dalam, karena biaya pinjaman yang lebih tinggi berarti aktivitas dari biasanya.

Baca juga: Kaleidoskop 2022: Era Suku Bunga Tinggi Timbulkan Ancaman Resesi

Tercatat setidak kini sudah ada beberapa negara yang masuk dalam jurang resesi seperti Haiti, wilayah Sudan dan Lebanon hingga Sri Lanka.

Walau ekonomi global di proyeksinya masuk kedalam jurang resesi di 2023, namun  Dana Moneter Internasional (IMF) masih mengharapkan apabila ekonomi dunia dapat tumbuh menjadi 2,7 persen.

Warga Kanada Dihantui Resesi

Warga Kanada semakin khawatir menghadapi inflasi yang tinggi secara historis dan ancaman resesi.

Sebuah survei mendapati lebih dari separuh orang dewasa di Kanada saat ini takut tidak dapat menyediakan makanan untuk keluarga mereka.

Jajak pendapat yang dilakukan pada bulan lalu oleh Ipsos untuk Global News dan dirilis pada Rabu kemarin mendapati temuan bahwa 53 persen warga Kanada yang resah tentang 'apakah mereka akan mampu membeli makanan', angka ini naik 9 poin persentase dari bulan lalu.

Dikutip dari Russia Today, Kamis (8/12/2022), kekhawatiran terhadap ekonomi juga meningkat, dengan 86 persen responden mengatakan mereka khawatir tentang resesi yang melanda Kanada tahun depan, angkanya naik dari 83 persen di bulan Oktober lalu.

"Kami melihat perubahan yang sangat luar biasa dan signifikan dalam waktu singkat, warga Kanada jelas telah meningkatkan kecemasan atas potensi resesi, suku bunga, inflasi tinggi, dan akibatnya, kita melihat perubahan dramatis." kata Wakil Presiden senior Urusan Publik Ipsos, Sean Simpson.

Baca juga: Mantan Menteri Perindustrian Sebut Industri Kertas Tidak Akan Terpengaruh Ancaman Resesi Global

Tingkat inflasi Kanada naik ke level tertinggi 39 tahun sebesar 8,1 persen pada Juni lalu dan tetap berada pada level tinggi yakni sekitar 7 persen.

Sejak saat itu. baru-baru ini pada kuartal pertama tahun lalu, harga konsumen naik pada tingkat tahunan sebesar 1 hingga 2,2 persen.

Perlu diketahui, sebelum tahun 2022, inflasi Kanada berada di bawah angka 5 persen selama lebih dari 30 tahun.

Hampir setengah dari warga Kanada atau 48 persen khawatir menghabiskan dana 'lebih dari yang mereka mampu' untuk musim liburan, angkanya naik 15 poin dalam sebulan terakhir.

Sementara 52 persen khawatir mereka tidak akan mampu membeli hadiah untuk orang yang mereka cintai.

Jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa ketakutan juga meningkat tajam atas hilangnya pekerjaan dan harga bahan bakar.

Ipsos mengatakan 61 persen responden khawatir mereka tidak akan mampu membayar bensin, dan 42 persen khawatir mereka akan kehilangan pekerjaan jika ekonomi tidak juga membaik.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan