Dirjen Udara Kemenhub Beberkan Kondisi Maskapai Tanah Air yang Terseok-seok
harga tiket pesawat yang banyak dikeluhkan masyarakat itu sebetulnya tidak pernah melanggar batasan tarif dari regulator.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik mahalnya harga tiket pesawat masih bergulir saat ini. Terakhir, pemerintah memutuskan untuk menurunkan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat di kisaran 12-16 persen.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Polana B Pramesti menjelaskan, harga tiket pesawat yang banyak dikeluhkan masyarakat itu sebetulnya tidak pernah melanggar batasan tarif dari regulator.
Adapun aturan tarif batas atas dan tarif batas bawah (TBB) tiket pesawat diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Nomor 72 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Aturan ini juga akan kembali direvisi lewat Surat Keputusan (SK) pasca TBA diturunkan sebanyak 12-16 persen.
"Saya jelaskan dari awal sesuai UU Nomor 1 tahun 2009 pasal 127 bahwa TBA TBB ditetapkan menhub dengan pertimbangkan aspek perlindungan konsumen serta persaingan usaha tidak sehat. Kuncinya ada di situ," kata Polana saat mengunjungi kantor Tribunnews.com, Rabu (15/5/2019).
"Terakhir diatur lewat UU 20/2019. Kalau tadinya dijadikan satu di aturan baru dipisahkan (aturan TBA TBB) besarannya lewat SK Menteri Perhubungan. Isinya sebetulnya sama, berdasarkan aturan tersebut sebenarnya tidak ada airlines yang melanggar," imbuhnya.
Biaya Operasional Naik
Polana juga menjelaskan alasan maskapai menaikkan harga tiket pesawatnya dalam beberapa bulan terakhir.
Menurutnya, ini merupakan buntut dari kondisi bisnis maskapai yang terus memberi "harga promosi" pada beberapa tahun lalu, padahal biaya operasional perusahaan terus meningkat.
"Masyarakat anggap harga tiket mahal banget, pak Daniel Putut (Managing Director Lion Air) jelaskan masyarakat sudah terbiasa atau dimanjakan Lion dengan harga yang murah di mana memang pada beberapa tahun lalu airlines masih cari market sehingga melakukan promosi," jelasnya.
Terpengaruh Nilai Tukar Mata Uang Asing
Polana melanjutkan, bisnis maskapai sangat terpengaruh oleh nilai tukar mata uang asing. Hal itu dikarenakan biaya operasional yang dikeluarkan maskapai, seperti untuk membeli avtur, membayar sewa dan pemeliharaan pesawat mengacu pada kurs dolar AS.
Dengan begitu, bila nilai tukar rupiah melemah, maskapai harus mengeluarkan biaya operasional lebih banyak.
"Untuk tetap TBA, pemerintah hitung seluruh biaya operasi pesawat per jam nanti dibagi kapasitas tempat duduk jadi tarif jarak (basic fare). Nanti tarif jarak dikali jarak terbang," ujar Polana.
"Belum lagi basic fare itu maskapai kena PPN, iuran Jasa Raharja dan lain-lain itu semua ditambahkan jadi harga tiket pesawat," imbuhnya.
Cari Uang Balik Modal saat Peak Season
Menurut Polana, untuk balik modal saja, keterisian penumpang pesawat harus mencapai 65 persen.
"Dengan load factor 65 persen, airlines baru BEP. Saat low season (tingkat keterisian penumpang di bawah 60 persen) terjadi Januari-Maret dan Agustus Oktober harga tiket cenderung turun. Jadi saat peak season seperti lebaran mereka cari subsidi dari low season itu," jelas Polana.
70-80 Persen Penerbangan Tidak Komersial
Polana menjelaskan, kebanyakan pesawat yang diterbangkan maskapai diperuntukkan untuk rute-rute tidak padat. Hal ini guna meningkatkan konektivitas di seluruh Indonesia.
