Gejolak Rupiah
Sampai Kapan Rupiah Melemah? Ini Jawaban Bank Indonesia
karena gejolak kurs masih akan berlangsung hingga 2020, untuk itu, memperbaiki defisit transaksi berjalan menjadi keharusan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Laju kurs Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada perdagangan Rabu (19/9/2018) bergerak melemah ke posisi Rp 14.915 per dolar AS.
Dengan posisi tersebut, berdasarkan catatan Bloomberg, depresiasi kurs Rupiah sejak awal tahun menjadi 9,94 persen. Lantas, sampai kapan tekanan pada kurs Rupiah akan mereda?
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Departemen Internasional Bank Indonesia, Doddy Zulverdi mengatakan, kurs Rupiah masih berisiko terdepresiasi selama transaksi berjalan masih mengalami defisit.
Seperti diketahui, pada triwulan kedua 2018, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit 8,02 miliar dolar AS atau setara 3,04 Produk Domestik Bruto. Angka itu lebih tinggi dari defisit transaksi berjalan pada triwulan pertama 2018 sebesar 5,71 miliar dolar AS atau 2,21 persen PDB.
“Depresiasi akan terus terjadi sepanjang transaksi berjalan defisit, karena kita butuh dolar untuk biayai defisit,” kata Doddy dalam acara diskusi bertajuk “Ke Mana Arah Rupiah” di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (19/9/2018).
Tak hanya itu, Doddy menuturkan, depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan terus berlanjut dalam dua tahun mendatang. Sebab, ke depan, Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve masih dalam tren menaikkan tingkat suku bunganya hingga 2020.
“Melihat kenaikan suku bunga ke depan, Amerika terutama, kemungkinan tekanan dari kenaikan suku bunga berikutnya masih ada. Karena kalau kita lihat dari The Fed masih ada rencana naikkan suku bunga sampai dengan 2020,” imbuhnya.
Namun demikian, Doddy menegaskan, yang terpenting saat ini adalah menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah tetap terkendali agar pelemahannya tidak secepat sebagaimana yang terjadi di Argentina maupun Turki, karena bisa berdampak langsung pada perekonomian negara tersebut.
“Yang harus kita jaga jangan sampai depresiasi secepat Turki dan Argentina karena bisa berdampak langsung pada ekonomi,” imbuhnya.
Dorong Hilirisasi
Doddy melanjutkan, karena gejolak kurs masih akan berlangsung hingga 2020, untuk itu, memperbaiki defisit transaksi berjalan menjadi keharusan.
“Karena tekanan masih ada sampai 2020, kita harus perbaiki dengan transaksi berjalan tadi karena risiko tetap ada selama kita masih dalam posisi net demand dolar,” katanya.
Untuk jangka pendek, misalnya, pembatasan impor sudah merupakan langkah yang tepat dilakukan pemerintah. Namun, untuk jangka panjang, menurutnya pemerintah harus mendorong industri hilir yang mampu memproduksi bahan baku di dalam negeri.
“Jadi hal-hal yang terkait hilirisasi harus didorong. Sehingga kemudian kita tidak harus impor,” pungkasnya.