Senin, 6 Oktober 2025

Pemerintah Harus Berani Negoisasi Ulang untuk Cegah Eksploitasi Pekerja Migran ke Jepang

Peneliti HRWG Indonesia Yoga Prasetyo mengatakan hal pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengubah paradigma lama.

IST
Tes Bahasa Jepang untuk 68 peserta magang ke Jepang tahun 2019. 

"Kami mendesak pemerintah RI untuk melakukan moratorium kerjasama dalam skema magang, khususnya private-to-private dalam Technical Intern Training Program (TITP) dengan pemerintah dan aktor swasta di Jepang," ujar peneliti HRWG Indonesia Yoga Prasetyo, dalam diskusi online 'Menyoal Proses Pra-keberangkatan Pekerja Migran Indonesia ke Jepang melalui Skema TITP dan EPA', Rabu (20/5/2020). 

Yoga menjelaskan praktik ini terjadi saat perekrutan, pelatihan, persiapan dan pemberangkatan yang dilakukan umumnya oleh aktor swasta yang memiliki izin dari pemerintah.

Menurutnya, praktik merugikan ini bukan tanpa alasan, mengingat selama ini pemerintah tidak menetapkan struktur biaya penempatan.

Selain itu, skema ini hanya diatur melalui Permen Naker No. 8/2008 tentang Tata Cara Perizinan dan Penyelenggaraan Pemagangan di Luar Negeri dan para pemagang dikeluarkan dari skema perlindungan yang diatur dalam Pasal 4 (b) UU No. 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran.

"Maraknya praktik eksploitasi dan pelanggaran HAM harus dihentikan. Dalam skema ini, kami menemukan banyak calon pemagang harus merogoh saku antara Rp30juta sampai Rp80juta," kata dia. 

"Sebelum mereka berangkat bahkan sudah terlilit hutang," imbuhnya. 

Namun seruan moratorium ini justru berkebalikan dengan upaya pemerintah yakni Menteri Ketenagakerjaan yang justru ingin menambah kuota para pemagang ke Jepang.

Yoga mengungkap pihaknya juga menemukan sejumlah pola dari model kerjasama ketenagakerjaan dengan Jepang seperti skema di bawah Economic Partnership Program (EPA) untuk pekerja perawat lansia (caregiver). 

Meski kasus eksploitasi cenderung lebih minimal dalam skema EPA apabila pemerintah ikut campur dalam persiapan pra-keberangkatan, bukan berarti skema tersebut tanpa masalah. 

"Pasca penempatan, para pekerja perawat diabaikan hak reintegrasinya, sehingga mengalami kesulitan melanjutkan dan mengembangkan profesinya sebagai perawat," jelasnya. 

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved