CIPS Jelaskan Akar Masalah Harga Jagung Tinggi saat Stok Mencukupi
Peneliti CIPS Aditya Alta menanggapi kegaduhan harga jagung melambung padahal stok mencukupi. apa sih akar masalahnya?
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta menanggapi kegaduhan harga jagung melambung padahal stok mencukupi.
Menurutnya, akar masalah ini berawal dari dua statement kementerian yang berbeda.
Yakni Kementerian Pertanian menyebut stok cukup, sedangkan Kementerian Perdagangan bilang stok tidak cukup.
Baca juga: Gaduh Stok Jagung, Kementan dan Kemendag Diminta Jangan Bikin Bingung Masyarakat
"Kalau dilihat dari struktur pasar kita terdiri dari industri pakan besar dan sisi lain ada peternak mandiri. Karena tidak ada impor jagung industri dan peternak ini berebut stok domestik yang sama," tutur Aditya, Jumat (24/9/2021).
Ia menilai skala penyerapan industri besar dan peternak tentu berbeda.
Baca juga: Kementan Siap Tunjukkan Lokasi Stok Jagung
"Ini yang kemungkinan menyebabkan harga jagung naik," lanjutnya.
Dalam catatannya, harga jagung di level petani sebesar Rp 3.500 per kilogram.
Sementara harga jagung di level industri ataupun peternak mencapai Rp 4.500 per kilogram.
"Harga jagung di tingkat global tidak ada perubahan. Menurut world bank pink sheet justru trus turun begitu juga pasar komoditas berjangka AS lebih rendah dari tiga bulan lalu," tukasnya.
Harga jagung belakangan jadi sorotan terlebih usai aksi seorang peternak ayam yang membentangkan poster terkait mahalnya harga jagung, saat kunjungan kerja Presiden Joko Widodo di Blitar, Jawa Timur.
Jokowi kemudian memanggil sang peternak ayam ke Istana Negara.
Setelahnya, Presiden langsung memerintahkan Kementerian Pertanian (Kementan dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyediakan jagung sebagai pakan ternak dengan harga Rp 4.500 per kilogram.
Namun belakangan kedua kementerian tersebut ternyata punya pandangan berbeda terkait stok jagung.
Kementan mengklaim stok jagung cukup, yakni berada di angka 2,3 juta ton.
Lain halnya, Kemendag justru memiliki dalih sebaliknya.