"Airlines kita Garuda Indonesia group dan Lion group mereka terbangi rute-rute tidak padat. Rata-rata di rute padat Lion, Garuda terbangi 20-30 persen, sementara 70-80 persen di rute tdk padat. Itu harus dilakukan demi konektivitas," jelasnya.
Senada dengan Polana, Managing Director Lion Air mengatakan pihaknya harus menjangkau daerah lain sebagai tugas membantu pemerintah dan masyarakat.
"Kami ada rute penugasan, kami diminta misal terbanglah ke Kertajati, Miangas, Rote mungkin orang tidak tahu di mana-mana saja tapi daerah itu infrastruktur lagi dikembangkan. Akhirnya kami jalankan. Secara bisnis itu tidak masuk (menguntungkan)," jelasnya.
Berlaku Hari Ini
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menyatakan tarif batas atas (TBA) tiket pesawat turun di kisaran 12-16 persen mulai hari ini, Kamis (16/5/2019).
Aturan baru ini bakal tertuang dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Menteri Perhubungan.
Sebelumnya, patokan harga tiket pesawat mengacu pada Keputusan Menhub (Kepmen) Nomor 72 Tahun 2019.
Dalam aturan itu, tarif batas bawah (TBB) dipatok seharga 35 persen dari tarif batas atas (TBA). Dengan adanya SK terkait penurunan TBA ini, maka Kepmen tersebut akan tidak berlaku.
"Ya memang hari ini [SK] dikeluarkan. Realisasinya besok," kata Budi usai acara buka bersama di kantor Kemenhub, Jakarta, Rabu (15/5/2019) malam.
Lantas, kapan harga tiket pesawat turun?
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Polana B. Pramesti menjelaskan, meski aturan baru itu sudah terbit, maskapai penerbangan membutuhkan waktu untuk melakukan penyesuaian.
"Perlu waktu. Ada proses penyesuaian ditetapkan paling lama satu minggu setelah SK Menhub ditetapkan," kata Polana saat menyambangi kantor Tribunnews.com di kawasan Palmerah, Jakarta, Rabu (15/5/2019).
Polana mengatakan, para operator penerbangan siap bersikap kooperatif terhadap peraturan baru ini. Terutama untuk masa angkutan lebaran, dia berharap maskapai bisa memberikan diskon-diskon khusus.
"Tidak [signifikan dampaknya ke harga tiket pesawat]. Kecil sih tapi paling tidak kan mereka sama-sama memberikan kontribusi. Untuk lebaran ini juga pak Menhub imbau ada diskon," jelasnya.
Respon Maskapai
Senada dengan Polana, pihak operator Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group mengatakan akan mengikuti aturan dari Kemenhub.
"Penurunan TBA ini memang membuat Garuda Indonesia semakin tertekan. Tetapi aturan regulator tetap akan kami ikuti," ujar VP Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan saat dihubungi Tribunnews.com, Selasa (14/5/2019).
Lion Air Group juga menunjukkan sikap positif terhadap aturan baru tersebut. Tak hanya itu, imbauan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi agar maskapai berbiaya murah atau LCC menerapkan harga tiket pesawat 50 persen di bawah TBA juga dituruti Lion Air Group.
"Kalau TBA turun 16 persen tapi kami jual (tiket pesawat) harganya di TBA masyarakat akan tetap merasa mahal. Akhirnya buat lebaran, masing-masing maskapai punya strategi bantu lah. Misal Lion Air group beri diskon sampai 50 persen," ungkap Managing Director Lion Air Daniel Putut Kuncoro saat menyambangi kantor Tribunnews.com di kawasan Palmerah, Jakarta, Rabu (15/5/2019).
Butuh Insentif
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti mengusulkan agar penurunan tarif tiket pesawat ini tidak boleh diberatkan ke pihak operator penerbangan saja.
Dia menyarakan agar pengelola bandara, Airnav Indonesia, dan beberapa pihak lainnya memberikan insentif terkait biaya parkir, biaya jasa navigasi dan lainnya.
