Ekonom: Pemerintah Harus Genjot Sektor Manufaktur untuk Akselerasi
Sepanjang 2017, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat mengalami kenaikan tipis ke posisi 5,07 persen.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sepanjang 2017, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat mengalami kenaikan tipis ke posisi 5,07 persen. Capaian ini tercatat lebih tinggi dari tahun 2016 yang mana pertumbuhan ekonomi berada di level 5,03 persen.
Namun demikian, angka tersebut masih belum memenuhi target yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,2 persen.
Ekonom Chatib Basri menyebut, di kawasan Asean, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa dikatakan mengalami stagnasi.
Tercatat, pertumbuhan ekonomi Singapura berada di angka 5,5 persen. Malaysia tumbuh 6,2 persen, Thailand 6 persen, dan Filipina 6,9 persen, Vietnam 7,5 persen, namun Indonesia masih stagnan di kisaran 5 persen.
Chatib menjelaskan, kenapa pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan, tapi negara lain lompat dengan cepat, karena rata-rata negara yang pertumbuhan ekonominya cepat, basisnya adalah manufaktur.
“Ketika Amerika mengalami recovery, porsi besar adalah industrialiasi, mereka begitu cepat mengalami kenaikan, padahal pada dasarnya ekonomi kita bagus,” ungkap Chatib saat konferensi pers di acara Mandiri Investment Forum di Jakarta, Rabu (7/2/2018).
Chatib menjelaskan, secara fundamental makroekonomi Indonesia cukup stabil, tapi sekarang saatnya adalah mengarah pada pengembangan sektor manufaktur.
“Makro sudah oke, kita sudah harus ke sesuatu yang lebih dari stabilitas makro, ya ke manufaktur,” kata ekonom yang pernah menjabat Menteri Keuangan di era SBY ini.
Namun, Chatib memberi catatan, manufaktur yang bisa dijadikan kriteria untuk bisa dikembangkan di Indonesia berbasis human capital, bukan pada high value technology. Kriterianya yang paling gampang, kata dia adalah yang berorientasi ekspor dan menyerap tenaga kerja,
“Yang bisa diambil adalah intermediate, manufaktur berbasis human capital, misalnya kalau membuat produk batik, craft, kerajinan, market ini bisa dimanfaatkan,” jelas dia.