Faisal Basri Sindir Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Ini Proyek Properti atau Proyek Kereta?
Faisal Basri mengingatkan, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung bisa berdampak langsung pada citra Presiden Joko Widodo di akhir jabatan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom senior INDEF Faisal Basri menilai proyek kereta cepat Jakarta Bandung (KCJB) sebagai proyek infrastruktur yang tidak sepadan dengan rencana proyek strategis nasional.
Dia menilai proyek ini hanya membuang-buang anggaran negara.
"Dibangun proyek yang tidak karu-karuan. Kereta cepat Jakarta - Bandung yang tadinya business to business, sebentar lagi mau disuntik pakai APBN," kata Faisal secara virtual, Rabu (13/10/2021).
Menurut Faisal, sejak awal proyek kereta cepat sudah ditolak saat rapat koordinasi pada tingkat pemerintah, berdasarkan kajian konsultan independen yakni Boston Consulting Group.
"Boston Consulting Group ini dibayar Bappenas bekerja untuk dua minggu senilai 150 ribu dolar AS, menolak dua proposal (proyek kereta cepat Jakarta - Bandung)," paparnya.
"Tapi Rini Soemarno (Menteri BUMN saat itu) yang berjuang (agar proyek kereta cepat berjalan). Menteri lainnya banyak menolak, tapi Rini ngotot," sambung Faisal.
Adanya kesalahan langkah tersebut, kata Faisal, masyarakat kini menjadi korbannya karena harus ikut membiayai proyek kereta cepat Jakarta - Bandung melalui APBN.
"Sebentar lagi rakyat membayar kereta cepat, yang barangkali ongkosnya Rp 400 ribu sekali jalan, dan diperkirakan sampai kiamat pun tidak balik modal," ujar Faisal.
Selain itu, Faisal juga menyebut proyek Bandara Kertajati di Majelengka, hingga LRT di Palembang, hanya sebagai penghaburan uang negara karena tidak ada manfaatnya.
"Bandara Kertajati lebih baik barang kali jadi gudang ternak saja. Kemudian, Pelabuhan Kuala Tanjung dibangun dekat Belawan, lalu LRT di Palembang," paparnya.
Rutenya Bikin Heran
Dia juga heran dengan rute yang dilintasi kereta cepat juga melewati sejumlah kawasan yang dikuasai pengembang properti kakap.
Sebut saja Lippo Group di kawasan Cikarang dan Summarecon Group di Bandung Jawa Barat. "Ini sebetulnya proyek properti atau proyek kereta?" ujar dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tersebut.
Faisal mengingatkan, proyek ini bisa berdampak langsung pada citra Presiden Joko Widodo di akhir jabatan.
"Ini semua kalau kita biarkan, kasihan Pak Jokowi. Jadi Pak Jokowi nanti selesai, banyak proyek mangkrak. Dicaci maki lagi dengan rezim penggantinya," kata dia, Selasa (12/10/2021).

Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno menilai nasib Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) sama dengan LRT Jabodebek.
Pemerintah mengucurkan modal agar proyek bisa selesai tepat waktu.
"Awalnya begitu (janjinya). Tapi saat dikerjakan BUMN karya yang belum pengalaman akhirnya pemerintah juga harus turun tangan.
Baca juga: Fraksi PKS Kritik Pemerintah Gunakan APBN Bangun Proyek Kereta Cepat
Sebelumnya juga terjadi di LRT Jabodetabek," jelas Djoko dalam keterangannya. Pendanaan dua proyek ini akhirnya banyak bergantung pada PT KAI (Persero).
Pemerintah akhirnya menyuntikan penyertaan modal negara (PMN) yang jumlahnya tidak sedikit. Djoko bilang kontraktor LRT Jabodetabek, PT Adhi Karya (Persero) Tbk mengalami kesulitan pendanaan.
Baca juga: Biaya Proyek Kereta Cepat Membengkak Rp 27 Triliun, Demokrat Minta Audit Total, Malaysia Berani Stop
"Membangun perkeretaapian sekaligus infrastrukturnya tak semudah membangun infrastruktur jalan raya seperti tol. Karenanya banyak investor swasta tertarik membangun jalan tol," imbuhnya.
Baca juga: Kereta Cepat Akan Dibiayai APBN, Wakil Ketua MPR Tegaskan Proyek Harus Diaudit Dulu oleh BPK
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sofyan Djalil sempat menegaskan proyek KCJB tidak memakai dana APBN.
Ada dua alasan APBN tidak diperlukan.
Pertama, perlambatan perekonomian Indonesia akibat kondisi ekonomi global mempengaruhi postur anggaran.