"Kami lakukan koordinasi dengan pihak bandara, navigasi untuk sama-sama berikan kontribusi supaya ringankan beban operator dan masyarakat," ujar Polana saat menyambangi kantor Tribunnews.com, Jakarta, Rabu (15/5/2019).
Selain itu, Polana mengharapkan kementerian lain ikut berkontribusi untuk meringankan beban maskapai. Misalnya, terkait pajak pertambahan nilai (PPN) atas tiket pesawat dari Kementerian Keuangan, atau soal harga avtur dari Kementerian ESDM dan BUMN.
"Itu (PPN dikurangi) saja saya setuju sekali, sudah sampaikan ke Menko Perekonomian (Darmin Nasution)," ucap Polana.
"Jadi sebetulnya ada empat kementerian (yang kebikannya berpengaruh pada bisnis penerbangan): Keuangan, ESDM, BUMN dan Perhubungan. Itu tidak bisa kita kendalikan semua. Kalau ada kontribusi dari kementerian lain akan sangat membantu," imbuhnya.
Terkait insentif untuk biaya pemakaian bandara, navigasi hingga PPN, pihak maskapai mengaku akan lumayan terbantu.
"Ya lebih bagus, kalau insentif lebih bagus bagi Garuda, karena paling tidak bisa membuat kita bernafas sedikit lebih lega," ujar Ikhsan.
Managing Director Lion Air Daniel Putut Kuncoro pun mengatakan hal senada dengan Ikhsan.
"Kontribusi pemerintah mungkin terkait pajak, dan beberapa hal yang bisa kurangi komponen biaya. Saya setuju perlu selamatkan maskapai jangan sampai kita tidak survive," ucap Putut saat berkunjung ke kantor Tribunnews.com, Rabu (15/5/2019).
Tutup Rute Sepi
Di sisi lain, Garuda Indonesia mengaku perlu melakukan beberapa penyesuaian terhadap struktur biaya perusahaan guna menurunkan harga tiket pesawatnya.
Salah satunya adalah mengurangi frekuensi bahkan menutup rute-rute penerbangan yang dinilai kurang menguntungkan.
"Kita pasti melihat rute-rute yang memang tidak baik, ya sudah kita langsung tutup. Bahwa selama ini kan untuk rute-rute yang kurang bagus, itu kan kita ada semacam subsidi silang," ungkap VP Corporate Secretary Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan saat dihubungi, Selasa (14/5/2019) malam.
"Tapi dengan penekanan TBA ini, otomatis kita harus lebih ketat lagi. Yang tidak menguntungkan yasudah kita tutup saja untuk menghindari kerugian semakin dalam," tambahnya.
Ikhsan menjelaskan, dengan penurunan TBA, pihaknya harus memangkas struktur biaya perusahaan.
Namun dia memastikan, perusahaan tidak akan mengubah biaya terkait keselamatan penumpang maupun kesejahteraan karyawan.
"Poinnya kan kita sedang bertahan hidup. Jadi bagaimana kita tetap bisa menyesuaikan dengan penyesuaian pemerintah terkait penurunan TBA tadi," tutur Ikhsan.
"Ya mungkin nanti secara jangka pendek dan panjang kita meningkatkan ancillary revenue (pendapatan non tiket). Atau meningkatkan bisnis lain. Kan kita ada rencana pengembangan kargo. Tapi poinnya dengan penurunan TBA ini akan semakin menekan kita," pungkasnya.
Garuda Tertekan
Menanggapi kebijakan tersebut, maskapai penerbangan Garuda Indonesia mengaku berada di kondisi semakin tertekan.
"Jadi memang dengan rencana penurunan yang TBA hingga 16 persen, itu tentu saja semakin menekan Garuda," ujar VP Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan saat dihubungi, Selasa (14/5/2019) malam.
Ikhsan menjelaskan, selama lebih tiga tahun terakhir, pemerintah tidak pernah menyesuaikan tarif batas atas maupun tarif batas bawah tiket pesawat.
