Klaim Apindo: UU Cipta Kerja Bisa Tingkatkan Daya Serap Lapangan Pekerjaan
Hariyadi Sukamdani meyakini keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja kalaster ketenagakerjaan bisa meningkatkan daya serap lapangan kerja.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Reynas Abdila
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani meyakini keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja kalaster ketenagakerjaan bisa meningkatkan daya serap lapangan kerja.
Menurutnya, sejak Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dijalankan telah terjadi penyusutan yang sangat signifikan.
Hal itu diakibatkan aturan yang terlalu rigid dan investasi yang masuk kebanyakan adalah padat modal sedangkan angkatan kerja baru setiap tahunnya mencapai lebih dari 2 juta orang.
“Pemerintah selalu menanyakan mengapa penyusutan penyerapan tenaga kerja terjadi secara signifikan dari waktu ke waktu? Itu sudah terkonfirmasi juga di dalam angka-angka makro kita," tutur Hariyadi dalam webinar bertajuk Mengupas UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan di Jakarta, Senin (12/10/2020).
Baca juga: Daftar Pasal Kontroversial UU Cipta Kerja yang Memicu Amarah Buruh, Pasal-pasal Ini Paling Dimusuhi
Pada 2019 saat investasi RI totalnya Rp 810 triliun, rasionya penyerapan tenaga kerja 1.277 orang per Rp 1 triliun, turun jauh dari 2010 dengan daya serap tenaga kerja 5.014 orang.
Hariyadi juga menyoroti biaya investasi di Indonesia yang terbilang mahal serta kurang kompetitif dibandingkan negara tetangga.
Baca juga: Ada Tiga Versi Draf RUU Cipta Kerja, Mana yang Disahkan DPR?
Ini berdasarkan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yaitu perbandingan atau rasio antara tambahan investasi yang dibutuhkan, untuk menghasilkan setiap satu unit output.
Dia memaparkan ICOR Indonesia pada 2019 sebesar 6,77 persen lebih buruk dari 2018 yang di posisi 6,44 persen.
Sementara negara tetangga seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam punya ICOR di posisi tiga persen.
“ICOR kita sangat tinggi, tetapi output-nya itu rendah. Jadi ICOR itu adalah rasio antara investasi yang masuk dengan output-nya. Di kita nvestasinya lumayan besar, tetapi output-nya kecil. Hal itu juga terlihat dalam tren menurunnya GDP hanya 5 persen,” kata Hariyadi.