Relaksasi Ekspor Mineral Ancaman untuk Smelter
saat ini pengusaha masih menunggu kelanjutan dari aturan teknis kebijakan tersebut.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah pengusaha smelter kecewa dengan kebijakan yang membuka kembali keran ekspor nikel dan bauksit.
Aturan tersebut memberikan dampak negatif terhadap komitmen membangun smelter dan meningkatkan nilai tambah pertambangan sesuai amanat konstitusi.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Jonatan Handojo mengungkapkan, saat ini pengusaha masih menunggu kelanjutan dari aturan teknis kebijakan tersebut.
Dampak langsung dari kebijakan tersebut sangat berpengaruh pada iklim investasi di usaha smelter, bahkan penambang sudah tidak bergairah untuk membangun smelter.
"Karena aturan itu, investor sementara ini membatalkan dahulu proyek-proyek yang seharusnya sudah akan dibangun dalam tahun ini. Mereka akan menghidupkan saja smelter yang sudah menganggur di Tiongkok dengan membeli ore dari Indonesia. Dari sisi iklim investasi, Indonesia sudah buruk di mata investor,” katanya, Senin (13/2/2017).
Harus diakui investasi untuk pembangunan smelter bisa mencapai raturan juta dolar dan margin dari operasional smelter sangat tipis sehingga seharusnya pemerintah melindungi pengusaha yang sudah berani membangun smelter.
Diharapkan relaksasi ekspor ini tidak akan menyebabkan smelter dalam negeri mengalami kesulitan pasokan bahan baku.
"Investasi smelter di Indonesia saat ini menjadi pertanyaan besar. Yang menarik investasi smelter di Indonesia adalah kebijakan larangan ekspor. Bagaimana pun juga cadangan mineral mentah di Indonesia masih menarik untuk diolah dan dimurnikan," katanya.
Namun dibukanya kran ekspor, investasi smelter di Indonesia diragukan mengingat hal krusial dari pembangunan smelter adalah jaminan pasokan bahan baku.
Berdasarkan catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM), saat ini ada 27 pabrik smelter dari 14 perusahaan mineral, dengan total investasi US$12 miliar serta klaim menyerap sekitar 15.000 tenaga kerja.
Tak hanya kapasitasnya yang meningkat, jumlah pabrik pengolahan bakal membengkak dalam beberapa tahun ke depan.
Beberapa perusahaan yang tercatat memiliki smelter antara lain PT Aneka Tambang, Vale Indonesia, Sulawesi Mining Investment, dan Indoferro.
Sebagai gambaran, apabila 27 smelter tersebut semuanya beroperasi maksimal, maka bisa menghasilkan 400.000 ton nikel murni per tahun.
Untuk memproduksi 400.000 ton nikel murni membutuhkan sekitar 41 juta ton nikel ore per tahun.
Pengamat Pertambangan dari Universitas Indonesia (UI), Barly Martawadaya, menilai, kebijakan ini telah membuat perusahaan yang sudah membangun smelter kecewa karena mereka akan kesulitan pasokan bahan baku.
“Ini jelas tidak menguntungkan karena smelter yang sudah dibangun bakal kesulitan bahan baku. Padahal membangun smelter butuh investasi besar. Kondisi ini tentu akan berpengaruh pada iklim investasi Indonesia dimasa yang akan datang,” katanya.
Sebelumya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengaku dibanjiri keluhan dari investor smelter pasca pemerintah melonggarkan relaksasi ekspor mineral melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 6 Tahun 2017 yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017.
BKPM sempat menyebutkan bahwa relaksasi ekspor bakal mengancam 151 rencana investasi di bidang smelter yang masuk ke BKPM sejak Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 diberlakukan hingga semester I 2016.
Secara lebih rinci, angka itu terdiri dari Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar US$8 miliar dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan nilai Rp8,8 triliun.