Kedua, proyek kereta cepat dinilai kurang tepat dengan program Nawacita yang bermaksud membangun Indonesia mulai dari pinggiran.
"Kebutuhan dana investasi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung lumayan besar, yakni sekitar Rp 60 triliun.
Kami akan memanfaatkan anggaran pemerintah untuk yang paling dibutuhkan," kata Sofyan di kantornya kala itu. sedang di ambang situasi sulit apakah tetap berlanjut atau mangkrak.
Agar bisa berjalan maka suntikan APBN melalui Perpres No.93 tahun 2021 merupakan langkah tepat proyek tersebut tetap berlanjut.
Bengkak Jadi Rp 114,4 Triliun
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan KCIC Mirza Soraya menjelaskan, alasan biaya pembangunan proyek kereta cepat membengkak dari semula 6,07 miliar dolar AS menjadi 8 miliar dolar AS atau sekitar Rp 114,4 triliun.
“Salah satunya pengadaan lahan. Banyak faktor di lapangan yang membuat akhirnya biaya bertambah. Seperti relokasi fasilitas umum dan sosial. Hal ini menambah luas pengadaan lahan bertambah,” kata Mirza.
Selain itu, terjadinya overrun disebabkan karena penggunaan frekuensi GSM-R untuk operasional kereta api.
“Pada anggaran awal, kita mengacu apa yang terjadi di China. Di China penggunaan frekuensi termasuk investasinya tidak perlu membayar pada siapapun. Sementara di Indonesia, kebijakannya lain. Harus ada biaya investasi yang dikeluarkan dan ini di luar anggaran awal,” paparnya.
“Serta pekerjaan lainnya yang memang harus dilakukan untuk kebutuhan penyelesaian proyek KCJB,” sambungnya.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir membeberkan alasan biaya pembangunan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung membengkak.
Melalui Staf Khususnya, Arya Sinulingga mengatakan, pembengkakan ini dikarenakan berbagai hal.
Yakni dimulai adanya wabah Covid-19 membuat arus kas perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam konsorsium proyek ini terganggu.
Gangguan arus kas tersebut turut berdampak kepada aliran dana untuk pembangunan proyek Kereta Cepat, yang kemudian pembangunannya menjadi terhambat.

Sebagai informasi, saat ini porsi pemerintah di perusahaan patungan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) adalah 60 persen, yakni melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).
PT PSBI terdiri dari empat BUMN yakni PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Wijaya Karya, PTPN VIII, dan PT Jasa Marga.
Sedangkan untuk 40 persen porsi saham lainnya dimiliki China Railway International.
“Problemnya adalah corona datang, ini membuat menjadi agak terhambat,” ucap Arya kepada awak media, Sabtu malam (10/10/2021).
“Yang pertama, bahwa para pemegang sahamnya seperti Wijaya Karya itu terganggu cash flow-nya. Kita tahu banyak perusahaan karya juga pada terganggu (di masa pandemi ini)," kata dia.
"Kemudian kita juga tau KAI karena corona penumpangnya turun semua sehingga membuat mereka tidak bisa menyetor dananya,” sambungnya.
Arya juga melanjutkan, bengkaknya dana pembangunan Kereta Cepat juga disebabkan adanya faktor lain.
Yaitu perubahan desain proyek, hingga harga tanah yang kian naik di setiap tahunnya.
“Ketika membuat Kereta Api Cepat atau jalan tol atau sebagainya, di tengah perjalanan yang panjang pasti ada perubahan desain karena (faktor) kondisi geografis. Perubahan-perubahan desain ini membuat pembengkakan biaya,” papar Arya.
“Kemudian juga harga tanah seiring berjalannya waktu ada perubahan dan itu wajar. Itu yang membuat pembengkakan,” pungkasnya.
Sebagai informasi sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah merestui penggunaan APBN untuk pendanaan proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang diketahui membengkak dari rencana awal.
Bengkaknya budget proyek ini diketahui dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021. Aturan baru tersebut diteken Jokowi pada 6 Oktober 2021 dan menggantikan Perpres 107 Tahun 2015. Salah satu yang diubah Jokowi adalah Pasal 4 soal pendanaan.
Seperti dilansir Kompas, dalam aturan lama, pendanaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung hanya boleh bersumber dari penerbitan obligasi oleh konsorsium BUMN atau perusahaan patungan.
Lalu opsi lainnya dari pinjaman konsorsium BUMN atau perusahaan patungan dari lembaga keuangan, termasuk lembaga keuangan luar negeri atau multilateral, dan pendanaan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (Tribun Network/Reynas Abdila/Seno/*)