Petisi Ragunan: Ada Pembohongan Data Produksi, Petani Dibuat Bingung oleh Kebijakan Kementan
Kegiatan ini membahas berbagai persoalan pembangunan pertanian dan mengevaluasi kinerja Kementerian Pertanian.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA) menggelar acara refleksi akhir tahun dengan mengundang 15 perwakilan organisasi dan asosiasi petani dan peternak.
Kegiatan ini membahas berbagai persoalan pembangunan pertanian dan mengevaluasi kinerja Kementerian Pertanian.
Pertemuan ini menyepakati dua hal. Pertama, membentuk agriwatch yang akan berfungsi sebagai lembaga yang melakukan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan program program di Kementrian Pertanian. Lembaga ini nantinya akan memberikan masukan kepada Kementrian Pertanian baik diminta ataupun tidak diminta.
Kedua, menyepakati Petisi Ragunan sebagai hasil refleksi akhir tahun. Petisi Ragunan ini dibacakan Yeka Hendra Fatika yang menjadi penggagas kegiatan.
Petisi ini dibuat berdasarkan analisa bahwa telah terjadi pembohongan data produksi pertanian yang sudah dibuktikan oleh data yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS).
Berdasarkan pertimbangan tersebut, perwakilan berbagai organisasi dan asosiasi petani yang hadir di acara ini meminta kepada Presiden Joko Widodo agar mengevaluasi kinerja Menteri Pertanian Amran Sulaiman.
Agropreneur jagung dari Lombok, Dean Novel menilai, Kementerian Pertanian selama ini terlalu asyik sendiri dengan kebijakan yang dibuat.
"Sementara petani justru bingung dengan kebijakan pemerintah. Apa yang petani perlukan tidak diberikan. Sebaliknya yang petani tidak perlukan justru pemerintah berikan," keluhnya seperti dalam keterangan pers tertulis yang dikirimkan kepada Tribunnews, Jumat (23/11/2018).
Baca: Pemerintah Akan Ubah Formula Penentuan Harga Jual Bahan Bakar Jenis Premium
Dia mencontohkan, kebijakan pemerintah yang mendorong tanam serentak membuat petani menjadi delematis. Bahkan ketika panen, harga jual komiditi pertanian oleh petani malah jatuh. Sementara pemerintah tidak menyiapkan sarana penyimpanan seperti alat pengering (dryer) dan pergudangan.
"Ketika tidak ada panen, harga melonjak tinggi, sehingga peternak unggas yang kesulitan mendapatkan bahan baku pakan ternak," sebutnya.
Baca: Setelah Jadi Kontroversi, Menko Darmin Sebut Pelonggaran 54 Usaha ke Asing Baru Tahap Sosialisasi
Lebih mirisnya, benih jagung bantuan pemerintah juga kualitasnya dipertanyakan. Artinya, ketika pemerintah membuat kebijakan persoalan utama (bottle neck)-nya tidak diselesaikan.
Dean menilai dunia perjagungan Indonesia menghadapi anomali. Satu sisi pemerintah mengklaim surplus jagung dan sudah ekspor, tapi yang terjadi malah ada impor. Bahkan kemudian pemerintah meminjam stok dari pabrik pakan ternak untuk menutupi kebutuhan jagung peternak rakyat.
Baca: Sri Mulyani Sebut Penerimaan Negara Bagus, Penerbitan Surat Utang Dihentikan
Karena itu kalangan petani jagung berharap, lebih baik pemerintah jujur dan kemudian berjanji akan menata pertanian Indonesia dengan lebih baik.
Mulyono Makmur dari Perhimpunan Penyuluh Pertanian Indonesia (Perhiptani) melihat carut marutnya kondisi pertanian Indonesia karena pemimpinnya gagal paham.
Misalnya, ada keinginan membuat gerakan mencapai swasembada pangan, tapi tidak mempunyai konsep yang jelas. Akhirnya yang terjadi seperti saat ini.
“Jadi akan sulit mau swasembada, tapi tidak ada konsep. Konsep yang dipakai sekarang adalah konsep green revolution,” kata Mulyono Makmur.
Dia mencontohnya, jika ingin membangun pertanian harus ditata mulai dari struktur di desa. Misalnya untuk permodalan petani, harus disiapkan dari BRI.
