Faisal Basri: Biang Keladi Investasi Indonesia Turun, Ya Pemerintah Sendiri
Jika investasi asing yang hendak disasar, justru belakangan ini investor asing banyak yang “diusir”.
Laporan Reporter Kontan, Barratut Taqiyyah Rafie
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom senior Faisal Basri menilai, penurunan investasi seperti yang dikeluhkan oleh Presiden Joko Widodo merupakan kesalahan pemerintah sendiri. Hal itu dia ungkapkan saat membahas Omnibus Law dalam blognya di faisalbasri.com.
Menurut Faisal, Presiden Joko Widodo kerap mengeluhkan investasi sebagai biang keladi dari pertumbuhan yang tak beringsut dari level 5% di mana kebijakan selama ini belum ada yang “nendang”.
Presiden juga mengeluhkan tak ada satu pun perusahaan yang merelokasikan pabriknya dari China ke Indonesia sebagai imbas dari perang dagang Amerika Serikat dengan China.
"Kenyataan bicara lain. Kinerja investasi Indonesia tidak buruk-buruk amat. Pertumbuhan investasi yang diukur dengan pembentukan modal tetap bruto dalam lima tahun terakhir masih di atas pertumbuhan PDB," jelas Faisal.
Bahkan, lanjut Faisal, pertumbuhan investasi Indonesia jika dibandingkan dengan beberapa negara lain lebih tinggi. Sebut saja Malaysia, Afrika Selatan dan Brazil.
"Dibandingkan dengan China sekalipun, pertumbuhan investasi Indonesia masih lebih tinggi," jelasnya.
Faisal juga menguraikan, Di ASEAN, sumbangan investasi dalam PDB tak ada yang mengalahkan Indonesia, bahkan Singapura dan Vietnam sekalipun.
Memang Indonesia kalah dengan China, namun China sudah mengalami kecenderungan menurun.
"Mereka kelebihan investasi sehingga harus repot-repot menciptakan proyek-proyek besar di luar negeri lewat “One Belt, One Road” initiative," paparnya.
Faisal juga menguraikan, jika omnibus law bertujuan untuk menggenjot investasi agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, boleh jadi jauh api dari panggang.
Jika investasi asing yang hendak disasar, justru belakangan ini investor asing banyak yang “diusir”.
"Malahan pemerintah mendorong pelaku dalam negeri untuk mengambil alih investasi asing: saham Freeport diambil alih BUMN (PT Inalum), Blok Mahakam dan Blok Rokan diambil alih PT Pertamina, Holcim juga diambil alih oleh BUMN (PT Semen Indonesia)," paparnya.
Begitu pun, asing masih saja cukup antusias berinvestasi di Indonesia. Di Asia, Indonesia paling diminati setelah China dan India.
Faisal juga menyodorkan sejumlah data. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia masuk dalam top-20 penerima investasi langsung asing (foreign direct investment).
Bahkan, peringkat Indonesia naik dari posisi ke-18 (2017) menjadi ke-16 (2018). Pada 2018, posisi Indonesia dua peringkat di atas Vietnam.
Investasi dari China mengalir cukup deras, sedemikian kasat mata. Data terbaru menunjukkan posisi Indonesia naik tajam dalam China Going Global Investment Index.
Sejak Indonesia merdeka, investasi langsung asing tidak pernah menjadi andalan.
"Karena memang Indonesia cenderung menutup diri dengan membangun tembok tinggi, penuh kawat berduri. Jadi, solusinya bukan dengan omnibus law," paparnya.
Rendahnya investasi asing itulah yang mebuat Indonesia tidak menjadi bagian menarik dari global supply chains dan membuat perekonomian Indonesia relatif semakin tertutup.
"Investasi di sektor migas cenderung merosot sehingga produksi turun terus, mengakibatkan impor minyak membengkak. Biang keladinya adalah karena pemerintahlah yang menghambat," ujarnya.
Dia juga bilang, tantangan terbesar Indonesia adalah bagaimana meningkatkan kualitas investasi.
Selama ini kebanyakan investasi dalam bentuk bangunan. Sedangkan investasi dalam bentuk mesin dan peralatan hanya sekitar 10%.
"Bagaimana hendak meningkatkan ekspor kalau investasi mesin dan peralatan relatif rendah. Bandingkan dengan negara emerging market lain yang investasi mesin dan peralatannya jauh lebih tinggi," bebernya.
Menurutnya, investasi akan seret jika pemanfaatan kapasitas produksi masih rendah.
"Ketika pemanfaatan kapasitas terpasang di atas 90%, tak usah didorong-dorong pun investasi akan dilakukan oleh dunia usaha," urainya.
Faisal menilai, investasi masih terbuka lebar jika pemerintah melakukan konsolidasi perbankan.
Baca: LBH Jakarta: RUU Omnibus Law Hanya untuk Kepentingan Oligarki
Pertumbuhan kredit perbankan bisa dipulihkan dari kecenderungan yang terus menurun, setidaknya menembus dua digit.
Dia juga bilang, perbankan dan lembaga keuangan lainnya berfungsi sebagai jantung bagi perekonomian. "Bagaimana perekonomian hendak berlari lebih cepat jika detak jantung lemah," imbuhnya.
Baca: Warren Buffett Habiskan 80 Persen Waktunya untuk Membaca, Ini Buku Investasi yang Dia Rekomendasikan
Saran Faisal, pemerintah harus menghilangkan penyumbatan pembuluh darah di jantung terlebih dulu.
Baca: Chief Economist Tanamduit: AS-Eropa Sedang Stagnan, Tahun Ini Momen Paling Tepat Berinvestasi
"Jangan lagi terjadi dana puluhan triliun rupiah yang dihimpun dari darah dan keringat rakyat diinvestasikan di perusahaan-perusahaan yang tidak punya reputasi baik, yang digelayuti oleh para elit penguasa seperti terjadi pada kasus Jiwasraya dan Asabri."
"Benahi pula regulatornya, terutama OJK, yang kebobolan berulang kali," paparnya.
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul Faisal Basri: Investasi turun, biang keladinya adalah pemerintah sendiri