Kebijakan Penunjukan Marketplace Sebagai Pemungut Pajak Harus Dipertimbangkan
Nilai ekonomi digital Indonesia tercatat sebesar 70 miliar dollar AS atau sekitar Rp1.000 triliun, dan angka tersebut tertinggi di kawasan ASEAN.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ismoyo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia tercatat terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada 2021 lalu, nilai ekonomi digital Indonesia tercatat sebesar 70 miliar dollar AS atau sekitar Rp1.000 triliun, dan angka tersebut tertinggi di kawasan ASEAN.
Nilai tersebut diprediksi akan meningkat 2 kali lipat di 2025 dan akan terus naik hingga mendekati Rp5.000 triliun pada 2030.
Baca juga: Ekonom Indef: Pandemi Membuat Ekonomi Digital RI Memiliki Prospek
Untuk mendukung tren perkembangan sektor e-commerce, Pemerintah mendukung dengan penciptaan ekosistem ekonomi digital yang kondusif. Salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Regulasi dan kebijakan terkait perpajakan ini guna menciptakan prinsip keadilan melalui kesetaraan berusaha serta kompetisi yang sehat antar pelaku konvensional dan digital.
Salah satu isi UU HPP mengatur pemotongan, pemungutan, penyetoran dan/atau pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, di pasal ini juga mengamanatkan marketplace untuk menjadi pihak yang dapat memungut PPN atas barang yang dijual di marketplace serta memotong PPH atas penghasilan seller yang telah Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Direktur Eksekutif Indonesia Services Dialogue Council (ISD) Devi Ariyani mengatakan, aturan baru tersebut dapat mengubah tatanan saat ini mengingat tidak jelas merchant mana yang bisa diterapkan PPN.
Baca juga: Ada Perubahan Regulasi PPN dan Faktur Pajak untuk Bisnis Perusahaan, Ini Penjelasannya
Mereka juga tidak tahu mana yang sudah PKP dan belum.
Belum jelas juga apa yang akan dilakukan pemerintah bila terjadi kelebihan pembayaran pajak.
"Dampak seperti ini lah yang perlu diperhatikan," ujarnya dalam diskusi publik tentang Arah Kebijakan Pajak E-Commerce, (22/9/2022).
Oleh karena itu, Devi berkesimpulan bahwa penerapan HPP ini tidak dapat diimplementasikan secara terburu-buru karena dapat menimbulkan potensi masalah di lapangan.
Selain itu, perlu juga diingat bahwa hubungan marketplace dan merchant adalah kemitraan, bukan hubungan kepegawaian yang memungkinkan marketplace memungut pajak dari mitra kerjanya.
"Yang kami khawatirkan, merchant-merchant ini kembali ke sektor informal atau keluar dari platform marketplace ketika aturan ini dijalankan. Akibatnya transaksi pun tidak tercatat. karena mereka kembali berjualan secara offline atau lewat jalur lain seperti socmed," tukas Devi.
Sementara itu, Asisten Deputi Ekonomi Digital, Kemenko Perekonomian, Rizal Edwin Manangsang mengatakan, UU HPP khususnya terkait pengenaan pajak bagi platform marketplace tidak dapat diaplikasikan secara terburu-buru.
Sebab beleid ini dapat menimbulkan permasalahan dalam penerapannya.
Arah kebijakan pajak yang akan diambil perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan industri e-commerce nasional, termasuk bagi UMKM.
"Perdagangan melalui sistem elektronik merupakan keniscayaan yang harus kita kelola degan baik," ucap Rizal dalam kesempatan yang sama.
"Oleh karena itu arah kebijakan pajak yang akan diambil juga perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap perkembangan industri e-commerce nasional, termasuk bagi UMKM yang memanfaatkan marketplace dalam memperluas bisnis mereka," sambungnya.
Berdasarkan catatan Rizal, sektor yang menjadi penopang utama ekonomi digital Indonesia adalah e-commerce dengan nilai transaksi mencapai 53 miliar dollar atau sekitar 750 triliun rupiah 2021 dan diperkirakan tumbuh hingga 104 miliar dollar atau sekitar 100 triliun rupiah pada 2025.
Rizal menambahkan, beberapa hal lain perlu dipertimbangkan dalam meningkatkan optimalisasi penerimaan negara melalui kebijakan pajak e-commerce.
Pertama, mewujudkan regulasi yang adil, kompetitif, berkepastian hukum, memudahkan kepatuhan pajak, dan memiliki sistem yang baik.
Kedua adalah mekanisme pemanfaatan teknologi dengan optimal terutama dalam mengintegrasikan teknologi yang mampu memudahkan publik melakukan kewajiban membayar pajak.
"Untuk itu dibutuhkan koordinasi dan juga kolaborasi yang solid antar berbagai pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, pelaku bisnis, asosiasi, akademisi, media dan masyarakat guna mendukung terciptanya ekosistem ekonomi digital dan perpajakan yang sehat," pungkasnya.