Temui Jokowi, BPK Keluhkan Ketidaksamaan Data Impor Pangan Antar Kementerian
"Rekomendasi kita supaya perbaiki sistemnya, bukan masalah impor atau tidak impor, harus sama semua datanya"
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) menyampaikan ketidaksingkronan data impor pangan dari berbagai kementerian, kepada Presiden Joko Widodo.
Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara mengatakan, ada beberapa poin yang disampaikan ke Presiden Jokowi, salah satunya sistem impor pangan yang perlu diperbaiki antar kementerian terkait.
"Rekomendasi kita supaya perbaiki sistemnya, bukan masalah impor atau tidak impor, harus sama semua datanya dengan Kementerian Pertanian, dan Kementerian terkait lainnya," papar Moermahadi di komplek Istana Negara, Jakarta, Kamis (5/3/2018).
Menurutnya, BPK mengusulkan ketika surat impor pangan dari Kementerian Perdagangan dikeluarkan, maka perlu mengacu dari kementerian terkait yang mengajukan impor salah satu komoditas.
"Jadi data dari Kementerian Pertanian yang berhubungan dengan itu (impor pangan) atau Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), harus masuk dulu (ke Kemendag), data itu harus sama, otomatis nanti baru keluar (izin impor)," tuturnya.
Baca: Inves Rp 5 Triliun, Gudang Garam Siap Bangun Bandara Kediri di Atas Lahan 450 Ha
Baca: Bandara Kertajati Dirancang Dapat Didarati Pesawat Airbus A380
Moermahadi melihat, saat ini data impor pangan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan tidak sama, sehingga diperlukan sistem yang dapat merapihkan data-data tersebut agar sama satu dengan lainnya.
"Presiden bilang, memang data itu harus kita rapihkan datanya, nanti harus disamakan datanya, presiden setuju rekomendasi kita," ucap Moermahadi.
Sebelumnya, jajaran pimpinan BPK menyerahkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) II Tahun 2017 kepada Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta.
Dalam IHPS II Tahun 2017, BPK mengungkapkan telah menyelamatkan keuangan negara senilai Rp 2,37 triliun, yang berasal dari penyerahan aset/penyetoran ke Kas negara/daerah/perusahaan selama proses pemeriksaan senilai Rp 65,91 miliar, koreksi subsidi Rp 1,63 triliun, dan koreksi cost recovery Rp 674,61 miliar.