Untuk penyediaan saran produksi pertanian dan menjual hasil pane nada lembaga bernama KUD.
Begitu juga ketika petani ingin mendapatkan ilmu/teknologi baru, penyuluh sudah siap di lapangan untuk menyampaikan ilmunya. "Tapi yang terjadi sekarang sebaliknya," tandas Mulyono.
Kadma Wijaya dari Perhimpunan Peternak Unggas Nasional (PPUN) Bogor melihat, dari sisi peternak rakyat pemerintah juga tidak berpihak. Di sisi hulu pemerintah memaksa untuk harga mahal dengan berbagai kebijakan, tapi di bagian hilir harga sesuai mekanisme pasar.
"Kondisi tersebut membuat banyak peternak bangkrut," tegasnya.
Kalangan peternak broiler yang tergabung dalam GOPAN (Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional) juga mengeluhkan kebijakan pemerintah.
Misalnya seperti diungkapkan Sigit Prabowo. Dia mengatakan, pemerintah memang mengatur kebijakan di hulu, tapi dibagian hilirnya tidak pernah diatur. Artinya, kebijakan yang pemerintah buat sepotong-sepotong.
"Pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebagai acuan, tapi harga jualnya sesuai mekanisme pasar. Akibat kebijakan itu, harga menjadi tinggi DOC, peternak pun terancam gulung tikar," ujar Sigit.
Dengan kondisi yang terjadi saat ini, Sigit Wahyudi dari GOPAN menegaskan, Menteri Pertanian Amran Sulaiman harus bertanggung jawab terhadap segala persoalan di dunia peternakan ini.
Keluhan terhadap kebijakan pemerintah juga dirasakan kalangan peternak sapi, Kebijakan yang pemerintah buat diniai banyak yang kontra produktif.
Misalnya, dalam penetepan harga daging yang tidak menguntungkan produsen. Bahkan produsen sapi (feedloter) rakyat, bayak yang menutup usahanya.
Sementara yang masih bertahan mengurangi kapasitas produksinya. Tapi hal itu berdampak dalam permodalan, karena perbankan tidak lagi berani membiayai. Karena itu Sementara Ferry K dari KSI menilai, program pemerintah ada, tapi hasilnya tidak nyata.
Agus Warsito dari APSPI (Asosisasi Peternak Sapi Perah Indonesia) mengatakan, tugas pemerintah sebenarnya tidak berat, buat regulasi yang berpihak kepada rakyat, tapi kenyataannya regulasinya tidak berpihak nyata. Stimulan yang pemerintah berikan hanya lips service hanya gula gula.
Misalnya pada awal pemerintahan, Agus mengaku optimis dengan kebijakan persusuan dengan keluarnya Permentan No. 27/ 2016.
Tapi kemudian setelah mendapat respon swasta dan ditekan kepentingan asing, Permentan tersebut dicabut diganti Permentan 30, lalu diganti lagi Permentan 33. Artinya, Kementan tidak mempunyai kedualatan di negei sendiri, dan justru tunduk kepentingan asing.
Mudatsir, Sekjen Dewan Bawang Merah Indonesia mengatakan, keberpihakan pemerintah untuk membantu petani hanya sebatas dalam dokmen negara.
Ada Peraturan Menteri Pertanian terkait harga referensi bawang merah di tingkat petani. Tapi kebijakan itu berjalan jika harga sedang melonjak. Tapi ketika harga bawang merah di petani jatuh, tidak ada yang merespon.
Rio Erlangga, pelaku usaha hortikultura juga menilai, Kementerian Pertanian tidak mempunyai data valid terhadap produksi buah nasional.
"Berapa buah yang diproduksi petani, tapi kemudian pemerintah membuka impor buah sebesar-besarnya. Padahal di satu sisi buah dalam negeri mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri," tegas Rio.
Cuncun Wijaya dari Asosiasi Petani Padi Nasional (APPN) menilai, pemerintah telah menjadi petani padi sebagai sapi perah. Ini terlihat dari kebijakan pemerintah yang meminta petani untuk terus menanam padi hingga tiga kali dalam setahun, tapi di sisi lain pemerintah tak pernah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 3.700/kg.
Padahal nilai itu sudah jauh di bawah biaya produksi yang mencapai Rp 4.100/kg. Padahal inflasi sudah naik berkali-kali nai.