Awal Pekan, Rupiah Diproyeksi Melemah Terhadap Dolar AS, Bakal Mendekat ke Arah Rp15.500
Pengamat Pasar Keuangan Ibrahim Assuaibi mengatakan, nilai tukar mata uang Garuda akan kian mendekati level Rp15.500.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Senin (17/10/2022) masih berpotensi mengalami pelemahan.
Pengamat Pasar Keuangan Ibrahim Assuaibi mengatakan, nilai tukar mata uang Garuda akan kian mendekati level Rp15.500.
"Untuk perdagangan Senin (17/10), mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp15.410 hingga Rp15.460," ucap Ibrahim dalam analisanya yang diperoleh Tribunnews, (15/10/2022).
Sebagai informasi, pada Jumat pekan kemarin (14/10/2022), rupiah terhadap dolar AS berada di level Rp15.427.
Baca juga: Kirimkan Banyak Pemain di Piala Dunia 2022, Sejumlah Klub Top Eropa Bakal Diguyur Miliaran Rupiah
Sebelumnya pada Kamis (13/10/2022), nilai tukar rupiah di level Rp15.361
Ibrahim Assuaibi telah memprediksi bahwa pelemahan rupiah masih akan terus berlanjut.
Pelemahan rupiah dikarenakan pasar masih menyoroti sejumlah faktor eksternal dan internal.
Untuk faktor eksternal, kondisi pasar terpengaruh sentimen jatuhnya indeks dolar terhadap sebagian besar mata uang, meskipun masih dalam level yang tinggi dalam perdagangan yang bergejolak.
"Awalnya (dolar AS) melonjak, menyusul laporan inflasi AS yang lebih panas dari perkiraan, karena beberapa investor menganggap respons awal pasar terhadap data itu berlebihan," ucap Ibrahim.
Dengan masih tingginya angka inflasi di AS, The Fed kemungkinan besar masih akan menaikkan suku bunga, sebagai upaya untuk menjinakkan inflasi.
Sementara itu untuk faktor internal, perekonomian Indonesia masih dihantui situasi yang mencekam.
Baca juga: Meski Masih Melemah, Pengamat Sebut Kemungkinan Rupiah ke Level Rp16.000 Sangat Kecil
Mulai dari inflasi yang tinggi, isu pertumbuhan upah, kerawanan energi dan pangan, risiko iklim, dan fragmentasi geopolitik.
"Diketahui, perang di Ukraina terus memperburuk keamanan pangan global dan krisis gizi dengan harga energi, makanan, dan pupuk yang tinggi dan tidak stabil; kebijakan perdagangan yang membatasi dan gangguan rantai pasokan," pungkas Ibrahim.