Padahal, biaya yang perlu dikeluarkan maskapai terus membengkak, akibat kenaikan harga avtur hingga pelemahan nilai tukar rupiah.

"Dengan situasi itu, sebenarnya struktur cost Garuda itu memang harus bermain di sekitar TBA," jelas Ikhsan.
"Nah itupun yield (keuntungan) yang kita dapat sekitar 2 persen. Karena memang maskapai marginnya tipis," imbuhnya.
Dengan penurunan TBA dari regulator, perusahaan maskapai berpelat merah itu mengaku harus memutar otak untuk mengurangi biaya operasional perusahaan.
"Kita memang harus menekan cost untuk bisa bertahan hidup. Cost-cost yang kita tekan itu pasti cost yang di luar berkaitan safety (keselamatan penumpang) atau kesejahteraan karyawan. Yang dua itu tidak boleh diganggu gugat," tegas Ikhsan.

"Otomatis kita mengacu ke cost lain, misalnya pelayanan mungkin akan kita sesuaikan. Layanan kita kan full service, ya mungkin berkaitan dengan layanan full service kita sesuaikan dengan penekanan TBA di 12-16 persen ini," pungkasnya.
Curhat Penumpang
Sejumlah pemudik asal Sumatera Utara dan Aceh yang tinggal di Bandung mengaku stres. Sebab lonjakan harga tiket pesawat jelang Lebaran semakin menggila.
Warga Takengon, Aceh, Safutra Rantona salah satunya. Ia masih tidak percaya tiket H-7 Idul Fitri yang biasa dibelinya pada tahun-tahun sebelumnya, harganya selangit.
“Dulu (tahun lalu) bawa uang Rp 5 juta sudah bisa PP Jakarta-Takengon (Aceh). Kalau sekarang minimal Rp 12 juta. Baru lebaran kali ini saya stres gara-gara tiket pesawat,” ujar Safutra kepada Kompas.com di Bandung, Selasa (14/5/2019.
Pada Idul Fitri 2018, Safutra cukup mengeluarkan Rp 1,2 juta untuk tiket pesawat Lion Air dari Bandara Soekarno Hatta-Kualanamu Medan. Jika dilanjutkan dengan penerbangan Kualanamu-Bandar Udara Takengon Rembele cukup Rp 2 juta.
Namun kini untuk penerbangan di periode yang sama, harga tiket Lion Air dari Bandara Soekarno Hatta-Kualanamu Rp 2,3 juta. Jika dilanjutkan ke Takengon, bisa habis lebih dari Rp 3 juta.
“Hitungan itu belum untuk makan selama perjalanan dan biaya menginap saat transit di Medan,” imbuhnya.
Menunggu kepastian turunnya harga tiket pesawat dari Kemenhub
Kondisi ini yang membuat Safutra Rantona belum memutuskan untuk mudik melalui jalur darat. Ia pun menaruh harapan pada Kementerian Perhubungan yang katanya akan mengevaluasi harga tiket.
“Saya menunggu keputusan paling baik dari kementerian, katanya dalam minggu ini akan diumumkan,” ucapnya.
Jika mentok, maka ia akan pulang menggunakan bus. Harga tiket bus dari Jakarta menuju Takengon sekitar Rp 900.000. Namun waktu yang harus ditempuh berhari-hari dan melelahkan.
Pemudik lainnya, Irma Suryani mengalami kebingungan serupa. Seharusnya Lebaran tahun ini ia pulang ke Medan, Sumatera Utara. Sebab tahun lalu, ia tidak pulang karena sejumlah pekerjaan.
“Tapi harga tiketnya tinggi sekali, di luar prediksi saya. Kayaknya saya akan kuras tabungan untuk bisa mudik,” imbuhnya.
Ia pun mendesak pemerintah untuk menyelesaikan persoalan harga tiket ini secepatnya. Jangan sampai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah hilang.