Utang Luar Negeri Kurang Produktif, Indef: Pemerintah Harus Evaluasi
Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Januari 2018 meningkat 10,3 persen secara tahunan menjadi 357,5 miliar dolar AS
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Institute For Development of Economics and Finance ( Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah saat ini masih belum menunjukkan adanya produktivitas kendati dalam kurun waktu tiga tahun terakhir utang luar negeri terus mengalami peningkatan.
Dalam catatan Bank Indonesia, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir Januari 2018 meningkat 10,3 persen secara tahunan menjadi 357,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 4.915 triliun dengan kurs Rp 13.750 per dolar AS. Rinciannya terdiri dari utang pemerintah sebesar Rp 2.521 triliun dan utang swasta Rp 2.394 triliun.
Bhima menilai, utang sebagai leverage (daya ungkit) seharusnya berkorelasi positif terhadap sektor produktif. Salah satu indikator menilai produktivitas ekonomi adalah kinerja ekspor dan industri manufaktur. Namun nyatanya, dalam 3 bulan berturut-turut neraca perdagangan terus mengalami defisit dari Desember 2017 hingga Februari 2018. Kinerja ekspor pada Februari juga anjlok 3,14 persen dibanding bulan Januari.
“Utang luar negeri masih belum produktif, pemerintah harus melakukan evaluasi,” kata Bhima kepada Tribunnews.com, Rabu (21//3/2018) di Jakarta.
Baca: Indonesia U-23 Unggul 3 Gol, Hargianto-Septian Tambah Pundi Gol Indonesia
Lebih lanjut dia menjelaskan, sepanjang tahun 2017 lalu, Pemerintah menambah 14 persen utang luar negeri, namun pertumbuhan ekonomi dalam negeri masih di kisaran 5 persen.
Indikator lain, kata Bhima, adalah kinerja industri manufaktur yang masih loyo. Industri manufaktur dalam kurun waktu 5 tahun terakhir tercatat terus mengalami deindustrialisasi. Tahun 2017 porsi sektor manufaktur hanya 20,16 persen dari PDB, turun jika dibanding tahun 2008 yakni 27,8 persen.
Pertumbuhan sektor manufkatur juga berada di bawah pertumbuhan PDB. Deindustrialisasi dini ini akibat sektor manufaktur kurang diperhatikan. Paket kebijakan yang jumlahnya 16 hanya memberi iming-iming ke investor dan pelaku industri, dilapangan banyak paket macet.
“Padahal 14 persen tenaga kerja terserap di sektor manufaktur. Jadi perlu dipertanyakan, utang yang naik itu sebenarnya ke mana larinya,” pungkas dia.